Jendelahukum.com – Senin pagi waktu Myanmar, 1 Januari 2021 militer negara itu mengumumkan bahwa mereka telah merebut kekuasaan dan akan memerintah selama satu tahun setelah sebelumnya menangkap dan menahan pemimpin de facto Myanmar sekaligus peraih Penghargaan Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.
Bersamanya turut ditangkap Presiden Win Myint, dan beberapa pemimpin senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang loyal terhadap Suu Kyi. Peristiwa itu kian mengukuhkan otoritas Militer Myanmar sekaligus melepaskan keterikatannya terhadap eksperimen demokrasi yang sudah berlangsung selama satu dekade.
Pasukan militer Myanmar, di bawah tangan komandan tertinggi Angkatan Darat, Min Aung Hlaing, dengan cepat menguasai infrastruktur negara, menangguhkan sebagian besar siaran televisi dan membatalkan semua penerbangan domestik dan internasional, menutup pasar saham dan bank komersial, menghentikan akses telepon dan internet di kota-kota besar, dan mengambil kendali pemerintahan daerah dan pusat.
Lee Morgenbesser, pakar politik otoriter Asia Tenggara, mengatakan “kudeta itu tiba-tiba mengakhiri dorongan Myanmar menuju demokrasi selama dekade terakhir.”
Demokratisasi Myanmar
Kudeta militer sama sekali tidak unik dalam sejarah modern Myanmar. Mengakarnya pengaruh junta militer di negara Myanmar merupakan sebuah sejarah panjang. Negara itu telah beralih antara kepemimpinan militer dan sipil sejak tahun 1948.
Pada awal kemerdekaannya dari koloni Inggris pada tahun 1948, Myanmar sebenarnya merupakan negara demokrasi. Akan tetapi kemudian untuk pertama kalinya terjadi kudeta militer tahun 1962. Sejak saat itu, Tatmadaw (sebutan resmi angkatan bersenjata) selalu menjadi institusi paling kuat sepanjang waktu.
Barulah pada tahun 2011, Myanmar mulai melakukan serangkaian reformasi secara bertahap, dan mereka mulai melakukan pemilihan umum secara bebas pada tahun 2015. Pemilu tersebut membawa Aung San Suu Kyi berasal NLD sebagai pemenangnya.
Upaya demokratisasi Myanmar terus dilanjutkan. Pada 8 November 2020 lalu dilakukan pemilihan umum di negara Myanmar, dimana Partai Liga Nasional untuk Demokrasi Suu Kyi menang telak 83 persen. Dengan kekuatan sebesar itu, NLD dianggap memiliki kendali penuh atas badan legislatif. Sayangnya kesempatan itu tidak dimaksimalkan secara baik oleh pemerintah di rezim Suu Kyi menginternalisasi nilai-nilai demokrasi.
Konstitusi 2008 memberikan peran politik yang cukup besar bagi militer. Diantaranya, Memberi militer kendali atas kementerian dalam negeri, perbatasan, dan pertahanan; 25 persen kursi di badan legislatif nasional dan daerah dicadangkan untuk mereka; memiliki hak veto atas amandemen ketentuan-ketentuan pokok konstitusi karena amandemen konstitusi baru tidak dapat disahkan tanpa lebih dari 75 persen suara anggota parlemen.
Fakta yang sedikit membingungkan adalah selama lima tahun pertama kekuasaan Suu Kyi, tampaknya partai NLD telah menahan diri untuk tidak secara serius mengurangi kekuatan militer secara legal dan konstitusional. Padahal Dengan kekuatan sebesar itu, NLD dianggap memiliki kendali penuh atas badan legislatif untuk merumuskan kembali konstitusi dan undang-undang yang lebih demokratis.
Para aktivis pun turut mengkritik NLD karena gagal mencabut undang-undang yang represif atau tentang tahanan politik dan serangan terhadap media. Inilah dasar dari apa yang disebut sebagai “demokrasi yang rapuh” karena telah memberikan posisi politik yang sangat besar bagi militer.
Kudeta Milliter
Sekilas dapat dilihat bahwa besarnya dukungan atas NLD dan Suu Kyi, dianggap sebagai pengaruh politik yang tumbuh dan hampir saja membatasi pengaruh Tatmadaw dalam pemerintahan. Hal itu tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Tatmadaw sehingga terdorong untuk melancarkan kudeta.
Hal ini selaras dengan pernyataan Aaron Connelly, direktur program Asia Tenggara yang berbasis di Singapura, yang mengatakan bahwa militer mungkin dibutakan oleh popularitas Suu Kyi dan bertindak. Dengan mengambil alih kekuasaan, memungkinkan mereka untuk menulis konstitusi baru yang melemahkan gerakan pro-demokrasi dan memperkuat peran tertinggi militer.
Sarah Bouchat dari Northwestern memiliki penjelasan yang lebih gamblang tentang motif kudeta militer myanmar tersebut. Militer, kata Bouchat, sadar bahwa mereka akan selalu memiliki kekuatan terbesar di Myanmar. Tapi apa yang bisa diperoleh melalui proses pemilihan adalah legitimasi. Jika lengan politik mereka dapat memenangkan pemilihan, maka kendali penuh militer atas negara akan mendapat dukungan nasional dan demokratis.
Namun sayang realita berkata lain, dua kali pemilu (pemilu 2015 dan 2020) digelar nyatanya faksi militer di negara itu gagal memperebutkan legitimasi politik dari rakyat Myanmar. Kekalahan tersebut setidaknya membuat militer Myanmar menyadari bahwa strategi mereka tidak akan berhasil dan memilih jalan baru selagi masih ada kesempatan, yakni kudeta!
“Mereka berpotensi memanfaatkan peluang global ini, di mana para pemimpin lain sedang fokus pada krisis terkait Covid-19 dan resesi ekonomi, untuk merebut kekuatan apa pun yang mereka bisa dengan impunitas,” Bouchat menyimpulkan.
Dan disamping itu, mereka mungkin percaya – dan mungkin benar – bahwa pandemi global, kemunduran demokrasi di beberapa negara Asia Tenggara dan Selatan, dan ketidaktertarikan AS secara umum terhadap masalah demokrasi beberapa terakhir akan memudahkan mereka untuk melancarkan kudeta dengan sedikit dukungan internasional.
Reputasi Suu Kyi sebagai pemimpin gerakan pro-demokrasi juga terpuruk di mata internasional karena pembelaannya atas tindakan mematikan militer Myanmar terhadap minoritas muslim Rohingya. Bahkan sempat muncul kesan bahwa pemerintah Myanmar telah mengejar agenda demokratisasi dengan menghindari tekanan balik dari para jenderal.