Jendelahukum.com, Jakarta – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bakal mendaftarkan permohonan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait presidential threshold 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional, Rabu (6/7).
Baca juga: Presidential Threshold Produk Oligarki Untuk Kuasai Negara
Permohonan akan didaftarkan langsung oleh Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan Sekjen PKS Aboe Bakar Al Habsyi.
“Kami akan secara resmi memasukkan permohonan ke MK itu bersama Presiden dan Sekjen PKS selaku Pemohon I. Sedangkan, Pemohon II Dr Salim Segaf Al Jufri akan hadir pada sidang perdana,” kata kuasa hukum PKS, Zainudin Paru, Selasa (5/7).
Zainudin mengatakan, judicial review yang diajukan merupakan bentuk tanggung jawab moral PKS sebagai partai peserta pemilu yang berhak mencalonkan calon presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Presidential Threshold Dinilai Batasi Pilihan Rakyat
Adapun gugatan diajukan agar tidak ada polarisasi di masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada dua pemilu terakhir.
“Polarisasi itu timbul karena ketentuan dalam Pasal 222 UU Pemilu yang mempersempit adanya calon presiden dan wakil presiden alternatif. Tanggung jawab ini yang harus kami ambil dengan mekanisme judicial review. Apalagi Mahkamah Konstitusi dalam putusan terakhirnya menyebut bahwa yang memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini adalah partai politik peserta pemilu sebelumnya,” jelas Zainudin.
Zainudin meyakini kesembilan hakim di MK memiliki sifat kenegarawanan, sehingga dapat mengambil peran untuk memperbaiki kondisi bangsa yang ia nilai terbelah saat ini.
Selain itu Zainudin mengaku tim kuasa hukum juga telah mempelajari tidak kurang dari 30 putusan terkait permohonan uji materi tentang presidential threshold pada Pasal 222 UU Pemilu.
Namun, ia optimistis permohonan kali ini akan dikabulkan oleh MK karena pihaknya mengikuti alur petunjuk yang terdapat pada putusan MK sebelumnya.
“Meski pasal yang diuji sama, yakni Pasal 222 UU Pemilu, tetapi posita, batu uji, argumentasi, petitum yang kami ajukan berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya. Dan kami ikuti alur petunjuk yang disampaikan oleh MK di dalam putusan sebelumnya,” kata Zainudin.
Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Prof Ramlan Surbakti mengatakan, aturan presidential threshold sudah tidak relevan diterapkan dalam pemilu di Indonesia. Apalagi, setelah disepakatinya pemilu serentak 2024.
“Nah dalam UU Pemilu yang sekarang, pileg dan pilpres telah diserentakkan tapi presidential threshold ini masih ada. Dasar pengaturannya adalah hasil pileg lima tahun sebelumnya. Ini kan tidak ideal,” kata Ramlan, belum lama ini.