Jendelahukum.com, Perspektif – Barangkali memang nasib Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kerapkali diperlakukan sebagai anak tiri dari reformasi dalam dinamika ketatanegaraan Indonesia. Secara kelembagaan, DPD merupakan salah satu lembaga konstitusional yang keberadaannya diakui sebagai lembaga tinggi negara guna mendampingi DPR dalam sistem bikameral Indonesia.
Akan tetapi nyatanya, dari tiga fungsi (legislasi, anggaran, dan pengawasan) sebagaimana umumnya melekat pada lembaga parlemen atau perwakilan, bisa dikatakan hanya fungsi pengawasan saja yang dapat dilakukan oleh DPD.Nampaknya, para perumus perubahan UUD 1945 memang setengah hati untuk melahirkan DPD sebagai pendamping DPR dalam sistem bikameral Indonesia. Sehingga kewenangan yang dimilikinya sangat terbatas.
Baca juga: “Sabda” MK Soal Uji Formil Undang-Undang
Dalam proses legislasi misalnya, DPD hanya diberikan kewenangan untuk mengajukan, ikut membahas, dan memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Berbeda halnya dengan DPR yang memiliki kewenangan untuk dapat mengajukan, membahas, dan menyetujui terhadap semua RUU yang diajukan oleh Presiden. jika dibandingkan dengan kewenangan DPR tersebut, tentu kewenangan DPD sangat terbatas sekali. Dengan kata lain, segala sesuatu yang diusulkan oleh DPD terhadap RUU tersebut akan terpental manakala DPR tidak memberikan persetujuannya.Pun demikian peranan DPD dalam proses penyusunan RUU APBN.
Baca juga: Positivisme Hukum dan Positivisme Logis
Padahal jika mengacu pada semangat awal dilahirkannya DPD tidak lain adalah untuk menciptakan sistem double checks yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat, yang secara kelembagaan diwakil oleh DPR dan DPD. Sebagaimana menurut Jimly Ashiddiqie, DPR merupakan cerminan representasi politik (political representation), sedangkan DPD merupakan cerminan representasi daerah (territorial representation).[1]
Cheks and Balances dalam Penyusunan APBN
Kewenangan penyusunan APBN dalam ketentuan Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945 mengatakan bahwa; “Rancangan undang-undang anggaran dan belanja nagara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama dengan dewan perwakilan rakyat dengan memperhatikan pertimbangan dewan perwakilan daerah”.
Lebih lanjut dalam Ayat (3)-nya ditentukan; “Apabila dewan perwakilan rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh presiden, pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun yang lalu”.
Jika menggunakan penafsiran sistematis terhadap kedua aturan konstitusional tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya UUD 1945 memberikan kedudukan yang lebih tinggi terhadap DPR daripada Pemerintah dalam hal penyusunan APBN. Jika DPR menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh pemerintah, maka rancangan itu akan ditetapkan sebagai APBN.
Baca juga: Desentralisasi Dalam Bingkai NKRI
Akan tetapi jika tidak, maka pemerintah terpaksa harus menggunakan APBN tahun sebelumnya. Dengan demikian keputusan final pengesahan RUU APBN itu ada pada DPR.
Hal ini tentu dapat dipahami sebagai pengejahwantahan dari prinsip cheks and balances dalam pengelolaan keuangan negara. DPR melakukan fungsi pengecekan dan pengawasan serta penyeimbang kewenangan presiden dalam bidang anggaran negara, sehingga APBN benar-benar memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya kehidupan rakyat banyak.
Urgensi Penguatan Peran DPD dalam penyusunan Keuangan Negara
Namun demikian, pembagian kewenangan tersebut mendapat beberapa kritikan karena tidak memberikan kedudukan yang pantas terhadap DPD sebagai salah satu lembaga parlemen Indonesia. Praktisnya, dari ketentuan tersebut terlihat bahwa aturan konstitusional ini hanya memberikan kewenangan DPD untuk memberikan pertimbangan terhadap RUU APBN yang diajukan oleh Presiden kepada DPR.
Dengan begitu, maka peran DPD dalam hal anggaran dapat dikategorikan hanya sebagai budget influencing, yaitu lembaga yang hanya mempengaruhi anggaran karena perannya hanya sebagai pemberi pertimbangan APBN dan pengawasan pelaksanaan APBN yang hasilnya disampaikan kepada DPR seabgai pertimbangan.[2]
Padahal dalam realitanya, kebijakan pengelolaan keuangan negara dalam APBN akan selalu berkaitan erat dengan kepentingan pembangunan dan kemakmuran di daerah-daerah.Sebagimana salah satu kritik yang kemudian seringkali terlontar sebagai aspirasi daerah adalah kritik bahwa pembangunan Indonesia yang masih berpusat di Pulau Jawa (Java centris).
Baca juga: Kesalahpahaman Ideologis dalam Pembukaan UUD 1945
Hal ini tentu menjadi evaluasi tersendiri untuk melakukan reposisi yang lebih strategis terhadap DPD dalam penyusunan RUU APBN guna mewujudkan pembangunan yang lebih berkeadilan sebagaimana yang dicita-citakan oleh UUD 1945.
Berkaitan dengan hal ini, Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa kedudukan DPD sebagai pemberi pertimbangan tak ubahnya seperti Dewan Pertimbangan Agung di masa lalu. Hanya bedanya, DPA memberikan pertimbangan kepada Presiden, sedangkan DPD memberikan pertimbangan kepada DPR.
Lebih lanjut Jimly Ashiddiqie menyebutkan bahwa kedudukan DPD hanya bersifat penunjang atau auxiliary terhdap fungsi DPR, sehingga paling jauh hanya dapat disebut sebagai “co-legislator”, dari pada “legislator” sepenuhnya.[3]
Keberadaan DPD yang hanya sebagai penunjang terhadap fungsi DPR ini tentunya tidaklah tepat untuk ketatanegaraan Indonesia. Penguatan kedaulatan rakyat dengan menciptakan lembaga DPD sebagai representasi daerah harus diikuti dengan kewenangan yang memadai sama halnya dengan DPR.
Baca celoteh: Medusa dan Feminist Legal Theory
Mengingat pertimbangan hanya sebagian kecil saja penggunaan hak budget parlemen dalam fungsi anggaran. Semestinya DPD diberi kewenangan untuk mengusulkan, mempertimbangkan, mengubah, dan menetapkan anggaran seperti DPR.
Kalaupun kesempatan itu tidak ada, DPD seharusnya diberi hak menunda persetujuan RUU APBN dan melakukan debat publik khususnya yang berkaitan dengan anggaran yang kontroversial. Dengan demikian dapat diharapkan tidak ada monopoli hak budget DPR sebagai lembaga perwakilan dalam pengelolaan keuangan negara, dan memungkinkan meminimalisir dan mencegah pengesahan UU APBN yang cacat atau ceroboh sehingga pengelolaan keuangan negara tidak sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie,Jimly, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Barata, Atep Adya & Trihartanto, Bambang, 2004,Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah,Kompas Gramedia, Jakarta.
Susanto,Mei, “Hak Budget DPR dalam Pengelolaan Keuangan Negara” Jurnal RethsVinding, volume 5, Nomor 2, Agustus 2016.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
[1] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm 138.
[2] Mei Susanto, “Hak Budget DPR dalam Pengelolaan Keuangan Negara” Jurnal RethsVinding, volume 5, Nomor 2, Agustus 2016.
[3] Jimly Asshiddiqie, Op.Cit. hlm 139.