Jendelahukum.com, Internasional – Buronan Pengadilan Kriminal International (ICC) Mahmoud al-Werfalli, tewas di tembak penyerang tak dikenal di kota timur Benghazi. Tokoh senior Tentara Nasional Libya (LNA), yang setia kepada komandan militer pemberontak Khalifa Haftar itu dituduh melakukan kejahatan perang atas tindakan eksekusi brutal di jalanan.
Dilansir dari Aljazeera, beberapa orang bersenjata tak dikenal pada Rabu (24/3/2021) melepaskan tembakan pada kendaraan yang membawa al-Werfalli di dekat Universitas Kedokteran Al-Arab Benghazi, melukai dia dan sepupunya, Ayman.
Keduanya mengalami luka serius sebelum dinyatakan tewas di Pusat Kesehatan Benghazi, yang berada di dekat lokasi kejadian. Video yang disiarkan oleh media lokal Libya menunjukkan seorang pria terpuruk di kursi pengemudi mobilnya, tengah dipindahkan ke atas tandu.
Juru bicara Pasukan Al-Saiqa pro-haftar, Miloud Al-Zway, mengonfirmasi berita pembunuhan itu di halaman Facebook-nya. Sejauh ini, tidak ada pernyataan resmi yang dibuat oleh departemen militer pro-Haftar.
Siapakah Mahmoud al-Werfalli?
Lahir pada tahun 1978, al-Werfalli merupakan komandan senior di Brigade Al-Saiqa, unit elit tentara yang membelot dari Tentara Nasional Libya selama pemberontakan tahun 2011, sebuah koalisi pasukan yang telah mendominasi Libya timur dalam beberapa tahun terakhir.
ICC telah mengeluarkan dua surat penangkapan Werfalli atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang terkait delapan putaran eksekusi terpisah terhadap lebih dari 40 tawanan.
Menurut pengadilan yang bermarkas di Den Haag itu, Werfalli diduga menembak mati 10 orang di depan Masjid Bi’at al-Radwan Benghazi pada 24 Januari tahun itu.
Sebuah video yang beredar luas tahun 2018, menunjukkan seorang pria yang diidentifikasi sebagai al-Werfalli berdiri di hadapan deretan pria dengan mata tertutup dan berlutut dengan pakaian biru di depan gerbang masjid Benghazi. Pria itu mengeksekusi masing-masing pria sebelum regu tembak memberondong mereka dengan rentetan peluru.
“Kesaksian tidak hanya dari mereka yang telah didokumentasikan ICC, tetapi ratusan keluarga sebagaimana didokumentasikan oleh Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International, serta ribuan orang lainnya yang tinggal di Benghazi hidup dalam ketakutan akan al-Werfalli,” kata Anas Elgomati, pendiri direktur Sadeq Institute, dalam keterangannya kepada Al Jazeera.
Pada tahun 2018, HRW mengatakan telah mewawancarai orang-orang terlantar yang mengatakan kelompok-kelompok terkait LNA telah menyita properti dan menyiksa mereka, menghilang secara paksa dan menangkap anggota keluarga yang tetap berada di kota.
Jaksa Kepala ICC, Fatou Bensouda mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB pada November 2019, bahwa Werfalli menikmati “kebebasannya di wilayah Benghazi”, setelah awal tahun itu memperoleh promosi dari mayor menjadi letnan kolonel dalam pasukan Haftar.”Demi perempuan, pria dan anak-anak di seluruh wilayah Libya yang terus berisiko mengalami kejahatan kekerasan, era impunitas di Libya harus segera diakhiri,” kata Bensouda, menyerukan pihak berwenang untuk segera menangkap dan menggiring Werfalli ke pengadilan.
Titik Balik
Sejak pemberontakan 2011, Libya telah jatuh ke dalam kekacauan, terperosok dalam berbagai putaran konflik terutama antara pemerintah yang berbasis di Tripoli dan pemerintahan timur yang didukung oleh Tentara Nasional Libya Haftar.
Pertempuran terhenti tahun lalu, dan kedua belah pihak menyetujui gencatan senjata resmi pada bulan Oktober. Hal ini diikuti oleh pembentukan Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) baru-baru ini, dipilih melalui proses yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa. Haftar tidak secara resmi mengambil bagian dalam negosiasi politik tersebut.
Kedua pemerintahan yang bersaing bulan ini secara resmi menyerahkan kekuasaan kepada GNU, yang diberi mandat untuk mengarahkan negara menuju pemilihan umum pada bulan Desember. Namun, situasi keamanan tetap genting di kota timur Benghazi, dengan kekuasaan yang dipegang oleh berbagai faksi.
Menurut Tarek Megerisi, Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, gesekan antara faksi-faksi yang bersaing di Libya timur telah meningkat selama beberapa waktu dan selanjutnya dapat merosot menjadi serangkaian serangan balasan.
Pada hari Rabu, Utusan Khusus PBB Jan Kubis mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa berbagai kelompok bersenjata terus beroperasi tanpa hambatan, pelanggaran hak asasi manusia terus berlanjut dengan impunitas yang hampir total.