Port au Prince, Jendelahukum.com – Presiden Haiti Jovenel Moise mengatakan bahwa mereka telah menggagalkan upaya pembunuhan dan penggulingan terhadap pemerintahannya pada Minggu, (07/2/21). Hal ini disampaikan di tengah perselisihan yang berkecamuk di masa akhir jabatannya.
Menanggapi peristiwa itu, Moise secara khusus berterimakasih atas kinerja keamanan Haiti. “Saya berterima kasih kepada kepala keamanan saya di istana. Tujuan orang-orang ini adalah mengancam hidup saya,” ungkap Moise.
Upaya penggulingan Moise pertama kali disampaikan oleh tokoh oposisi, sekaligus mengumumkan rencana untuk menggantikan Moise dengan kepala negara baru. Pihak oposisi menuduh presiden otoriter dan membawa Haiti menuju kekacauan ekonomi.
Baca: Kudeta Militer; Rapuhnya Demokrasi Myanmar
Dilansir dari Reuter,s “Percobaan kudeta” pada hari Minggu itu, melibatkan beberapa tokoh penting. Di antaranya seorang hakim Mahkamah Agung dan seorang pejabat polisi senior. Pihak berwenang mengatakan sedikitnya 23 orang telah ditangkap. Semuanya ditangkap beserta uang, senjata dan amunisi.
“Orang-orang ini telah meghubungi petugas keamanan istana nasional, perwira tinggi istana nasional yang misinya menangkap presiden, dan juga memfasilitasi pelantikan presiden baru,” ungkap Perdana Menteri Haiti Joseph Jouthe.
Perselisihan akhir masa jabatan
Percobaan kudeta dan penangkapan terjadi pada hari dimana para pemimpin oposisi menuntut Moise mengundurkan diri, dengan dalih masa jabatannya telah berakhir pada hari minggu. Namun Moise berulangkali mengatakan dia tetap menjadi presiden hingga 7 Februari 2022.
Perselisihan tentang kapan akhir masa jabatan presiden bermula dari kekacauan pemilu tahun 2016. Jejak pendapat menetapkan Moise sebagai presiden terpilih, namun pemilu yang kacau memaksa penunjukan presiden sementara selama satu tahun sampai Moise dilantik pada tahun 2017.
Setelah hasil pemilihan itu diperdebatkan, demonstrasi yang menuntut pengunduran dirinya semakin meningkat pada tahun 2018.
Pemungutan suara untuk memilih wakil, senator, walikota, dan para pejabat lokal seharusnya dilaksanakan tahun 2018 namun ditunda dengan alasan sederhana; karena pelantikan presiden pun tertunda. Dalam interpretasi konstitusi Moise, dia berhak untuk memerintah selama satu tahun lagi.
Baca: Pemakzulan Trump, Haruskah?
Tentu saja klaim Moise tersebut ditolak secara keras oleh kelompok oposisi dan memicu memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Warga Haiti yang marah terus berdemonstrasi melawan apa yang mereka sebut korupsi pemerintahan yang meraja lela dan kejahatan premanisme yang tidak terkendali.
Respon dingin AS dan PBB
Sejak bulan Januari 2020, Moise berkuasa berdasarkan dekrit yang dibuatnya. Untuk memuluskan dekrit tersebut, ia membubarkan parlemen dan belum melaksanakan pemilihan legislatif lagi hingga sekarang. Karena itu, Moise disebut telah memerintah tanpa pemeriksaan atas kekuasaannya kurun waktu satu tahun terakhir.
Sementara itu, Amerika Serikat tampaknya menerima klaim Moise. melalui Juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price mengatakan bahwa Washington mendesak “pemilihan legislatif yang bebas dan adil agar parlemen Haiti dapat melanjutkan perannya secara sah”.
Dalam sebuah surat Jumat kepada misi PBB di Haiti, puluhan kelompok HAM dan advokasi perempuan menyalahkan badan internasional itu karena memberikan dukungan teknis dan logistik bagi rencana presiden untuk mengadakan referendum reformasi konstitusi pada April, kemudian pemilihan presiden dan legislatif.
“PBB dalam keadaan apapun tidak boleh mendukung Presiden Jovenel Moise dalam rencana anti-demokrasinya,” isi surat itu.