Legislasi semu atau disebut juga sebagai “pseudo-law” adalah suatu bentuk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, namun bukan merupakan undang-undang yang sah atau tidak memenuhi persyaratan hukum yang seharusnya.
Istilah “pseudo-law” merujuk pada aturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh badan pemerintah atau pejabat yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas atau tidak diatur dalam konstitusi atau undang-undang yang berlaku.
Konsep legislasi semu atau “pseudo-law” telah dikenal oleh para pakar hukum dan akademisi sejak lama.
Berikut adalah beberapa definisi dan referensi dari para pakar hukum tentang legislasi semu:
1. Brian Tamanaha, Professor of Law at Washington University in St. Louis, “Pseudo-law is a catch-all term for non-law rules which are passed or implemented by someone other than a legislature or court and which lack the full attributes of law. Pseudo-law does not stem from, and is not governed by, the normative processes of law-making or legal dispute resolution”.
2. Mark Fenwick, Professor of Law at Kyushu University, “Pseudo-law is defined as a term that refers to non-law rules and regulations that are issued by government authorities, but that lack the authority of law. These rules are often promulgated without proper authority, are not consistent with existing legal norms, or are in violation of constitutional principles.”
3. Tsai-yu Lin, Professor of Law at National Taiwan University, “Pseudo-law is a term that refers to the enactment of regulations and policies by government authorities without proper legal authority or without proper adherence to existing legal norms”.
Menurut Pakar Hukum Indonesia
Konsep legislasi semu juga telah dikenal oleh para pakar hukum Indonesia. Berikut adalah beberapa definisi dan referensi dari para pakar hukum Indonesia tentang legislasi semu:
1. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Profesor Hukum Tata Negara di Universitas Indonesia, “Legislasi semu adalah penggunaan kekuasaan yang berlebihan oleh pejabat negara dalam membuat peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga peraturan tersebut menjadi tidak sah”.
2. Saldi Isra, “Legislasi semu adalah kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh pejabat atau badan yang tidak berwenang, atau peraturan yang dibuat melalui proses yang tidak sah”.
3. Feri Amsari, “Legislasi semu adalah penggunaan kekuasaan oleh pejabat negara atau badan publik untuk membuat kebijakan atau peraturan tanpa memperhatikan aturan hukum yang berlaku”.
Dalam keseluruhan referensi tersebut, terlihat bahwa definisi legislasi semu adalah aturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau pejabat yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas atau tidak memenuhi persyaratan hukum yang seharusnya.
Aturan-aturan semacam ini cenderung tidak sah secara hukum, dan dapat menimbulkan dampak negatif pada pemerintahan dan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam beberapa kasus, legislasi semu dapat menyebabkan konflik dan ketidakpastian hukum, karena aturan-aturan ini tidak memenuhi persyaratan hukum yang seharusnya. Hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem hukum yang ada.
Dampak Negatif terhadap Tatanan Hukum
Dampak negatif lain dari legislasi semu adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah atau pejabat yang menerapkannya. Pemerintah atau pejabat bisa saja mengeluarkan aturan-aturan semu tersebut dengan tujuan untuk memperkuat kekuasaan mereka atau memberikan keuntungan bagi kelompok atau individu tertentu.
Dalam pemerintahan, legislasi semu juga dapat mempengaruhi kinerja pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Aturan-aturan semu ini dapat membingungkan dan memperlambat proses pengambilan keputusan, yang pada akhirnya dapat menghambat kemajuan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah dan pejabat publik untuk memastikan bahwa setiap aturan atau kebijakan yang dikeluarkan memiliki dasar hukum yang jelas dan memenuhi persyaratan hukum yang berlaku.
Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem hukum yang ada, serta membantu pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya dengan lebih efektif dan efisien.
Dalam hal ini, peran lembaga pengawasan seperti badan legislatif dan pengadilan sangatlah penting untuk memastikan bahwa setiap aturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah memenuhi persyaratan hukum yang berlaku dan tidak melanggar hak-hak masyarakat.
Dalam rangka menghindari terjadinya legislasi semu, pemerintah juga harus terbuka terhadap partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, pemerintah dapat memastikan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, serta memenuhi persyaratan hukum yang berlaku.
Secara keseluruhan, legislasi semu dapat berdampak negatif bagi pemerintahan dan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa setiap aturan atau kebijakan yang dikeluarkan memiliki dasar hukum yang jelas dan memenuhi persyaratan hukum yang berlaku, serta melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Jimly Asshiddiqie, yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, juga memberikan pandangan tentang konsep legislasi semu.
“Legislasi semu adalah tindakan membuat peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah atau pejabat yang tidak memiliki kewenangan atau tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku” (Jimly Asshiddiqie, 2018)
Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa legislasi semu adalah tindakan pembuatan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah atau pejabat yang tidak memiliki kewenangan atau tidak memenuhi aturan hukum yang berlaku.
Jimly juga menekankan bahwa konsep legislasi semu merupakan masalah yang sangat serius dan dapat berdampak negatif pada demokrasi di Indonesia.
Dampak Positif
Tetapi legislasi semu juga dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat, meskipun tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
1. Membentuk opini publik
Legislasi semu dapat membentuk opini publik tentang masalah tertentu. Pernyataan moral yang kuat dan jelas dapat memberikan inspirasi atau motivasi bagi masyarakat untuk memperjuangkan masalah yang dianggap penting.
Sebagai contoh, World Medical Association mengeluarkan Deklarasi Helsinki tentang Etika Penelitian Medis pada tahun 1964 yang berfungsi sebagai panduan etika dan moral bagi peneliti medis di seluruh dunia.
Deklarasi ini memiliki dampak positif dalam membentuk opini publik dan mengatur praktik penelitian medis (World Medical Association, 2013).
2. Membuat kesepakatan
Legislasi semu dapat digunakan untuk membuat kesepakatan di antara kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi yang berbeda dalam sebuah komunitas. Misalnya, Manifesto for Agile Software Development adalah pernyataan nilai dan prinsip-prinsip yang diadopsi oleh para praktisi teknologi informasi dalam pengembangan perangkat lunak.
Manifesto ini diadopsi oleh sekelompok orang pada tahun 2001, dan sejak saat itu, telah menjadi landasan bagi pendekatan agile yang banyak digunakan dalam pengembangan perangkat lunak (Fowler & Highsmith, 2001).
3. Memberikan panduan moral
Legislasi semu dapat memberikan panduan moral bagi masyarakat. Misalnya, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 1948 memberikan panduan tentang hak asasi manusia bagi masyarakat seluruh dunia.
Deklarasi ini telah membentuk pandangan moral tentang hak asasi manusia yang diakui secara internasional (United Nations, 1948).
4. Menginspirasi tindakan
Legislasi semu dapat menginspirasi tindakan dalam masyarakat. Ketika sebuah deklarasi atau manifesto diterbitkan, ini dapat memicu gerakan atau aksi masyarakat yang mendukung tujuan atau nilai yang dinyatakan dalam dokumen tersebut.
Misalnya, Prinsip-Prinsip Jakarta adalah serangkaian prinsip yang disusun oleh sekelompok akademisi dan aktivis hak asasi manusia pada tahun 1997.
Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk mempromosikan hak asasi manusia di Asia Tenggara dan telah memicu gerakan hak asasi manusia di wilayah tersebut (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, 2012).
Referensi:
1. Sofwan, S. S. M. (2014). Legislasi Semu dalam Perspektif Hukum Tata Negara. Jurnal Dinamika Hukum, 14(2), 190-198.
2. Asshiddiqie, J. (2018). Refleksi atas Legislasi Semu dan Masalah Demokrasi di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 15(2), 297-320.)
3. Amsari, F. (2017). Legislasi Semu: Antara Kekuasaan dan Hukum. Jurnal Konstitusi, 14(2), 213-235.).
4. Isra, S. (2019). Legislasi Semu: Studi atas Produk Hukum dan Prosedur Pembentukannya. Jurnal Konstitusi, 16(2), 189-213.)
5. Sofwan, S. S. M. (2014). Legislasi Semu dalam Perspektif Hukum Tata Negara. Jurnal Dinamika Hukum, 14(2), 190-198.)
6. Tamanaha, B. Z. (2019). A General Jurisprudence of Law and Society. Oxford University Press.
7. – Fenwick, M., & Vermeulen, E. P. (2016). Pseudo-law and Beyond: Exploring Law’s Empire. Cambridge Scholars Publishing.
8. Lin, T. (2019). Pseudo-Law and the Legitimacy Crisis in Contemporary Legal Systems. Journal of Law, Society and Development, 1(1), 1-12.
9. Saldi Isra, “Legislasi Semu dalam Perspektif Hukum Tata Negara”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 19, No. 1, 2019, hal. 60-70.
10. Farid Wajdi, “Penyelesaian Sengketa Akibat Legislasi Semu Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Hukum Novelty, Vol. 5, No. 1, 2014, hal. 28-43.