Jendelahukum.com – Kasus Marbury vs Madison merupakah salah satu kasus fenomenal yang terjadi di Amerika serikat pada 1803 silam. Dikatakan fenomenal karena kasus itu menjadi tonggak awal terjadinya praktek judicial review yang menginspirasi berbagai negara di dunia.
Kasus itu diawali oleh kekalahan Presiden John Quincy Adams melawan Thomas Jefferson pada pemilihan presiden 1800. Namun menjelang pelantikan Jefferson, 4 Maret 1801, Adams membuat banyak kebijakan kontroversial, yaitu mempromosikan teman dekat dan kerabatnya pada posisi-posisi strategis di pemerintahan.
Baca juga: Inggris: Negara Konstitusional Tanpa Konstitusi Tertulis
Diantaranya ada beberapa tokoh penting yang memainkan peran dalam kasus Marbury vs Madison. Yaitu John Marshall yang sebelumnya merupakan Secretary of State diangkat sebagai hakim agung. Kedudukan Secretary of State sendiri kemudian digantikan oleh James Madison.
Selain itu, ada juga William Marbury, Denis Ramsay, Robert Townsend dan William Harper yang diangkat sebagai hakim perdamaian (Justices of Peace) di masa-masa peralihan tersebut.
Namun na’as, karena dilakukan dalam waktu yang sempit dan tergesa-gesa salinan surat pengangkatan Marbury dkk itu belum sempat diserahterimakan sampai dengan selesainya masa peralihan. Oleh karena itu, setelah Thomas Jefferson dilantik 4 Maret 1801, surat-surat pengangkatan tersebut ditahan oleh Secretary of State yang baru James Madison.
Penahanan surat itulah yang kemudian ditentang oleh William Marbury. Sehingga kemudian mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Agung Federal pada Desember 1801 agar mengeluarkan surat perintah (writ of mandamus) agar keputusan pada surat Adams dieksekusi.
Pemerintahan Jefferson menolak. Kongres yang dikuasai kaum Republik –pendukung Jefferson—mendukung pemerintah, bahkan mengesahkan Undang-Undang yang menunda semua persidangan Mahkamah Agung selama satu tahun.
Hingga kemudian pada bulan Februari 1803, Mahkamah Agung yang diketuai John Marshall menyidangkan perkara dan mengeluarkan putusan yang cukup kontroversial kala itu, yaitu menyatakan pemerintahan Quincy Adams sudah memenuhi semua persyaratan yuridis dalam pengangkatan Marbury.
William Marbury dan kawan-kawan dinyatakan memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka itu menurut hukum. Namun begitu, Alih-alih menerima permohonan, John Marshal malah menegasikan UU Peradilan Amerika Serikat (Judiciary Act) 1789 yang menjadi dasar untuk memerintahkan pemerintah mengeluarkan writ of mandamus.
Baca juga: Positivisme Hukum dan Positivisme Logis
Menurut Marshal, ketentuan dalam UU Peradilan Amerika Serikat itu bertentangan dengan Artikel III Seksi 2 Konstitusi Amerika Serikat. Dengan begitu, dalil yang dipakai Mahkamah Agung untuk mengadili dan memutus perkara Marbury vs Madison bukan UU Peradilan 1989, melainkan berdasarkan kewenangan yang ditafsirkannnya dari dari konstitusi.
Dari putusan itulah, kemudian berkembang pemikiran kasus bahwa Mahkamah Agung adalah penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Sehingga aturan yang berentangan dengan konstitusi haruslah dinyatakan batal demiki hukum (null and void).
Dari putusan itulah kemudian mekanisme judicial review ditemukan dan dikembangkan dalam praktek penegakan konstitusi. Putusan tersebut bahkan dinyatakan sebagai penemuan hukum karena melahirkan sistem hukum yang sama sekali baru di seluruh dunia.
Referensi:
Jimly Asshiddiqie, 2010, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
_______________ & Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Konpres, Jakarta.
https://id.wikipedia.org/wiki/Marbury_v._Madison