Senin, Juni 30, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Implikasi Putusan MK Atas Pengujian Formil Undang-Undang

Jendelahukum.com, Perspektif – Dalam Perkembangan ketatanegaraan Indonesia hari ini ada kebutuhan pengujian formil yang harus dijawab oleh Mahkamah Konstitusi. Pengujian formil undang-undang dimaksudkan untuk membatasi dominasi kekuasaan DPR dan Presiden dalam membentuk undang-undang.

MK sebagai benteng terakhir untuk meriview setiap produk legislasi yang dihasilkan oleh pembentuk undang-undang. Apakah telah sesuai dengan prosedur yang berlaku? Apakah telah memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan?

Baca juga: “Sabda” MK Soal Uji Formil Undang-Undang

Banyaknya pengujian yang dibawah ke Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang yang dihasilkan oleh DPR dan Presiden telah menunjukkan, undang-undang masih memiliki kecacatan baik secara materil dan formil. Dengan kata lain, kualitas produk undang-undang sarat akan muatan yang bersebrangan dengan konstitusi, tidak transparan, partisipatif, dan akuntabel.

Bahwa proses legislasi tidak boleh dibiarkan bertentangan dengan konstitusi, karena apabila hal ini dibiarkan maka akan terjadi proses delegitimasi konstitusi, pelanggaran hak konstitusional warga negara bahkan berujung pada menurunnya kualitas demokrasi.

Itulah sebabnya MK dituntut menjadi penyeimbang dalam mengontrol produk legislasi yang menambarak konstitusi serta dibuat tidak sesuai dengan tata cara sebagaimana yang diatur baik dalam UUD 1945 dan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Namun hingga hari ini belum ada satupun pengujian formil yang dikabulkan secara keseluruhan oleh Mahkamah tentu ini sangat berimplikasi pada proses legislasi kedepan.

MK Tidak konsisten dalam pengujian formil

Pasca putusan MK atas pengujian formil undang-undang nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan amar putusan inkonstitusional bersyarat. Putusan MK ini disatu sisi diapresiasi namun juga dikritisi sebab Mahkamah telah mengakui adanya pelanggaran prosedural dalam pembentukan undang-undang cipta kerja, tetapi tidak membatalkan secara keseluruhan melainkan tetap memberlakukan dengan syarat dilakukan perbaikan selama dua tahun.

Baca juga: Inggris: Negara Konstitusional Tanpa Konstitusi Tertulis

Putusan Mahkamah dalam pengujian formil undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung juga mengakui bahwa dalam pengambilan keputusan di DPR tidak memenuhi quorum dan melanggar ketentuan formil yang diatur tetapi kemudian dalam putusan MK uji formil undang-undang a quo Mahkamah tidak melakukan pembatalan meskipun melanggar prosedur karena menurut Mahkamah demi asas kemanfataan.

Padahal dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak diatur asas kemanfaatan. Berdasarkan dua putusan MK ini menurut Penulis Mahkamah tidak tegas dan konsisten dalam memutus perkara uji formil undang-undang. Ketika undang-undang itu melanggar prosedur dan cacat formil maka sudah seharusnya dibatalkan.

Implikasi Putusan MK

Putusan MK atas uji formil undang-undang cipta kerja sangat berimplikasi terhadap proses legislasi kedepan. Mahkamah kemudian melegitimasi ketika undang-undang dibuat cacat secara formil tetapi kemudian tidak dibatalkan. Padahal dalam negara hukum setiap keputusan dan tindakan yang diambil harus berdasarakan aturan hukum pada konteks pembuatan undang-undang harus sesuai dengan mekanisme yang diatur.

Putusan ini juga memberikan kesempatan bagi DPR dan Presiden untuk melakukan hal yang sama kedepan yakni melanggar tata cara prosedur pembentukan undang-undang. Ketidaktegasan Mahkamah dalam putusan uji formil patut dikritisi.

Sebab, sepanjang tahun 2020 terdapat beberapa UU kontroversial yakni undang-undang Minerba, UU MK, dan UU cipta kerja  disahkan dengan pembahasan cepat dan minim partisipasi publik.

Baca juga: Permendikbudristek 30/2021 Mencegah atau Melegalkan Seksual?

Bagi Penulis Prinsipnya adalah ketika membuat undang-undang tidak mengikuti prosedur sebagaimana mestinya maka tindakan itu dapat dikualifikasi sebagai bentuk penghianatan terhadap negara hukum dan perbuatan tercela sehingga tidak patut untuk dijadikan contoh dalam praktek bernegara.

Salah satu syarat penting untuk menghasilkan undang-undang yang responsif adalah partisipasi masyarakat. Dengan adanya partisipasi masyarakat menggambarkan adanya relasi atau hubungan antara masyarakat dengan legislatif dan pemerintah dalam proses pembentukan undang-undang.

Dengan relasi ini maka diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penciptaan undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Mahkamah Konstitusi juga harus berperan untuk mewakili kepentingan publik dalam pengujian formil, Peran Mahkamah sangat penting dalam melakukan kontrol terhadap DPR dan Presiden untuk lebih berhati-hati dalam membentuk undang-undang. Ketegasan Mahkamah harusnya bisa dilakukan dengan membatalkan beberapa undang-undang yang dibentuk karena telah melanggar prosedur yang berlaku.

Muhammad Hasan Basri
Muhammad Hasan Basri
Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Demokrasi (PSKD)

Recent Post

Related Stories

For Subcription