Jendelahukum.com – Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3, oleh karena itu sudah semestinya semua perbuatan harus berlndaskan hukum yang berlaku atau sebaliknya tidak melanggar ketentuan hukum.
Konsekuensi lain hidup di dalam negara hukum adalah dikenakan hukuman bagi pelanggar hukum. Namun dalam memberikan hukuman, negara dengan kekuasaanya tidak diperbolehkan untuk menghukum tanpa aturan yang jelas terlebih dahulu. Oleh karena itu, di dalam hukum ada asas yang dikenal dengan asas legalitas.
Baca juga: Apa itu asas legalitas?
Asas legalitas sederhananya adalah penentuan tindakan-tindakan yang dilarang di dalam undang-undang sebagaimana tercantum dalam KUHP Pasal 1 Ayat 1 : “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.
Ada yang perpendapat bahwa asas ini berhubungan dengan teori Anselm von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833), yang dikenal dengan teori Vom Psycologischen Zwang, yang berarti teori ini di dalamnya terkandung anjuran agar di dalam penentuan tindakan-tindakan yang dilarang oleh negara tidak hanya mencantumkan macam-macam tindakan tetapi juga jenis pidana yang dijatuhkan.
Asas Legalitas dalam Pidana Islam
Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna juga mengenal asas legalitas, dimana asas legalitas itu dapat dilihat di dalam suarah Al-Isra’ Ayat 15 yang berbunyi:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
“Dan kami tidak akan menyiksa suatu kaum sehingga kami mengutus seorang rasul” (QS. Al-Isra:17:15).
Berdasarkan ayat di atas, pada prinsipnya, asas legalitas dalam Islam sama dengan asas legalitas di dalam hukum pidana bahwa, seseorang tidak akan dijatuhi hukuman atau dianggap melanggar hukum sebelum diutus seorang rasul yang menyampaikan suatu aturan (lihat tafsir Kemenag RI).
Asas legalitas dalam Islam juga tidak dapat berlaku surut (non-retro aktif). Hal itu dapat dilihat dari sebab turunnya Surah an-Nisa Ayat 22. Sebelum ayat tersebut diturunkan, seorang anak dapat mengawini istri ayah kandungnya yang sudah meninggal dunia. Namun setelah ayat tersebut turun, makan nikah semacam itu diharamkan.
”Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah swt. Dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh” (QS. An-Nisa: 22).
Baca juga: Asas Presumptio Iustae Causa
Asas non-retro aktif dapat dilihat pada frasa “kecuali pada masa yang telah lampau”. Jadi, perkawinan dengan istri ayah kandung yang terjadi sebelum ayat itu turun tidak dianggap melanggar hukum. Baru setelah ayat itu turun, diharamkan mengawini istri dari ayah kandung dan itu berlaku semenjak ayat itu turun sebegai peraturan hingga sekarang.
Akan tetapi terdapat pengecualian untuk memberlakukan hukum pidana Islam secara surut, yaitu dalam kasus berita bohong oleh para penyebar hoak yang menuduh Siti Aisyah ra. berbuat serong (selingkuh) dengan Safwan. Kasus tersebut terjadi setelah Siti Aisyah tertinggal dari rombongan saat pulang dari perang Bani al-Musthaliq.
Selama berita tersebut berkembang di tengah masyarakat, tidak ada hukuman bagi penyebar berita bohong tersebut karena memang belum ada aturannya di dalam Al-Quran. Setelah itu, turunlah Surat an-Anur ayat 4, 5, 11 dan 12 tentang hukuman bagi orang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina, sedangkan si penuduh tidak dapat mendatang 4 orang saksi. Aturan tentang hukuman ini turun setelah sebulan kasus terjadi dan pemerintah tetap menghukum orang-orang yang menuduh Siti Aisyah.