Jendelahukum.com – Carl Schmitt pernah mengingatkan sebaiknya penilaian hukum mendasarkan pada keputusan, bukan pada norma. Menurut hemat saya (yang tidak terlalu hemat) keyakinan ini bukan mau meniadakan kepastian hukum, melainkan mau membongkar bahwa dalam kepastian hukum masih ada pendakuan kesahihan penafsiran dari berbagai pihak.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama norma hukum memuat serangkain aturan universalia, dan tidak otomatis menjadi preskripsi hukum yang bisa kita terapkan dalam setiap kasus partikular.
Baca juga: Proposisi Yang Mendasari Konsep Hukum Alam
Diperlukan upaya penalaran (silogisme), yang memiliki banyak bentuk, namun secara umum ada dua model penalaran yang seringkali digunakan untuk mengahsilkan sebuah hukum yaitu penalaran deduksi (dari atas ke bawah) dan penalaran induksi (dari bawah ke atas).
Tapi, yang menjadi problem selanjutnya adalah jika hukum hanya berhenti pada keniscayaan premis-premis dan validnya silogisme maka hakim tidak ada bedanya dengan robot.
Maksudnya saya adalah penilaian pribadi yang mendahului ketetapan hukum, suatu penilaian sebelum proses penalaran lebih menentukan. Maka perlu mengangkat ke permukaan argumen yang disembunyikan dalam proses berpikir untuk membuat penilaian itu.
Caranya, menggeser fokus studi tentang logika hukum ke studi tentang faktor-faktor tersurat dan yang tidak disadari, padahal justru paling berpengaruh dalam menyeleksi kesimpulan dan keputusan hakim. Faktor-faktor itu adalah politik, ekonomi/uang, sosial, dan pribadi dan lain sebagainya.
Baca juga: Themis Sebagai Simbol Keadilan?
Keadilan tidak bisa dilepaskan dari penilaian moral hakim. Sementara pertimbangan logika hukum formal biasanya hanya untuk mengecek dan mendukung keputusannya. Jadi, kesetaraan hukum lebih terjamin jika masuknya pertimbangan dari luar hukum dibuat tersurat dan sah.
Lalu kritik terhadap formalisme hukum menjadi relevan. Penilaian hukum jangan hanya mengandalkan pada silogisme, yaitu jaksa memutuskan hukuman yang logis dengan menilai kasus khusus dari norma umum sistem hukum yang menjadi acuan.
Jaksa atau hakim memiliki peranan dan kekuasaan yang sangat penting, termasuk kebebasan intelektualnya. Jadi jangan bersembunyi di balik kepastian hukum, silogisme dan lainnya, karena penilaian jaksa dan hakim justru paling menentukan.