Jendelahukum.com, Seputar Hukum – Asas Presumtio Iustae Causa, atau yang dikenal juga dengan asas het vermoden van reghmatigheid (Bahasa Belanda) secara bahasa dapat diartikan sebagai asas praduga keabsahan.
Asas ini mengajarkan bahwa setiap keputusan pemerintah harus dianggap memiliki legalitas sebelum dinyatakan sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde).
Baca juga: Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali
Asas ini semula dikenal dalam hukum administrasi negara dalam memberikan kepastian hukum bagi keputusan yang diambil oleh pemerintah. Karena itu, pada prinsipnya setiap keputusan pemerintah dapat dilaksanakan sejak keputusan itu dikeluarkan.
Dalam konteks sistem hukum Indonesia, asas ini dianut sebagai salah satu prinsip yang berlaku dalam peradilan tata usaha negara (PTUN). Sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN yang menyebutkan;
“Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.
Mengacu pada ketentuan di atas, maka penerapan asas Presumtio iustae Causa dalam pengujian keputusan pemerintah/pejabat tata usaha negara tidak menghalangi keberlakuan dari suatu keputusan. Atau dengan kata lain, keputusan tersebut harus tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Namun begitu, dalam hal ada pihak yang dirugikan dengan keputusan dari pemerintah atau pejabat TUN, maka ia dapat memohon kepada hakim agar keputusan tersebut dapat ditunda atau ditangguhkan keberlakuannya selama proses pemeriksaan berjalan hingga ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Baca: Status dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Selain dikenal dalam pengujian keputusan tata usaha negara (KTUN), asas Presumtio Iustae Causa juga berlaku dalam mekanisme pengujian konstitusionalitas undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
Perwujudan dari keberlakuan asas ini dapat dilihat ketentuan yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi baru memiliki kekuatan hukum mengikat pasca dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Hanya saja, berbedahalnya dengan pengujian KTUN di PTUN yang diberikan wewenang untuk menangguhkan keputusan berdasarkan pertinbangan kegentingan yang menyertai kepentingan yang dirugikan oleh keputusan tersebut, dalam pengujian undang-undang, MK tidak berwenang menunda keberlakuan suatu materi atau undang-undang secara keseluruhan.
Hal ini dikarenakan pada prinsipnya sebelum adanya putusan MK, maka setiap undang-undang yang menjadi obyek pengujian di MK harus tetap dianggap berlaku sampai dinyatakan sebaliknya oleh putusan MK.