Jendelahukum.com, Perspektif – Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang berisi norma-norma hukum yang mengikat untuk umum, baik yang ditetapkan oleh legislator atau lembaga-lembaga pelaksana UU yang mendapatkan delegasi kewenangan dari undang-undang untuk menetapkan peraturan-peraturan tertentu menurut peraturan yang berlaku.[1]
Masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut memiliki kedudukan yang berjenjang menyusun sebuah tatanan hierarkis yang berpuncak pada konstitusi yang berlaku sebuah negara.[2]
Dalam konteks negara Indonesia, pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan itu pernah tertuang dalam beberapa instrumen hukum Indonesia dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tercatat lima kali sudah pengaturan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan itu mengalami perubahan. Dimulai dari berlakunya TAP MPRS No. XX/MPR/1966, TAP MPR Nomor III/MPR/2000, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, dan yang terakhir Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.
Baca juga: Judicial Preview Terhadap Hasil Ratifikasi Perjanjian International
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan undang-undang BAB II Pasal 7 ayat (1) dijelaskan tentang hierarki, dan materi muatan perundang-undangan. Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut terdiri atas: a) UUD 1945; b) Ketetapan MPR/S; c) Undang-Undang/ Perppu; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; dan g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selain jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang tidak disebut dalam hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, Pasal 8 UU No. 12/2011, juga memberikan pengakuan terhadap keberadaan jenis peraturan perundang-undangan lain seperti peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang.[3]
Keberadaan peraturan perundang-undangan lain di atas diakui memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas menetapkan di mana kedudukan peraturan-peraturan tersebut dalam hierakie peraturan perundang-undangan.
Tidak hanya itu, tidak juga ada satu pasal pun yang memberi penjelasan secara tegas mengenai apa yang menjadi materi muatan masing-masing peraturan tersebut. Tentu hal tersebut akan membingungkan manakala kedudukan dan materi muatan suatu peraturan perundang-undangan tidak diketahui secara pasti, terutama dalam hal terjadi pertentangan norma antara dua atau lebih peraturan perundang-undangan.
Kedudukan dan Mekanisme Pengujiannya
Secara umum, dipahami bahwa dalam hal terjadi pertentangan norma antar dua atau lebih peraturan perundang-undangan itu bersifat vertikal, maka asas yang diberlakukan adalah asas lex superior derogat legi inferiori.
Pemberlakuan asas lex superior derogat legi inferiori memiliki arti bahwa jika terjadi pertentangan norma antara peratuaran yang lebih tinggi dengan peratura yang lebih rendah, maka peraturan yang lebih rendah harus disisihkan melalui mekanisme pengujianpengujian peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan hal ini, Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2) UU 12/2011 menentukan bahwa dalam hal Undang-Undang diduga bertentangan dengan UUD 1945, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan untuk peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.[4]
Baca juga: Emansipasi Politik; Keterlibatan Perempuan dalam Parlemen di Tengah Budaya Patriarki
Salah satu persoalan yang seringkali mencuat terkait peraturan yang tidak dijelaskan kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah lembaga manakah yang berhak melakukan pengujian terhadap peraturan tersebut?.
Menjawab persoalan tersebut, harus dipahami terlebih dahulu bahwa sekalipun dalam tataran teori, seringkali disebutkan peraturan-peraturan sebagaimana diatur dalam pasal 8 UU No. 12/2011, merupakan peraturan pelaksana (delegated legislation) yang bersifat internal, akan tetapi dalam prakteknya sifat peraturan itu sedikit banyak bersentuhan dengan subyek-subyek hukum di luar lembaga yang bersangkutan.
Sehingga memungkinkan terjadinya kerugian dari pihak luar sebagai akibat berlakunya suatu peraturan pelaksana yang dikeluarkan lembaga/instansi pemerintahan tertentu. Para akademisi maupun praktisi hukum pada umumnya akan berpendapat bahwa pengujian peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 UU 12/2011 merupakan kewenangan MA.
Pendapat demikian memang cukup logis mengingat undang-undang merupakan produk legislasi yang dikeluarkan oleh DPR bersama Presiden, yang secara kedudukan memiliki legitimasi yang lebih kuat dibandingkan lembaga negara lainnya. Berkaitan dengan hal itu, Maria Farida Indrati menyebutkan bahwa undang-undang merupakan norma sekunder yang fungsinya dimaksudkan untuk menjalankan norma primer yang terkandung dalam konstitusi suatu negara.[5]
Selebihnya disebut sebagai Verordnung & Autonome satzung atau norma-norma pelaksana maupun norma-norma otonom yang terletak di bawah Undang-Undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang (Subordinat legislation atau Delegated legislation).[6]
Peraturan pelaksana atau otonom tersebut bersumber dari kewenangan delegasi dan kewenangan atribusi, yang secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah sampai Keputusan Bupati atau Walikota.
Baca juga: Refleksi Hari lahir Pancasila; Nilai-Nilai Pancasila Kian Memudar?
Peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU No 12/2011 sudah barang tentu merupakan bagian dari peraturan pelaksana atau peraturan otonom yang berada di bawah undang-undang. Hanya saja untuk menentukan secara pasti letak berkedudukannya maka akan sangat bergantung pada kedudukan dan sumber kewenangan yang dimiliki oleh badan/lembaga yang bersangkutan.
Sebagai contoh, peraturan menteri secara logis harus dianggap berada di bawah peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Hal didasarkan pada fakta bahwa menteri merupakan pembantu presiden dalam melakukan tugas pemerintahan di bidang tertentu.[7] Sehingga dalam mengeluarkan kebijakan atau peraturan, menteri yang bersangkutan harus sesuai dengan aturan kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden.
Adapun untuk peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga negara seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyarawatan Rakyat, dan lain sebagainya, yang secara kedudukan berada sejajar dengan presiden sesuai dengan prinsip separation of power. Maka sudah selayaknya jika peraturan-peraturan tersebut dianggap sejajar dengan peraturan pemerintah dan peraturan presiden.
Dalam hal ini tidak ada persoalan superioritas karena peraturan-peraturan tersebut pada umumnya dimaksudkan untuk internal masing-masing instansi. Dan kalaupun ada pihak yang merasa dirugikan oleh keberlakuan peraturan tersebut maka pengujiannya dilakukan terhadap undang-undang.
Urgensi Pengaturan Materi Delegated Legislation
Selain itu persoalan di atas, status dan kedudukan peraturan-peraturan sebagaimana dalam Pasal 8 UU 12/2011 juga memiliki kaitan erat dengan materi muatannya untuk menentukan pemberlakuan asas lex speciali derogat legi generalli (peraturan yang lebih khusus mengalahkan peraturan yang lebih umum) jika terjadi pertentangan norma secara horizontal.
Berkaitan dengan hal itu, Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa pemberlakuan asas lex generalli derogat legi speciali mempersyaratkan kesederajatan kedudukan yang dimiliki oleh masing-masing peraturan perundang-undangan yang bertentangan.[8]
Dengan demikian, suatu aturan menteri tidak dapat dikatakan sebagai lex specialis dari peraturan pemerintah, sekalipun jika dilihat dari tugas dan fungsi kementerian tidak lain adalah menjalankan pemerintahan eksekutif pada bidang-bidang tertentu. Terkecuali jika pengaturan memang secara tegas didelegasikan oleh peraturan pemerintah itu sendiri.
Baca juga: Positivisme Hukum dan Positivisme Logis
Satu hal yang perlu dipahami dalam hal ini adalah lex generalis biasanya mengandung ketentuan yang menyatakan kekhususan dari suatu peraturan yang dimaksud. Misalnya, Pasal 1 KUHD yang menyatakan; “Selama dalam kitab undang-undang ini terhadap kitab undang-undang hukum perdata tidak diadakan penyimpangan khusus, maka kitab undang-undang hukum berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab undang-undang ini”.
Sayangnya, tidak semua peraturan perundang-undangan menyebutkan posisi kehususannya sebagaimana Pasal 1 KUHD tersebut. Sehingga harus dilakukan pengaturan lebih lanjut terhadap ruang lingkup materi muatan masing-masing peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga/intansi pemerintahan.
Secara umum ruang lingkup materi muatan peraturan pelaksana atau otonom yang berada di bawah undang-undang adalah untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Misalnya, peraturan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan untuk menjalankan Undang-Undang yang mengatur tentang lembaga dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Tidak diperkenankan suatu peraturan Mahkamah Konstitusi mengatur materi-materi di luar kelembagaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Begitu pula yang seharusnya berlaku pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga/instansi lainnya.
Untuk itu, pengaturan materi muatan jenis peraturan perundang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 UU No. 12/2011 menjadi penting agar terjadi harmonisasi norma peraturan perundang-undangan, serta mengantisipasi adanya overlaping kewenangan antar lembaga-lembaga negara/pemerintah dalam mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Terlebih kejelasan mengenai kedudukan dan materi muatan suatu peraturan merupakan bagian dari Good Regulatory Practice atau prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Sumber:
[1] Lihat Pasal 1 angka 1 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[2] Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, cetakan ketiga, Rajawali Press, Jakarta, 2012, hlm. 256.
[3] Lihat Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU No.12 Tahun 2011
[4] Lihat Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU No.12 Tahun 2011
[5] Maria Farida Indrati, 2002, Ilmu Perundang-Undangan, Sekretariat Djendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, hlm 51-52
[6] Ibid., Lihat juga Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hlm 389-390.
[7] Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 Amandemen Ketiga
[8] Peter Mahmud Marzuki, 2015, Penelitan Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 139.