Rabu, Februari 19, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Emansipasi Politik; Keterlibatan Perempuan dalam Parlemen di Tengah Budaya Patriarki

Jendelahukum.com, Perspektif – Sejarah perjuangan emansipasi di Indonesia terus bergulir dari waktu ke waktu. Meskipun seringkali menapaki jalan terjal, perjuangan emansipasi di Indonesia terus disuarakan untuk menembus batas-batas budaya patriarkis di tengah era globalisasi.

Demokrasi memberikan ruang bagi siapa saja untuk menyalurkan aspirasinya, tak terkecuali bagi perempuan yang semula termarjinalkan kini mulai bersuara dan menuntut hak-hak kesetaraannya, termasuk dalam bidang politik.

Diakui atau tidak peran perempuan dalam kancah politik Indonesia masih dipandang sebelah mata. Sekalipun pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan affirmatif action guna mendorong eksistensi perempuan dalam perpolitikan Indonesia, akan tetapi realitanya, perempuan masih saja diperankan sebagai figuran yang semata-mata digunakan untuk memenuhi sejumlah persyaratan administratif.

Baca juga: Medusa dan Feminist Legal Theory

Oleh karena itu, pemahaman terhadap emansipasi seharusnya dilakukan dengan memaknai kodrat perempuan secara menyeluruh, yakni bukan hanya sebatas pemaknaan eksistensi perempuan dalam arti formil saja. Melainkan lebih kepada eksistensi perempuan dalam arti materil, yaitu keturutsertaan perempuan dalam semua pengambilan keputusan strategis bukan hanya sebagai peran pendukung saja.

Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen

Affirmatif action 30% keterwakilan perempuan merupakan salah satu kebijakan pemerintah guna mendorong peran perempuan dalam kacah perpolitikan Indonesia. Namun demikian, keterwakilan perempuan dalam parlemen masih saja rendah. Semenjak pemilu 1999 hingga 2014, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR RI belum mencapai angka 30 persen.

Pada pemilu 1999, jumlah perempuan yang menduduki kursi di DPR sebanyak 44 orang atau 8,8 persen. Proporsi ini meningkat 47,7 persen menjadi 65 orang pada pemilu 2004 atau mendapatkan porsi sebesar 11,82 persen di DPR. Pada empat periode pemilu terakhir, keterwakilan perempuan tertinggi pada pemilu 2009, dengan proporsi sebesar 17,86 persen.

Sayangnya, pada periode 2014-2019, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR turun menjadi sebanyak 97 orang atau 17,32 persen dari total anggota DPR RI yang berjumlah 560 orang. Maka jika ditarik kesimpulan, pada Pemilu Legislatif 2014 ternyata hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan 97 kursi (17,32%) di DPR, 35 kursi (26,51%) di DPD, dan 16,14% di DPRD serta 14% di DPRD kabupaten/kota.

Rendahnya keterwakilan perempuan dalam parlemen ini kental dengan hambatan bahwa budaya patriarki masih mendominasi di Indonesia. Padahal, di era kini keterwakilan perempuan dalam parlemen perlu mendapat perhatian penting. Karena kehadiran perempuan di parlemen memberikan otoritas sendiri pada perempuan untuk membuat kebijakan yang berkontribusi besar pada pencapaian hak-hak perempuan dalam kesetaraan gender.

Baca juga: Telaah Kritis Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pilkada Langsung

Sebab sering kali anggota laki-laki tidak dapat sepenuhnya mewakili kepentingan perempuan karena ada perbedaan kepentingan serta anggapan patriarki bahwa kepentingan dan kesetaraan perempuan tidak perlu begitu menjadi bahasan penting. Dengan keterwakilan perempuan dalam parlemen maka akan mempermudah menyalurkan aspirasi perempuan di tengah dinamika politik di Indonesia.

Pemberlakuan Affirmative Action 30 % keterwakilan perempuan dalam parlemen seolah menjadi angin segar dan memberi harapan bagi insan politikus perempuan untuk turut serta dalam parlemen. Menjelang tahun perpolitikan yakni Pemilu 2019 marilah melihat pengaturan yang mengakomodir perempuan untuk turut serta dalam Pemilu.

Di Undang-Undang  No. 7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), frase “perempuan” disebut sebanyak sembilan belas kali. Tersebar pada bagian pengaturan tentang pembentukan badan penyelenggara pemilu, verifikasi partai politik peserta pemilu, dan pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPR Daerah (DPRD).

Namun benarkah walau kebijakan sudah diterapkan maka dengan mudah perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk melenggang ke kursi parlemen? Tentu perlu kajian yang komprehensif untuk menjawab pertanyaan ini. Terutama jika dikaitkan dengan sejauhmana para elit partai politik melaksanakan kebijakan affirmatif actionini dalam internal partainya.

Evaluasi Terhadap 30% Keterwakilan Perempuan

Harus diakui, sejauh ini kuota perempuan di siapkan hanya untuk memenuhi angka saja bukan melalui pemilihan intern yang demokratis. Pada Pasal 241 UU Pemilu dinyatakan bahwa partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara demokratis dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar (AD), anggaran rumah tangga (ART), dan/atau peraturan internal partai.

Namun, sayangnya, ketentuan ini tidak menjelaskan secara detail ukuran seleksi bakal calon yang demokratis. Karena indikator seleksi demokratis di intern Parpol tidak ada indikator yang jelas. Jadi bisa dikatakan bahwa Parpol hanya memenuhi 30%pada proses pencalonan perempuan dalam pemilu, bukan kepada keterwakilan itu sendiri. Semestinya Parpol menentukan strategi keterwakilan perempuan bukan hanya pada penentuan awalnya saja

Hal yang menarik untuk dicermati adalah secara statistik, menunjukkan caleg yang terpilih di parlemen hampir 60% diisi oleh mereka yang memiliki nomor urut 1 (satu). Data yang di peroleh dari kajian Pusat Studi dan Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia terhadap hasil perolehan suara Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, calon dengan nomor urut satu mendominasi keterpilihan sebagai anggota legislatif.

Sebanyak 60 persen calon bernomor urut 1 (satu) memenangkan pemilihan. Sementara sebagian besar perempuan ditempatkan pada nomor urut rata-rata 3, 5, dan seterusnya. Hal tersebut yang menyebabkan proporsi 30% keterwakilan perempuan sulit tercapai.

Sudah semestinya norma yang mengatur 30% keterwakilan perempuan ini diaplikasikan secara operasional dan implementatif. Maka sudah semestinya Partai Politik menentukan siasat dan strategi untuk proses keterlibatan Perempuan dalam parlemen dengan meletakan perempuan pada nomor urut 1 (satu).

Baca juga: Prinsip Proporsionalitas dan Pembatasan HAM dalam Undang-Undang

Pemilu 2019 nanti menggunakan sistem proposional daftar terbuka dengan penentuan calon berdasar suara terbanyak, sama seperti Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Dengan sistem ini, perempuan calon legislatif (caleg) memiliki peluang untuk memperkenalkan diri dan membangun kedekatan kepada pemilih.

Lalu apa yang dapat di evaluasi dari Perhelatan pemilu periode lalu untuk selanjutnya dapat diperbaiki dalam pemilu kali ini. Pertama, Peran Parpol sebagai agen pencalonan sangat diperlukan. Dukungan partai politik terhadap regulasi ini dengan cara memberi kesempatan kepada perempuan untuk dapat dicalonkan dan ditempatkan pada posisi yang strategis misal dalam pencalonan diberikan nomor urut 1 (satu).

Kedua, dukungan dana taktis partai untuk pendanaan politik juga dapat dilakukan parpol untuk memperkuat 30% keterwakilan perempuan. Regulasi pendanaan politik dapat digunakan sebagai alat untuk memaksa partai berbenah diri,  termasuk memperbaiki sikap dan kebijakan internal terhadap partisipasi perempuan.Ketiga, ancaman legal bagi Parpol yang tidak memprioritaskan keterlibatan perempuan. Sebagai komparasi, kita bisa lihat pemerintah Prancis, pemerintah prancis akan mengurangi jumlah dana subsidi kepada partai-partai yang tidak memenuhi persyaratan kesetaraan gender sebagaimana tercantum di dalam UU Pemilu. Ancaman sanksi administratif seperti ini terbukti efektif.

Semoga saja Pemerintah Indonesia bisa mengadopsi regulasi-regulasi semacam ini pada pemilu-pemilu selanjutnya.

 

hallojendela
hallojendelahttps://www.jendelahukum.com/
Melihat hukum dari berbagai perspektif

Recent Post

Related Stories

For Subcription