Jendelahukum.com – Medusa; seorang pendeta cantik yang tinggal di kuil Parthenon. Dia begitu dikagumi oleh para dewa. Bahkan Poseidon, sang penguasa laut, pun terpana pada kecantikannya.
Suatu ketika, dikala Medusa sedang sendirian, secara diam-diam Poseidon menghampirinya. Akhirnya Medusa yang sedang lengah saat itu, diperkosa oleh Poseidon.
Baca: Themis Sebagai Simbol Keadilan?
Mengetahui kejadian itu Athena murka. Kuil suci miliknya dinodai. Maka penghakiman pun dilakukan dengan satu kesimpulan bahwa Medusa-lah biangnya, karena kecantikannyalah Poseidon tergoda.
Jatuhlah satu vonis dari pengadilan berupa satu kutukan; Rambut indahnya berubah seketika menjadi sekumpulan ular yang sangat berbisa. Dan siapapun yg menatapnya akan menjadi batu.
Baca juga: Penggalan Teori; Sistem Hukum Ala M.Friedman
Sejak saat itu pula berubahlah nasib Medusa, yang dulunya dipuja-puja para dewa, menjadi monster yg menakutkan. Tebasan pedang Persieus yg meregangkan nyawanya tidak lantas menghentikan penderitaannya. Sampai kini, ia tetap dikenal sebagai sosok jahat dan menakutkan.
Demikianlah hukum menurut pandangan bangsa Yunani Kuno, sebagaimana tertuang dalam wiracarita Homer yg berjudul; “Illiad”, yang kemudian menjadi muara munculnya mitologi Yunani itu.
Lalu apa hubungannya kisah Medusa tsb dengan Feminist Legal Theory?
Dari penggalan kisah ini kita menjadi mengerti bahwa memang sejak awal hukum itu diskriminatif terhadap perempuan. Paradigma demikian terbungkus rapi membentuk suatu dogma yang banyak mempengaruhi orang-orang setelahnya.
Dalam kerancuan pikir itulah, lahir sekelompok orang yang berempati pada nasib Medusa; mencoba mendongkel dogma “keadilan” lama dengan melahirkan “Feminist Legal Theory”, agar kisah Medusa tidak terulang kembali di masa-masa yang akan datang.