Jumat, Januari 24, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Telaah Kritis Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pilkada Langsung

Jendelahukum.com, Perspektif – Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan daerah sejatinya merupakan salah satu kelebihan, sekaligus kelemahan yang dimiliki oleh sistem demokrasi. Dipandang sebagai kelebihan, karena demokrasi memberikan ruang bagi setiap elemen masyarakat untuk ikut berpartisipasi menentukan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Partisipasi masyarakat selalu berpangkal pada prinsip kesetaraan dan kebebasan yang menjadi inti dari demokrasi.

Pada tataran ini, antara yang miskin dan yang kaya, pintar dan bodoh, baik atau jahat, dan segala sifat maupun strata sosial yang melekat pada individu masyarakat dianggap sama rata. Semua memiliki hak untuk ikut berpartisipasi. Akan tetapi haruslah diingat bahwa partisipasi masyarakat yang sedemikian luas itu dapat saja menjadi boomerang manaka tidak diiringi dengan kecerdasan kolektif yang dimiliki oleh masyarakatnya.

Baca juga: Peran Tokoh Agama dan Pemuka Adat dalam Menyongsong Pesta Demokrasi

Pada tahap ini pula sisi positif dari partisipasi masyarakat itu bisa berevolusi menjadi negatif yang dapat mendisrupsi nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Sebut saja pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung – yang selama ini diromantisir sebagai sistem yang lebih demokratis karena memberikan ruang yang lebih luas terhadap partisipasi masyarakat – justru malah banyak melahirkan dinasti-dinasti politik dan pejabat-pejabat korup.

Belum lagi kecurangan-kecurangan selama berlangsungnya proses pilkada yang melibatkan masyarakat secara langsung. Berkaca pada data yang pernah dipublikasikan oleh tirto.id, tidak kurang dari 56 kepala daerah yang berhasil ditetapkan sebagai terpidana korupsi oleh KPK dalam rentang 13 tahun sejak pertama kali diberlakukannya pilkada langsung.[1] Tak pelak, demokratisasi pemerintahan daerah pun belum memperlihatkan keberhasilannya.

Sebuah ironi nampak secara nyata. Pemberian ruang yang begitu luas terhadap partispasi masyarakat sebagai pengejahwantahan sistem demokrasi, nyatanya dapat dimobilisasi oleh segelintir oknum untuk mendukung kepentingan dirinya atau kelompoknya sendiri.

Sungguhpun begitu, tidak ada maksud tulisan ini mengajak masyarakat untuk kembali menerapkan pilkada secara tidak langsung atau kembali dipilih oleh DPRD, sebab pilihan demikian akan sama halnya jika pokok persoalannya yang menjadi borok demokrasi kita belum berhasil disembuhkan.

Alih-alih merubah sistem yang sudah dianut, penulis lebih memilihmengevaluasi sistem yang ada dengan menguraikan beberapa hal yang dirasa perlu diperbaiki, agar pilkada Indonesia dapat memberikan formulasi yang mengarah pada demokrasi subtansial bagi masyarakat, bukan demokrasi sebagai formalitas semata.

Namun, dari sekian banyak persoalan itu dalam tulisan ini penulis akan memfokuskan dua permasalah utama yang penulis anggap sebagai batu sandungan demokrasi daerah dalam melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.

Distorsi Fungsi Partai Politik

Salah satu persoalan mendasar yang menyebabkan mandulnya sistem demokrasi kita untuk melahirkan kepemimpinan yang berkualitas adalah buruknya fungsi kaderisasi partai politik. Seringkali kita temukan bahwa setiap menjelang perhelatan pilkada parpol-parpol tersebut cenderung bersikap pragmatis dalam menentukan calon pemimpin daerah.

Sehingga kemudian menimbulkan kesan di mata masyarakat bahwa keberadaan parpol tersebut hanya berfungsi sebagai kendaraan mewah yang bisa ditumpangi oleh mereka yang memiliki kekuatan modal ekonomi yang kuat.

Tak bisa dihindari, pragmatisme politik kerapkali menjadi batu sandungan untuk melahirkan calon-calon pemimpin alternatif. Sehingga se-ideal dan se-baik apapun kualitas yang dimiliki oleh seseorang tidak memiliki nilai apa-apa, tanpa adanya dukungan politik dan ekonomi yang kuat, ketika hendak tampil ke permukaan untuk berkontribusi secara aktif membenahi negara ini. Permasalahan ini tentu tidak hanya terjadi pada tingkat lokal, pada tingkat nasional pun juga demikian.

Dalam banyak forum diskusi ilmiah, panggung-panggung politik, dan ruang-ruang publik, seringkali orang mengutip peryataan Clinton Rossiter bahwa; “Tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai politik”.[2] Pernyataan tersebut harus diuji kembali jika pada akhirnya hanya menjadi retorika semata untuk mengelabui masyarakat dalam memuluskan kepentingan sekelompok orang. Tidak bisa dipungkiri jika realita pada saat ini, parpol-parpol di negara kita mendapatkan stigma negatif dari masyarakat (distrust public).

Baca juga: Partisipasi Masyarakat Dalam Otonomi Daerah

Indonesia sejatinya tidak kekurangan orang-orang cerdas untuk merealisasikan demokrasi yang ideal. Hanya saja, untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah dan banyak tantangan yang harus dihadapi.

Di antaranya, dibutuhkan kedewasaan politik dari para elit parpol untuk meningkatkan demokratisasi intenal parpolnya. Sehingga pengurus di tingkat daerah memiliki keleluasaan untuk mencalonkan seseorang menjadi kepala daerah tanpa adanya pen-dikte-an dari pengurus pusat.

Membangun Kecerdasan Kolektif dalam Berdemokrasi

Selain itu, penting pula untuk disadari bahwa demokrasi bukanlah sebuah mesin yang komponen utamanya hanya terdiri dari partai politik. Di samping itu, terdapat partisipasi masyarakat umum melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi parpol tersebut. Untuk itu, diperlukan kecerdasan kolektif sebagai penunjang realisasi penerapan sistem demokrasi di Indonesia.

Pilihan terhadap pilkada langsung maupun tidak langsung akan berakhir sama jika tidak diiringi dengan pembangunan kecerdasan kolektif masyarakat. Sebagaimana dijelaskan oleh Thomas Meyer, bahwa kesuksesan dan kegagalan demokrasi dalam suatu negara akan sangat ditentukan oleh budaya politik dimana demokrasi itu diterapkan. Faktor ini terutama melibatkan sikap, kebiasaan, tindakan dan nilai-nilai serta keyakinan dan harapan yang dimiliki dan mengarahkan masyarakat dan elit politik.[3]

Baca juga: Mengenal GBHN pada Sistem Pemerintahan Presidensial

Semakin terjadi kontradiksi mendalam antara semangat dan kebiasaan lembaga elit politik dan mayoritas masyarakat, maka kesempatan demokrasi akan berjalan dengan baik semakin sulit direalisasikan.Maraknya kasus korupsi yang melanda kepala-kepala daerah setidaknya menjadi buktikegagalan kita menciptakan kesadaran dan kecerdasan kolektif untuk membangun semangat dan kebiasaan demokrasiyang ideal.

Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk melakukan politik pembangunan kecerdasan kolektif masyarakat dalam berdemokrasi. Dengan kecerdasan kolektif masyarakat maka partisipasi masyarakat akan menjadi sarana kontrol terhadap arah kebijakan pemerintahan, mulai dari proses pemilihan kepada daerah sampai pada penyelanggaran pemerintahan daerah pasca terpilihnya pemimpin hasil pemilihan.

[1] Scholastica Gerintya, “Dalam 13 Tahun, 56 Kepala Daerah Jadi Terpidana Korupsi”, diunduh dari https://tirto.id/dalam-13-tahun-56-kepala-daerah-jadi-terpidana-korupsi-cHDy, Pukul 19.45 WIB Pada Tanggal 13 Desember 2018.

[2]Richard S. Katz & William Crotty, Handbook Partai Politik, Cetakan kedua, Nusa Media, Bandung, 2015, hlm., 7.

[3] Thomas Meyer, Kompromi; Jalur Ideal Menuju Demokrasi, Friedrich-Ebert-Stiftung (FES), Jakarta, 2012, hlm. 7.

Alan Hakim
Alan Hakim
Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum UGM, Aktivis Gerakan Demokrasi dan Konstitusi (Gradasi) dan Institute Anti Korupsi (IAK)

Recent Post

Related Stories

For Subcription