Jendelahukum.com, Perspektif – Dianutnya sistem otonomi daerah di Indonesia menjadi angin segar bagi perubahan daerah. Pasalnya, otonomi daerah memberikan kewenangan seluas-luasnya untuk membangun daerah sesuai dengan kebutuhann dan karakteristiknya.
Menurut sistem ini daerah diasumsikan tahu akan kondisi dan kebutuhannya. Di sinilah kelebihan sistem otonomi daerah, setiap daerah punya kesempatan yang sama untuk membangun daerahnya.
Prinsip-prinsip sistem otonomi daerah sepertinya cukup menjanjikan kesejahteraan dan keadilan pada setiap daerah, seolah-olah sistem ini akan menjadi obat yang mujarab bagi problem yang ada di daerah.
Imajinasi otonomi daerah yang dibangun memang indah, akan tetapi dalam praktek harus diakui bahwa adakalanya juga prinsip-prinsip otonomi daerah menjadi dogma yang kosong, yang tak punya arti apa-apa.
Problematika Otonomi Daerah
Salah satu problematika yang dialami daerah dalam menjalankan otonominya adalah semakin maraknya korupsi di daerah. Korupsi yang awalnya berada di pusat, kini menyebar di tiap-tiap daerah, bahkan terbangun dinasti-dinasti politik baru
Dalam hal ini, otonomi daerah layaknya lahan baru yang harus diperebutkan. Maka tidak heran, banyak orang dari pusat yang kemudian turun gunung ke daerah memanfaatkan kewenangan besar daerah demi menumpuk pundi-pundi kekayaan.
Selain itu, alasan otonomi daerah seringkali dijadikan alasan oleh pemerintah pusat untuk bisa lepas tangan dari setiap problem yang dialami. Tak pelak, pemerintah daerah pun punya tangungjawab yang berat untuk membangun daerah pasca diberikan hak otonomi.
Sehingga akhirnya tak sedikit daerah yang tak mampu mengoptimalisasi dan menerapkan otonomi daerah untuk kepentingan itu, seperti diamanatkan oleh UU 1/2015 tentang Pemerintahan Daerah. Namun terlepas dari itu semua, kita masih optismis melihat beberapa daerah yang mampu menerapkan mengaktualisasikan prinsip-prinsip otonomi daerah secara efektif.
Dalam hal ini menurut penulis setidaknya ada dua hal penting yang menjadi catatan, pertama, partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah; kedua, pengawalan masyarakat dalam kepemimpinan kepala daerah. Dua point ini harus dijalankan secara konsekuen oleh masyarakat terhadap siapapun yang terpilih sebagai kepala daerah.
Pada tataran ini, harus kita pahami bahwa otonomi daerah bukanlah sistem yang pemberlakuannya sekedar taken for granted. Otonomi daerah adalah sistem yang harus diperjuangkan bersama untuk mencari kesejahteraan rakyat.
Bagaimana pun pasca otonomi, kepala derah sangat punya peran besar untuk membangun daerah. Oleh karena itu, kepala daerah harus dikawal agar bisa berjalan sesuai dengan koridor demokratisasi daerah.
Mendorong Partisipasi Masyarakat
Untuk menerapkan otonomi daerah seperti yang diamanatkan UU Pemda harus dimulai dengan memilih kepala daerah yang kapabel dan yang berkualitas, hal itu harus dimulai dari partisipasi rakyat sebagai aspek penting demokrasi yang mempunyai kekuasan tertinggi.
Dengan asumsi rakyat dianggap paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah diri sendiri. Makanya, rakyat dalam mengunakan haknya harus berhati-hati, karena semua keputusan politik dan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi dirinya.
Selama ini yang terjadi partisipasi rakyat hanya dimaknai sebagai formalitas, partisipasi rakyat hanya dimaknai memilih calon tertentu tanpa banyak yang tahu rekam jejaknya, misi-visi. Pada sisi lain, banyak calon-calon kepala daerah menggunakan politik uang, primodialisme yang sangat mempengaruhi pilihannya.
Dengan begitu, secara sadar kita juga menentukan atau memilih kepala daerah yang tidak layak untuk menjadi kepala daerah. Partisipasi di sini yang penulis maksud adalah keterlibatan yang punya hak suara dalam memberikan pilihan harus cermat.
Partisipasi rakyat harus dimaksudkan menjadi pemilih cerdas, pemilih rasional, dan memilih calon-calon yang berintegritas dan yang berkualitas, punya misi-visi yang lebih penting memiliki rekam jejak bagus.
Selain itu, pengawalan terhadap kepala daerah terpilih menjadi penting, agar setiap kebijakan yang di keluarkan pro terhadap pada rakyat. Proses pengawasan ini menjadi urgen agar kepala daerah yang terpilih melaksanakan kegiatan pemerintahan yang perencanaan dan lebih lagi sesuai dengan regulasi yang ada.
Secara teori, mungkin dikatakan cukup para wakil rakyat yang mengevaluasi kinerja kepala daerah. Akan tetapi dalam praktek DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota masih kurang maksimal, dengan kata lain wakil rakyat kita menjadi mandul.
Pada posisi ini kita tak bisa hanya berharap pada wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat. Rakyat harus turut aktif melakukan pengawalan misalnya melakukan demonstrasi, melakukan pengaduan publik lewat media massa.
Dengan begitu, secara tidak langsung kita sebagai masyarakat akan ikut andil dan menuntut kepala daerah untuk mampu membangun daerah otonomi yang sesuai dengan keinginan tujuannya, yaitu kesejahteraan sosial.