Monday, November 4, 2024
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Mengembalikan Positivisme Hukum ke Filsafat

Jendelahukum.com – Sekitar 350 tahun SM, Aristoteles telah mendefinisakan manusia sebagai binatang berpikir (animal rationale) yang menjadikan jenis binatang ini lebih mulia daripada jenis binatang yang lain (hewan). Fitrah berpikir manusia yang di ciptakan oleh Tuhan, dapat mengarah pada kebaikan dan keburukan.

Dari berpikir itu jugalah, manusia sadar perlunya batasan (hukum) antar manusia untuk tidak mencengkram satu sama lain, sebagaimana old maxim: “homo homini lupus” (manusia adalah harimau bagi manusia yang lain).

Selain berpikir, manusia memiliki ego. Ego merupakan partikel sadar manusia dengan sifat rasional yang berfungsi menyesuaikan antara alam bawah sadar manusia dan realita, serta cenderung anti sosial atau mementingkan kehendak diri sendiri. Dari berpikir atau logika, manusia harus mampu memenegemen antara ego dan logika.

Baca Juga: Mengenal Aliran Hukum Positif

Dalam kaitannya dengan hukum, logika adalah paling dasar. Jika salah cara berpikirnya, pasti buruk produk hukumnya. Bahkan dulu Plato menulis di Gerbang Sekolah Akademia yang bunya begini: “yang belum memahami matematika dilarang masuk sekolah ini”.

Tujuannya tidak lain hanyalah ingin menyampaikan pesan bahwa logika adalah hal yang paling dasar, terutama matematika sebagai ilmu pasti. Memang tidak ada persamaan antara hukum dan logika, karena hukum bersifat nilai yang abstrak, tidak bisa di kalkulasi. Namun yang dimaksud terletak pada dasar logika tersebut.

Kebanyakan Stakeholder sekarang memposisikan bahkan memandang hukum itu apa yang tertulis saja. Sehingga, menyalahi teks peraturan tersebut adalah kegiatan melanngar. Pemahaman ini tidaklah benar, dimana titik inti dari hukum adalah apakah politik hukum tersebut berencana menciptakan kebajikan sehingga out putnya adalah kebijaksanaan bersama. Oleh sebab itu, penting untuk dikaji hukum yang sudah berlaku apakah mengandung kebijaksanaan?

Postivisme Hukum dan Jalan Menuju Filsafat

Berbicara Positifisme hukum, ada old maxim dari aliran positivisme hukum yang bunyinya begini: “law is command of the lewgivers”. Singkatnya, hukum adalah perintah penguasa dan seluruh perintah yang tertulis itulah hukum yang wajib ditaati. Positivisme hukum membuat hukum dipadang sebatas perintah atau larangan bukan pada norma yang dikandung. Hukum menjadi kabur dari urgensitasnya.

Bahkan Old Maxim yang berbunyi: “hukum memang kejam, tapi itulah adanya”, membuktikan bahwa hukum adalah kekuatan tanpa pamrih. Dari sini ada dua potensi: menjadi baik jika hukum sudah memuat urgensitasnya yaitu keadilan; menjadi buruk jika lari dari urgensitas hukum itu sendiri.

Aliran hukum dalam suatu negara menentukan bagaimana hukum itu wujud dalam kehidupan, dan aliran tersebut ditentukan oleh mindset dari pembuat undang-undang (legislator).  Realita hukum yang ada adalah hasil dari pemikiran. Pada titik ini, filsafat sebagai pejuang kebiksanaan dibutuhkan. Apalagi jika sang pembuat undang-undang memiliki cacat dalam berlogika.

Selain legislator, legalitas dalam penentuan arus hukum adalah hakim. Fungsi hakim ialah sebagai tangan kanan dari Tuhan dalam menegakkan keadilan di muka bumi. Ada tiga cara pandang hakim dalam memutus perkara yakni: filosofis, sosiologis dan yuridis. Tiga term ini, point tertinggi adalah filosofis karena disitulah keadilan diletakkan. Sosiologis adalah pola sosial yang dibentuk oleh filosofis, dan yurudis adalah alat peresminya.

Baca juga: Hukum Alam dan Positivisme Hukum

Setiap individu pasti memiliki cara pandang yang berbeda-beda, tidak terlepas juga seorang hakim. Maka banyak fakta tentang bagaimana hakim memutus perkara berbeda putusannya dalam kasus yang sama (bukan satu kasus). Yang berbahaya hanya satu, yaitu hakim meninggalkan filsafat.

Sekarang, tugas para sarjana hukum adalah merevitalisasi nilai pokok yang semakin ditinggalkan. Pola pikir bahwa teks undang-undang ibarat kitab suci seperti al-Qur’an perlu di rubah karena urgensitasnya bukan terletak pada teks, melainkan pada keadilan yang terkandung di dalam teks tersebut. Jika berhasil, legislator maknanya tidak sesempit pembuat undang-undang, tetapi pencipta keadilan bagi seluruh masyarakat.

Hoirul Anam
Hoirul Anam
Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Recent Post

Related Stories

For Subcription