Perspektif – Saya ingin memulai tulisan ini dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar tahun 1945 yang menyebutkan “Bumi dan air dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Bahwa sesungguhnya negara pada hakikatnya harus hadir untuk menjamin kekayaan bumi Pertiwi ini untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia agar tercapai kondisi gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo.
Tidak cukup sampai di situ, jika memperhatikan pula dalam Pembukaan UUD 1945 pada Alinea ke-4 maka dijelaskan tentang tujuan negara yaitu untuk “melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum..”
Namun apabila melihat situasi Indonesia saat ini tidaklah demikian. Berulang kali kita menyaksikan bahwa Negara bertangan besi menghadapi masyarakatnya sendiri. Dari catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebutkan, bahwa pemerintah telah memaksakan Proyek Strategis Nasional (PSN) di berbagai daerah dengan merampas tanah rakyat.
Pembangunan PLTU Batubara, waduk, jalan tol, foodestate, geothermal, dan proyek-proyek lainnya, dan baru-baru kini kita kembali dikejutkan dengan cara pemerintah untuk memuluskan Proyek Strategis Nasionalnya di Rempang.
Kamis, 7 September lalu terjadi kerusuhan antara warga Rempang yang menolak dipindahkan dari kampung halamannya yang terdampak dari Proyek Rempang Eco City. Mereka menolak diusir dan memilih mempertahankan tanah leluhurnya dengan segenap raga.
Seketika ingatan saya teringat dengan “tunjuk ajar melayu” dari datuk-datuk kita terdahulu yang menyebutkan “apa tanda melayu jati, membela yang HAK BERANI MATI, membela HAK MILIK menahan CEMETI.” Agaknya inilah yang saudara-saudara kita di Rempang amalkan. Mereka hanya ingin membela hak mereka yang dicoba ambil oleh pemerintah dengan dalih Pembangunan dan iming-iming kemajuan nasional.
Mereka diposisikan sebagai imigran dan dianggap orang asing di kampung halamannya sendiri. Padahal sejarah mencatat saudara-saudara kita di kampung tua Rempang sudah mukim lebih dari 190 tahun lalu, jauh sebelum sebelum Otorita Batam ada atau bahkan Indonesia merdeka.
Ada beberapa alasan bahwa mengapa proyek Rempang ini bermasalah dari perspektif yuridis. Pertama, bahwa seharusnya negara menjamin wilayah dan kesatuan Masyarakat adat seperti yang diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 3 UUPA maka sudah seharusnya hak kepemilikan diberikan kepada masyarakat di Rempang (hak eigendom), meskipun faktanya mereka dipersulit untuk mengurus kepemilikan tanah mereka sendiri dan bahkan sengaja tidak diberikan.
Kedua, jika dilihat dalam lini masa maka sejatinya Otorita Batam sudah memberikan izin pengelolaan kepada PT MEG sejak 26 Agustus 2004 tetapi tidak dilaksanakan hingga baru-baru ini, atau setidaknya terkesan dibiarkan. Padahal seharusnya setiap izin pengelolaan harus dilaksanakan dan tidak boleh dibiarkan.
Ketiga, meskipun BP Batam diberikan kewenangan untuk mengembangkan Pulau Batam, tetapi tetap harus tunduk pada Pasal 41 hingga 43 UUPA yang mengatur tentang hak pakai. Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Kepres No. 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.
Keempat, karena sudah seharusnya negara mengakui wilayah dan kesatuan Masyarakat adat sebagai hak milik mereka (Recht van Eigendom), maka seharusnya tidak boleh ada Hak pakai diatasnya, karena terbukti hingga saat ini Masyarakat belum bersepakat terkait hal ini.
Belum lagi kalau kita lihat secara prosedur yang terkesan proyek ini dilakukan dengan tergesa-gesa. Baru April 2023 lalu Kementerian Agraria menyerahkan HPL kepada BP Batam. Kemudian disambut dengan Kementerian Perekonomian meluncurkan proyek pengembangan Eco City Rempang yang pengelolaannya dilakukan pihak swasta Tunggal yaitu PT. MEG.
Pada 28 Juli 2023 Xinyi International Investment limited menandatangani MoU untuk berinvestasi disaksikan langsung oleh Presiden Jokowi. Lalu, pada akhir agustus 2023 Rempang Eco City ditetap masuk kedalam Proyek Strategis Nasional. Lalu terdengar informasi bahwa proyek ini akan mulai dipatok-patok dan harus sudah kosong tanggal 28 September 2023. Apakah proses kilat ini sudah dilakukan dengan prosedur yang layak dan patut?
Proses kilat ini harus di tinjau Kembali baik secara formil maupun materiil. Secara formil, apakah sudah dilakukan kajian mendalam dan apakah prosedurnya sudah dilakukan dengan benar. Pengembangan Rempang Eco City juga terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari seluruh Masyarakat Rempang khususnya Masyarakat di Kampung Tua, karena sudah seharusnya mereka dianggap pemilik hak eigendom.
Maka jika BP Batam ingin memberikan hak pakai/pengelolaannya kepada pihak lain harus disetujui terlebih dahulu oleh pemegang hak milik. Secara materiil, maka perlu di kaji Kembali apakah proyek ini dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan perekonomian di Indonesia terkhusus Masyarakat di Rempang saat ini.