Friday, October 4, 2024
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Tiga Model Pengujian Konstitusional

Jendelahukum.com, Seputar Hukum – Di berbagai negara, sejarah institusi constitutional review atau pengujian konstitusionalitas mengalami perkembangan yang cukup pesat seiring dengan dianutnya konsepsi negara hukum yang meletakkan konstitusi sebagai hukum tertinggi.[1]

Dapat dikatakan bahwa sejarah munculnya gagasan constitutional review itu bermuara dari suatu sengketa yang terjadi dalam pengadilan Amerika Serikat di bawah pimpinan John Marshal pada tahun 1803, yang kemudian lebih dikenal dengan perkara Marbury versus Madison.

Baca juga: Kasus Marbury vs Madison

Hingga kini pranata pengujian konstitusional bahkan menjadi salah ciri dari sebuah negara hukum dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya. Berbagai negara di dunia pun telah mengadopsi lembaga pengujian konstitusional sesuai dengan model dan varian yang dianggap cocok dengan system ketatanegaraannya.

Menurut Jimly Asshiddiqie, setidaknya ada tiga model utama yang paling penting, yaitu Model Amerika Serikat (Supreme Court atau Mahkamah Agung), Model Austria (Bundervervassungsgeric atau Mahkamah Konstitusi), dan Model Perancis (Conseil Constitutionnel atau Dewan Konstitusi).[2]

Model Amerika Serikat

Model Amerika Serikat (Supreme Court atau Mahkamah Agung), yaitu model pengujian yang terdesentralisasi atau tersebar (desentralized model) dan diperiksa di pengadilan biasa (Pengadilan yang ada di negara bagian/Mahkamah Agung Federal).

Dengan kata lain, bahwa pengujian konstitusional itu tidak bersifat institusional sebagai perkara khusus yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara umum yang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan yang ada.

Pada umumnya model pengujian ini diadopsi oleh negara yang menganut sistem hukum common law. Hal ini dikarenakan pada negara dengan common law system tidak dikenal adanya suatu peradilan khusus yang mengadili pegawai administratif negara sebagaimana dalam civil law system.

Oleh karena itu, tindakan administrasi negara juga diadili di peradilan umum. Sistem ini dapat dikatakan konsisten dalam menerapkan salah satu prinsip unsur negara hukum (Rule of Law), yaitu prinsip persamaan di depan hukum.[3]

Model Austria

Model pengujian konstitusional di Austria tersentralisasi dan terpusat (centralized model) pada satu lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi. Lembaga Mahkamah Konstitusi ini merupakan satu-satu lembaga yang dapat melakukan constitutional review di luar Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga dalam cabang kekuasaan.

Pengujian konstitusional model austria, awalnya dicetuskan oleh George Jellinek pada akhir abad ke-19. George Jellinek terinspirasi dengan model pengujian konstitusional di Amerika Serikat. Akan tetapi, gagasan ini kemudian dilanjutkan oleh Hans Kelsen dengan mendorong dibentuknya suatu lembaga yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung.

Baca juga: Inggris: Negara Konstitusional Tanpa Konstitusi Tertulis

Lembaga yang dimaksud Kelsen diberi nama “Verfassungsgerichtshoft” atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Oleh karena itu, model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model”.[4] Keberadaan Mahkamah Konstitusi Austria sendiri baru diperkenalkan pertama kali pada tahun 1919.

Wewenang Mahkamah Konstitusi Austria diatur oleh Hukum Konstitusional Federal (B-VG) tahun 1920. Dalam menjalankan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusional terutama terhadap norma-norma yang bersifat abstrak, meskipun pengujian terhadap norma kongkret juga dimungkinkan. Selain itu, pengujian dalam model Austria ini dapat bersifat a posteriori ataupun bersifat a priori.[5]

Model Perancis

Pengujian model Perancis yang berbeda dengan model Amerika serikat dan model Austria. Model Perancis ini didasarkan atas bentuk kelembagaan Dewan Konstitusi sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pengujian konstitusionalitas.

Dalam melakukan pengujian konstitusionalitas, Dewan Konstitusi berwenang menguji suatu undang-undang secara a priori atau dengan kata lain pengujian itu dilakukan terhadap rancangan undang-undang yang belum disyahkan menjadi undang-undang.

Oleh karena itu, model ini dapat juga disebut sebagai a priori constitutional review atau judicial preview on the constitutionality of law.[6] Di samping itu, pengujian konstitusional juga dilakukan oleh kamar khusus (special chambers) dari Mahkamah Agung secara terkonsentrasi (desentralized model) dalam perkara-perkara khusus.

Baca juga: Putusan Konstitusional Bersyarat dan Inkonstitusional Bersyarat

Hanya saja, pengujian yang dimaksud terbatas untuk pengujian yang bersifat preventif (a priori review) ataupun pengujian yang bersifat konsultatif. Namun demikian, dalam bidang-bidang tertentu, khususnya yang berhubungan dengan pemilihan umum, sifat pengujian yang dilakukan special chambers di Mahkamah Agung itu dapat bersifat represif (a posteriori review).

Jangkauan pengawasan yang dilakukan Dewan Konstitusi tidak hanya terbatas pada la loi (undang-undang) saja, tetapi juga meliputi le reglement (peraturan).

Konsepsi ini menentukan bahwa Dewan Konstitusi bertanggung jawab penuh terhadap terjadinya keselarasan produk hukum meliputi undang-undang organic secara umum dan peraturan tata tertib permanen Nasional Assembly dan Senate.[7]

Di samping itu, Dewan Konstitusi juga berwenang melakukan pengujian terhadap perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah. Jika perjanjian internasional tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD, maka ratifikasi atau persetujuannya tidak dapat dilakukan kecuali terjadi perubahan konstitusi.[8]

 

Referensi

[1] Jimly As-shiddiqie, “Gagasan Dasar tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi”, Makalah Ketua Mahkamah Konstitusi RI, hlm, 18

[2] Jimly Ashiddiqie, “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara”, Cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2011 hlm. 93.

[3] Ibid., hlm. 46-47.

[4] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar tentang Konstitusi…., op.cit., hlm. 19.

[5] Ibid., hlm. 50

[6] Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review.., op.cit., hlm. 11.

[7] Jimly Asshiddiqie & Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 155.

[8] Ibid.

Stay Connected

16,985FansLike
564,865FollowersFollow
61,453SubscribersSubscribe

Must Read

Related News

Related Stories