Jendelahukum.com, Seputar Hukum – Perkembangan dunia digital merupakan salah satu faktor pendorong semakin berkembangnya e-commerce. Kegiatan berbelanja secara digital (online shopping) sudah menjadi budaya baru masyarakat modern dewasa ini.
Keadaan tersebut tidak hanya berdampak pada pihak produsen, seller maupun konsumen, tapi juga pada pihak perusahaan ekspedisi yang ikut ambil andil sebagai penghubung, perantara dan penunjang kelangsungan transaksi antara penjual dan pembeli.
Baca juga: Membedakan Hukum Pidana dan Hukum Perdata
Pada dasarnya hubungan antara ekspeditur dan pengirim (seller) untuk mengirimkan suatu barang dapat dikualifikasikan sebagai hubungan perjanjian pemberian kuasa atas barang tersebut dari pihak pengirim kepada pihak ekspeditur untuk mengirimkannya kepada pihak konsumen (buyer). Sehingga dengan adanya perjanjian tersebut pihak ekspeditur bertindak atas nama pihak pengirim (seller).
Peralihan kuasa tersebut ditandai dengan dilakukannya penyerahan barang yang hendak dikirim dan diakhiri dengan pembayaran biaya jasa ekspedisi oleh pihak pengirim. Karena sifatnya perjanjian, maka ia harus tunduk pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Meskipun secara eksplisit tidak dijumpai dalam KUHPerdata, namun pengertian ekspeditur dapat kita jumpai dalam Pasal 86 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menjelaskan bahwa ekspeditur adalah seseorang yang pekerjaannya menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lain di darat atau perairan.
Hak Konsumen atas Barang Pesanan
Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya tentu tak jarang pihak ekspeditur melakukan kesalahan karena kekeliruan maupun kelalaian, baik itu menyebabkan rusaknya barang bahkan hilangnya barang pengiriman.
Apabila terjadi keadaan tersebut, lantas bagaimana hukumnya apabila barang pesanan konsumen hilang atau rusak selama dalam pengiriman?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa saja yang menjadi hak konsumen, seperti diantaranya hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Baca juga: Kewajaran Tanggung Jawab Terbatas
Sehingga apabila terjadi pelanggaran terhadap hak yang dialami konsumen maka pihak ekspeditur berkewajiban untuk bertanggung jawab atas segala bentuk kerusakan atau kehilangan barang selama barang itu dalam kekuasaannya (Pasal 87 KUHD).
Rusak dan hilangnya suatu barang pengiriman, selain melanggar hak konsumen, hal itu pun melanggar prinsip keamanan dan keselamatan sebagaimana yang dikenal dalam hukum perlindungan konsumen.
Selanjutnya dalam Pasal 88 KUHD ditentukan, “Ia harus menanggung kerusakan atas kehilangan barang-barang dagangan dan barang-barang sesudah pengirimannya yang dibebankan oleh kesalahan atau keteledorannya.”
Karena sifatnya perjanjian, apabila ada satu pihak yang melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan, maka dapat dikatakan pihak tersebut telah melakukan perbuatan wanprestasi atau ingkar.
Apabila terjadi hal yang demikian, upaya apa saja yang dapat ditempuh oleh konsumen?
Untuk mempermudah menyelesaikan sengketa konsumen, Pasal 45 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen membuka peluang bagi para pihak untuk mengupayakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution) atau pun di luar Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Baca juga: Upaya Hukum dalam Perkara Pidana
Secara umum, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat ditempuh melalui beragam upaya seperti arbitrase, konsiliasi, mediasi, minitrial, summary jury trial, settlement conference, dan beragam cara lainnya.
Namun dalam UU Perlindungan Konsumen atau lebih tempatnya dalam Pasal 52 huruf a Jo Keputusan Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, hanya dikenal 3 (tiga) cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi), yaitu diantaranya :
Pertama, Arbitrase, merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada klausula arbitrase yang dicantumkan para pihak dalam perjanjian.
Kedua, Konsiliasi, yakni suatu proses penyelesaian sengketa yang hampir serupa dengan mediasi akan tetapi ada beberapa hal yang membedakan antara proses konsiliasi dengan medisi.
Ketiga, Mediasi, yakni suatu proses penyelesaian sengketa konsumen melalui mediator Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang dimana badan tersebut berkedudukan hanya sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak yang bersengketa.
Kendati penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui tiga cara tersebut, akan tetapi berdasarkan UU Perlindungan Konsumen waktu penyelesaian untuk semua tahap jangka waktunya telah dibatasi yakni maksimum 100 (seratus) hari sampai mencapai putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Solusi Alternatif
Selain fitur Refund atau mengembalikan kembali barang yang rusak atau tidak sesuai, dewasa ini berbagai jenis e-commerce sudah menyediakan fitur, layanan dan fasilitas alternatif untuk menyelesaikan permalasahan sengketa konsumen melalui upaya mediasi antara pihak penjual dan pembeli.
Jadi, apabila terjadi kerugian yang dialami konsumen atas rusak atau hilangnya barang selama masih dibawah penguasaan ekspeditur, maka konsumen hanya perlu memberitahukan kejadian tersebut kepada seller atau penjual sehingga setelah itu biasanya pihak penjual akan mengkoordinasikan hal tersebut dengan pihak ekspeditur.
Akan tetapi apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil, maka sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Ayat (4) UUPK, konsumen memiliki kesempatan untuk mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri di tempat konsumen berkedudukan.