Rabu, Februari 19, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Mengenal GBHN pada Sistem Pemerintahan Presidensial

Jendelahukum.com- Keberadaan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam konstitusi merupakan suatu hal yang wajar, karena selain memiliki muatan tentang jaminan hak-hak asasi manusia, susunan ketatanegaraan dan pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental, konstitusi juga memiliki materi muatan yang berisikan haluan pembangunan negara juga menjadi kebutuhan yang layak dimasukkan.

Sebetulnya di Indonesia telah memuat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan the principle of state administration. Sebagaimana untuk mengurusi pendidikan dan kebudayaan tercantum di dalam Bab XIII, Pasal 31 dan 32, serta perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial tercantum di dalam Bab XIV, Pasal 33 dan 34.

(Baca juga: Benarkah Status Kewarganegaraan Eks ISIS Sudah Hilang?)

Ketentuan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah haluan negara, walaupun tidak diberikan judul “Garis-Garis Besar Haluan Negara”. Namun, pada implemetasinya sering kali dilanggar, misalnya dalam hal prioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN dan APBD (Pasal 31 Ayat 4), penguasaan cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (Pasal 33 Ayat 2 dan 3), maupun fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 Ayat 1).

Atas dasar hal tersebut, semestinya ketentuan-ketentuan ini ditegaskan sebagai sebuah haluan negara disertai penyempurnaan-penyempurnaan sehingga dapat dijadikan pedoman pembangunan yang berkelanjutan serta dapat dilakukan penegakannya. Sementara itu, implikasi hukum pelanggaran GBHN khususnya pada penjatuhan Presiden.
Padahal dalam prinsip sistem presidensil, masa jabatan Presiden adalah tetap (fixed term) dalam rangka mendukung eksekutif yang kuat dan stabil. Hal tersebut juga sejalan dengan prinsip sistem ini bahwa Presiden bukan bagian dari lembaga perwakilan sehingga Presiden tidak dapat dijatuhkan atau diberhentikan dari jabatannya oleh lembaga perwakilan.

Begitu pula sebaliknya, Presiden pun tidak dapat membubarkan lembaga perwakilan. Dalam sistem presidensil, Presiden hanya dapat diberhentikan pada masa jabatan karena alasan hukum sebagaimana dalam Pasal 7A terkait proses impeachment.

Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa kebutuhan haluan negara bukan untuk ‘romantisme’ mengembalikan sejarah yang kelam, melainkan untuk akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara, karena dalam realitasnya pertanggungjawaban kinerja lembaga-lembaga negara pasca Reformasi tidak cukup jelas akibatnya setiap lembaga negara tak merasa mempertanggungjawabkan kinerjanya setiap tahun kepada rakyat, padahal dalam sistem yang dianut telah memberikan kepercayaan kepada lembaga-lembaga negara melalui daulat rakyat.

Atas dasar itu, sebagaimana sependapat dengan Mei Susanto (Dosen HTN, Unpad) bahwa dengan menempatkan GBHN dalam UUD NRI 1945, maka status hukum GBHN akan sangat kuat. Sesuai dengan ajaran supremasi konstitusi yang dianut Indonesia, maka kedudukan GBHN-pun menjadi supreme. Sejalan dengan sistem yang dianut Indonesia, maka Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam kampanye pemilihan umum, memberikan janji kampanye yang merupakan terjemahan dari GBHN yang tercantum dalam UUD NRI 1945.

Dengan demikian, setelah terpilihpun, Presiden dan Wakil Presiden akan bekerja sesuai dengan janji kampanye yang selaras dengan GBHN, sehingga pembangunan berkelanjutanpun dapat dilaksanakan serta tidak ada lagi istilah pembangunan yang maju-mundur alias poco-poco. Atas dasar pula, maka sistem presidensil yang dianut adalah sistem presidensil yang terpimpin oleh konstitusi yang didalamnya termuat GBHN seperti halnya negara Filipina yang menganut sistem presidensil.

Ahmad Husein
Ahmad Husein
Magister Hukum Kenegaraan UGM

Recent Post

Related Stories

For Subcription