Rabu, Februari 19, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Prinsip Proporsionalitas dan Pembatasan HAM dalam Undang-Undang

Jendelahukum.com, Perspektif – Penggunaan prinsip proporsionalitas dalam pengujian undang-undang memiliki urgensitasnya tersendiri sebagai salah satu pertimbangan terkait konstitusionalitas materi undang-undang. Gardbaum bahkan menyatakan bahwa asas proporsionalitas merupakan bagian dari democratic constitutionalism dalam penegakan hak.

Selain itu, dinyatakan pula oleh Kai Moller bahwa pemanfaatan asas proporsionalitas dalam hukum HAM dan konstitusi digunakan untuk mengatasi problematika konflik persaingan hak atau kepentingan antara negara di satu sisi, dalam hal ini diwakili oleh pembentuk undang-undang dan sisi lain ada masyarakat yang keberatan dengan pembatasan HAM tersebut.

Baca juga: HAM dalam Islam; Konsep Hak Hidup dan Batasannya

Setiap undang-undang yang mengatur pembatasan HAM haruslah bersifat proporsional dengan apa yang menjadi maksud dan tujuan dilakukannya pembatasan tersebut. Adapun dalam konteks Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, ditentukan bahwa yang menjadi tujuan dari pembatasan itu adalah semata-mata untuk menjamin penghormatan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan demi memenuhi tuntutan yang adil berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.

Prinsip proporsionalitas merupakan ruh utama dari beberapa kriteria pembatasan lainnya, sebab dalam konteks pengujian undang-undang akan selalu ditemukan dua sudut pandang yang berbeda terkait dengan pembatasan HAM.

Dalam perspektif legislator misalnya, akan selalu mendalilkan bahwa pembatasan HAM tersebut sejatinya dilakukan seseuai sebagaimana persyaratan yang ditetapkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sedangkan di sisi lain, para pemohon dalam pengujian undang-undang akan selalu berangkat dari argumentasi bahwa pengaturan tersebut telah menciderai hak-haknya.

Perspektif: DPR dan Momok UU ITE

Mahkamah Konstitusi sendiri mengakui dalam Putusann No. 9/PUU-VII/2009 akan pentingnya menggunakan prinsip proporsionalitas dalam melakukan penarakaran terhadap konstitusionalitas Undang-Undang. Proporsionalitas merupakan prinsip dan moralitas konstitusi, yang setiap saat harus diajukan sebagai tolok ukur untuk dapat menjustifikasi dikesampingkannya hak-hak asasi manusia yang telah menjadi constitutional rights.

Namun begitu, sampai saat ini belum ada standard yang pasti mengenai bagaimana suatu materi pembatasan HAM tersebut dapat dikatakan proporsional atau tidak proporsional. Sehingga dalam perjalanannya seringkali menimbulkan perdebatan dalam tataran pengujian konstitusionalitas pembatasan HAM di Mahkamah Konstitusi.

Sebagai bahan perbandingan, dalam konteks ini dapat diajukan pendekatan yang digunakan dalam praktek pengujian undag-undang di berbagai negara. The Federal Constitutional Court Jerman, misalnya, dalam putusannya menjelaskan bahwa; “Any restriction of human rights not only needs a constitutionally valid reason but also has to be proportional the rank and importance of the right at stake”.

Dalam hal, ini ada tiga tahapan tes yang diajukan oleh The Federal Constitutional Court Jerman terkait dengan penerapan prinsip proporsionalitas, yaitu; Pertama, test of suitability, yaitu menilai apakah ukuran yang dirancang untuk memenuhi tujuan legislatif secara rasional.

Dalam penanganan perkara konstitusionalitas materi pembatasan HAM, dilakukan untuk menentukan sejauh mana perlindungan hak individu dan tujuan yang yang ingin dicapai dengan cara pembatasan hak dan kebebasan individu benar-benar sesuai dan tidak bertentangan dengan konstitusi.

Baca: Paradoks Tantangan Kritik ala Jokowi

Kedua, a test of necessity, yaitu untuk menilai apakah tindakan pembatasan tersebut memang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan. Mekanisme ini untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah tidak ada alternatif lain yang tersedia dan dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tanpa membatasi dari kepentingan yang dilindungi, dalam arti mekanisme pembatasan tersebut harus sama efektifnya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai.

Ketiga, a balancing test, ketika mencapai tahap ini berarti telah ditetapkan bahwa terdapat konflik antara hak individu dengan kepentingan lain yang tidak dapat diselesaikan dengan cara lain selain membatasi hak individu.

Mekanisme ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah tindakan aparat negara dibenarkan mengingat terdapat hak individu yang akan dilanggar. Oleh karena itu, keduanya baik antara pembatasan hak indiviu dan tujuan yang ingin dicapai oleh negara harus “seimbang” satu sama lain.

Selain itu, penting juga bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengembangkan ukuran-ukuran yang lebih tegas dalam penggunaan prinsip proporsionalitas sebagaimana yang digunakan oleh Mahkamah Agung yang merumuskan analisa mengenai klausula yang memungkinkan pembatasan hak melalui undang-undang jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

Syarat-syarat tersebut adalah; “Fist, the measure adopted be carefully designed to achieve to the objective in question. They must not be arbitrary, unfair or based on irratinali considerations. In short, they must be rationally connected to the objective. Second, the means, even if rationally connected to be objective in this fist sense, should impair “as the little as possible” the rights or freedom in question. Third, they must be proportionality between the effects of the measures which are responsible for timing the charter rights or freedoms, and the objective which has been identified as of “sufficient importance”.

Secara sederhana, maksud dari persyaratan proporsionalitas yang diajukan oleh Majelis Hakim Agung Kanada itu dapat dijelaskan ke dalam sebuah simulasi sebagai berikut; Manakala pembentuk undang-undang menentukan suatu undang-undang dengan tujuan tertentu dan ada dua jalan yang sama berkonsekuensi menimbulkan kerugian bagi hak dan kebebasan orang lain, maka hendaknya dipilih jalan yang paling minim terjadinya kerugian bagi hak dan kebebasan.

Dengan begitu, jika suatu ketika pembentuk undang-undang terbukti memilih jalan yang potensi kerugiannya lebih besar dari jalan lainnya, maka terhadap pilihan pembentuk undang-undang tersebut dapat dikatakan melanggar prinsip proporsionalitas.

Mekanisme ini penting guna menjawab pertanyaan mengenai apakah tidak ada alternatif lain yang tersedia dan dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tanpa membatasi dari kepentingan yang dilindungi, dalam arti mekanisme pembatasan tersebut harus sama efektifnya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai.

hallojendela
hallojendelahttps://www.jendelahukum.com/
Melihat hukum dari berbagai perspektif

Recent Post

Related Stories

For Subcription