Senin, Juni 30, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

PP 99/2012 Dibatalkan MA, Koruptor Semakin Mudah Dapat Remisi

Jendelahukum.com, Perspektif – Pelemahan agenda pemberantasan korupsi nampaknya belum berakhir. Belum lama publik digaduhkan dengan revisi UU KPK yang kemudian berdampak terhadap eksistensi dan indepedensi dari lembaga anti rausah tersebut.

Tidak hanya itu, implikasi dari adanya revisi UU KPK itu juga mengubah status pegawai KPK menjadi Aparatus Sipil Negara (ASN). Sehingga untuk berubah status menjadi ASN seluruh pegawai KPK diwajibkan untuk melakukan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang penuh dengan kontroversi.

Baca juga: Korupsi, Bukti Lunturnya Nasionalisme Dalam Diri Seseorang

Hasil dari TKW tersebut mengakibatkan 51 orang tidak lolos dan di pecat oleh KPK. Padahal beberapa orang dari 51 tersebut memiliki integritas dan seringkali menjadi garda terdepan dalam membongkar kasus-kasus korupsi besar di Indonesia.

Seakan memasuki babak penyempurnaan dari agenda yang sistematis dan struktural pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi, pada tanggal 28 Oktober 2012 melalui putusan perkara nomor 28 P/HUM/2021 Mahkamah Agung RI mengabulkan permohonan uji materil yang diajukan oleh Subowo dan empat rekannya, yakni warga binaan yang sedang menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Sukamiskin, Bandung.

Adapun pasal yang dimohonkan oleh pemohon untuk di ujikan adalah Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, pasal 34 A ayat (3), dan pasal 43 A ayat (1) huruf (a), pasal 43A ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

Pasal-pasal tersebut pada intinya mengatur soal pemberian remisi kepada narapidana kasus kejahatan luar biasa yang salah satunya adalah korupsi. Para pemohon uji materil tersebut menilai bahwa pasal-pasal yang disebutkan diatas pada PP Nomor 99 Tahun 2012 merugikan pemohon dan bertentangan dengan UU di atasnya.

Inkonsistensi Mahkamah Agung RI Dalam Memutus Uji Materil

Ada empat pertimbangan hukum MA dalam memberikan putusan Nomor 28 P/HUM/2021. Pertama, menurut MA PP 99/2012 tersebut harus sejalan dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan re-integrasi sosial serta konsep restorative justice.

Kedua, bahwa hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali kepada narapidana. Kecuali, di cabut oleh pengadilan dan persyaratan pemberian remisi tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Ketiga, pemberian remisi harus mempertimbangkan dampak kepadatan penghuni (overcrowded) di Lapas. Keempat, pemberian remisi adalah otoritas penuh dari LAPAS yang tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain.

Padahal sebelum putusan ini, MA juga sudah pernah memutuskan uji materi terhadap aturan yang sama yaitu PP 99/2021. Dalam putusan Nomor 51 P/HUM/2013 MA menyatakan bahwa perbedaan perlakuan (pemberian remisi) merupakan konsekuensi etis untuk memperlakukan secara adil sesuai dengan dampak kerusakan moral, social, ekonomi, keamanan, generasi muda, dan masa depan bangsa, dari kejahatan yang masing-masing di lakukan oleh narapidana.

Baca juga: Strategiskah Eks-Koruptor Menjadi Penyuluh Anti Korupsi?

Selain itu masih di tahun yang sama MA juga memutus putusan Nomor 56 P/HUM/2013 yang pada intinya MA juga menyatakan bahwa pengetatan pemberian remisi untuk narapidana yang melakukan tindak pidana kejahatan luar biasa yang salah satunya adalah korupsi untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat karena kejahatan tersebut merupakan kejahatan luar biasa yang mengakibatkan kerugian besar bagi negara atau masyarakat atau mengakibatkan korban yang banyak.

Dalam pertimbangan hukum lainnya yang mencabut PP 99/2012 tersebut MA menyatakan bahwa pemberian remisi harus mempertimbangkan dampak kepadatan penghuni overcrowded di lapas. Terkait hal itu sebenarnya tidak dapat dibenarkan. Karena berdasarkan data dari system database pemasyarakatan per bulan maret tahun 2020, jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0.7 persen atau 1.906 orang.

Angka tersebut berbanding jauh sekali dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang. Artinya bahwa permasalahannya bukan terletak pada peraturan persyaratan pemberian remisinya, namun pada regulasi dalam uu yaitu narkotika. Dengan dikabulkannya permohonan pemohon terhadap PP 99/2012 tersebut memperlihatkan bahwa MA tidak konsisten terhadap putusannya sendiri.

Selain itu juga MA justru memberikan kelonggaran bagi terpidana kejahatan luar biasa dalam hal ini salah satunya adalah kejahatan tindak pidana korupsi untuk mendapatkan remisi dan tidak mendukung agenda-agenda pemberantasan korupsi yang digaungkan oleh pemerintah selama ini.

Syarat Pengaturan Remisi Bukanlah Tindakan Diskriminasi

Perlu kita pahami secara bersama bahwa remisi adalah hak narapidana yang memang harus diberikan oleh negara. Namun hak narapidana bukan merupakan HAM. Karena hak remisi hanya melekat kepada setiap narapidana, sedangkan hak asasi melekat kepada manusia dari mulai lahir sampai meninggal atau dengan kata lain eksistensi manusia itu sendiri.

Hal tersebut juga sudah diperjelas melalui Putusan MK Nomor 54/PUU/XV/2017 pada sub-paragraf (3.8.5) bahwa remisi merupakan hak hukum yang diberikan negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Artinya bahwa remisi bukanlah hak yang tergolong dalam hak asasi manusia dan juga bukan termasuk golongan hak konstitusional sehingga dapat dilakukan pembatasan terhadapnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam konteks ini PP 99/2012 sebenarnya hanya memberikan perbedaan remisi bagi terpidana dan hal tersebut bukanlah tindakan diskriminasi. Sebagaimana seperti pertimbangan Putusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 Paragraf [3.8.7] hlm 43 yang menyatakan bahwa:

Baca juga: Perihal IKN dan (Ancaman) Korupsi

Suatu norma dikatakan mengandung materi muatan yang bersifat diskriminasi apabila norma undang-undang tersebut memuat rumusan yang membedakan perlakuan antara seseorang atau sekelompok dengan seseorang atau sekelompok orang lainnya didasarkan atas perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan HAM seseorang atau sekelompok orang.

Sehingga sebenarnya patut dipertanyakan pertimbangan hukum MA yang salah satunya terkait dengan larangan diskriminasi dalam pemberian remisi bagi terpidana.

Penutup

Dengan dicabutnya PP 99/2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan tersebut, maka terpidana kejahatan luar biasa saat ini tidak perlu lagi bekerja sama dengan APH (Justice Collaborator) untuk mengungkapkan kejahatan luar biasanya untuk mendapatkan remisi hukuman.

Selain itu juga secara tidak langsung MA ingin menyamaratakan bahwa tindakan kejahatan luar biasa yang salah satunya adalah korupsi sama dengan tindak pidana umum lainnya. Padahal tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sebagamiana yang telah diatur dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, Inpres dan Perpres Tentang Pemberantasan Korupsi.

Sehingga dalam proses penanganannya pun memerlukan cara-cara yang luar biasa. Menurut hemat penulis pengaturan syarat pemberian remisi bagi terpidana kejahatan luar biasa yang salah satunya pelaku korupsi harus diperketat kembali. Itu pun dengan catatan jika pemerintah memang masih berkomitmen untuk agenda-agenda pemberantasan korupsi kedepannya.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan memasukkan syarat pemberian remisi bagi terpidana kejahatan luar biasa misalnya melalui RUU KUHP atau RUU Permasyarakatan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR RI bersama Presiden. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mendorong pengetatan atau penghapusan remisi terhadap narapidana kejahatan luar biasa melalui putusan pengadilan

Nur Rahman, S.H
Nur Rahman, S.H
Ketua Bidang Jaringan dan Advokasi IMAMAH FH Universitas Islam Indonesia

Recent Post

Related Stories

For Subcription