Selasa, Juli 1, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Sengkarut Pernikahan Beda Agama yang Tak Kunjung Usai

Jendelahukum.com, Perspektif – Dalam perjalanan kehidupan setiap insan manusia pasti suatu saat ingin melangsungkan sebuah pernikahan. Namun dalam prakteknya pernikahan tidak mudah seperti pada pernikahan beda agama, hal ini masih menjadi perdebatan panjang hingga saat ini.

Praktek pernikahan beda agama ini juga masih dapat ditemui diberbagai daerah seperti salah satunya di Salatiga Kota yang menyandang predikat kota toleransi tertinggi di Indonesia yang memiliki lembaga LSM pendampingan bagi catin (Calon pengantin) yang ingin menikah namun berbeda keyakinan agamanya.

Baca juga: Tak Bisa Nikah Karena Beda Agama, Pria Ini Gugat UU Perkawinan ke MK

Praktek pernikahan beda agama ini merupakan isu yang menarik untuk dibahas. Pasalnya praktek ini dapat kita temui di kisah perjalanan pernikahan Lia marpaung (Kristen) dan Adi Abidin (Muslim) yang diceritakan di bukunya Agung Kresna Bayu yang berjudul Merajut Indonesia Dari Cinta Beda Agama: Tinjauan Kritis atau Fenomena.

Selain itu dalam perjalanan pernikahan Lia marpaung dan Adi Abidin diakadkan oleh K.H Husein Muhammad Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon dan Pendiri Fahmina Institute Cirebon.

Tokoh pernikahan beda agama yang paling fenomenal adalah Ahmad Nurcholis seorang (muslim) aktivis LSM Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP) yang dikenal sebagai pendamping dan penasehat catin beda agama yang kemudian memilih menikah dengan Ang Mei Yong perempuan Konghucu.

Hal itu menjadi alasan para pemohon judicial review Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana digugat di tahun 2015 seorang mahasiswa dan beberapa alumnus FH UI yang mempersoalkan Pasal 2 ayat 1 “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”.

Baca juga: MK Pernah Tolak Legalkan Pernikahan Beda Agama, Ini dia Alasannya

Pasal 2 ayat 2 “Perkawinan dengan berbeda agama dan kepercayaan dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas oleh para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka pengadilan”.

Kemudian Pasal 2 ayat 3 “Tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pasal-pasal tersebut yang tertuang dalam UU Perkawinan yang kemudian telah diubah dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Pernikahan dianggap menjadi pintu masuknya pernikahan beda agama, anak luar kawin dan pernikahan siri.

Perbedaan penafsiran baik penafsiran parsial maupun penafsiran holistik dalam pernikahan beda agama dianggap adanya penyeludupan hukum. Namun keinginan pemohon agar kawin beda agama dilegalkan di Indonesia akhirnya kandas di tangan palu hakim MK.

Meskipun sudah mendengarkan keterangan sejumlah ahli dan saksi, serta perwakilan organisasi keagamaan keinginan permohonan tidak dikabulkan oleh majelis hakim mahkamah konstitusi.

MK tak sependapat dengan dalil para Pemohon bahwa berlakunya Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan memberi legitimasi kepada negara mencampuradukkan administrasi dan pelaksanaan ajaran agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan.

Menurut Anwar Usman Hakim MK dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan.

Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia. Negara berperan memberi pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan.

Secara khusus negara berperan untuk memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah sebagai wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia.

Karena itu, perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan sedangkan UU menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara.

Menariknya lagi salah seorang hakim MK Maria Farida Indrarti mengajukan concurring opinion (alasan berbeda) menurutnya perkawinan beda agama tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan lewat aturan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UU Perkawinan yang menimbulkan beberapa penafsiran yang berbeda.

Baca juga: Serial “Layangan Putus”, Ini dia Jeratan Hukum Bagi Pasangan Selingkuh

Maka demikian seyogyanya memberi solusi bagi mereka yang keterpaksaan harus melangsungkan perkawinan beda agama dan kepercayaan baik terhadap sahnya perkawinan maupun pencatatanya. sebab perkawinan merupakan peristiwa hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi mereka yang menikah.

Karena UU Perkawinan ini dibentuk 41 tahun yang lalu, sebelum ada perubahan UUD 1945, maka sudah selayaknya UU Perkawinan dikaji kembali dan pertimbangan dilakukan perubahan agar menjadi undang-undang yang dapat melindungi dan menjamin hak konstitusi dan hak asasi semua negara.

Persoalan pernikahan beda agama ini kembali digugat di MK oleh seorang warga Mapia Tengah, Dogiyai, Papua, Ramos Petage. Dimana Ramos Petage beralasan UU Perkawinan menyebabkan dirinya yang Katolik tidak bisa menikah dengan wanita muslim sebagaimana mengutip berita detiknews.com Senin, 7 Februari 2022.

Ramos berasumsi bahwa gugatannya berbeda dengan gugatan 2015 menurutnya terdapat perbedaan dalam hal konstitusional yang menjadi alasan diajukan permohonan. Pemohon juga berpendapat bahwa seharusnya permintaan ini tidak dapat diklasifikasikan ne bis in idem.

Mengingat persoalan eksitensi pernikahan beda agama di Indonesia selalu menjadi perdebatan yang cukup alot, penerapan hukum yang berbeda-beda didaerah menjadi diskusi yang panjang, perbedaan penafsiran, kultur sosial dan budaya masyarakat yang mengalami perkembangan menjadi suatu alasan para pemohon untuk melakukan gugatan judicial review.

Lantas bagaimana gugatan Ramos ini apakah kemungkinan bisa dikabulkan?

Hal ini menurut penulis cukup sulit karena ini juga dipengaruhi dari cara berfikir hakim bagaimana para hakim melihat fakta-fakta praktek dan realita dilapangan yang terjadi.

Selain itu menurut penulis hal ini juga tergantung batu uji yang dilakukan ramos apakah sama atau berbeda dengan sebelumnya. Jika batu ujinya sama maka di pendahuluan sudah jelas tidak dikabulkan.

Sebenarmya pasal yang menjadi perdebatan d iatas menurut penulis dibuat sedemikian rupa agar masyarakat bisa memiliki ruang sehingga pasal tersebut tidak kaku semata.

Apalagi di tambah diluar hukum terdapat fatwa-fatwa ulama dan ormas seperti Muhammadiyah, NU dan MUI yang jelas mengharamkan pernikahan beda agama sebagaimana firman Allah SWT yang terdapat di Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 221, Al-Maidah ayat 5 serta At-Tharim ayat 6 kebayakan ulama sepakat bahwa pernikahan Muslim dengan Non-Muslim membawa kemudharatan dalam banyak hal.

Terlepas dari perdebatan itu semua sebagai mahkluk ciptaan Allah SWT sewajarnya kita harus saling menghormati. Apalagi Indonesia negara yang plural dan beragam budaya melebur menjadi satu sebagaimana ajaran Rasulullah SAW untuk saling menyayangi, mencintai dan mengasihi sesama makhluk.

Penulis menyadari dalam tulisan ini masih mengalami kekurangan oleh sebab itu penulis memohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat salah kata dan kurang berkenan dihati. Semoga kita senantiasa diberikan kesehatan, kebarokahan dan kenikmatan rezki yang halalan thoyibah.

Dwiky Bagas Setyawan
Dwiky Bagas Setyawan
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Recent Post

Related Stories

For Subcription