Perspektif – Belakangan ini sebuah video viral menunjukkan situasi memilukan di salah satu gerai Roti O di kawasan Halte Busway Monas, Jakarta Pusat, di mana seorang nenek yang hendak membeli roti ditolak karena ingin membayar dengan uang tunai, sementara gerai tersebut hanya menerima pembayaran melalui QRIS. Rekaman tersebut memicu kemarahan publik dan menjadi perbincangan luas karena sang nenek tidak memiliki alat pembayaran digital dan tidak bisa beradaptasi dengan sistem cashless yang dipaksakan oleh pelaku usaha.
Kejadian ini tentu bukan sekadar soal pilihan teknologi atau preferensi operasi bisnis. Fenomena ini menyentuh akar hukum fundamental tentang alat pembayaran yang sah di Indonesia. Pasal 2 ayat (1) UU 7/ 2011 tentang Mata Uang dengan tegas menyatakan bahwa rupiah adalah alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
QRIS sendiri merupakan instrumen sah dalam sistem pembayaran nasional yang dikembangkan oleh Bank Indonesia. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang 23/1999 tentang Bank Indonesia. Namun perlu ditegaskan, kewenangan tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai dasar untuk menghapus kewajiban hukum menerima rupiah dalam bentuk tunai. QRIS adalah sarana pembayaran alternatif yang bersifat komplementer, bukan pengganti mutlak uang tunai.
Larangan penolakan rupiah ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai alat pembayaran yang sah. Pengecualian terhadap kewajiban tersebut telah diatur secara limitatif dalam Pasal 23 ayat (2), seperti untuk transaksi internasional atau simpanan di bank. Transaksi jual beli barang dan jasa secara umum jelas tidak termasuk dalam kategori pengecualian tersebut.
Dengan demikian, praktik pelaku usaha yang menolak uang tunai dan hanya menerima QRIS pada dasarnya merupakan tindakan yang secara nyata bertentangan dengan undang-undang. Bahkan, UU Mata Uang tidak berhenti pada larangan normatif semata. Pasal 33 ayat (2) secara jelas mengancam setiap orang yang menolak menerima rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak 200 juta rupiah.
Selain UU Mata Uang, peristiwa ini juga membuka ruang diskusi tentang perlindungan konsumen. UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen mengamanatkan perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif terhadap konsumen, terutama mereka yang lebih rentan. Lansia, masyarakat berpenghasilan rendah, dan kelompok rentan lainnya seringkali belum menguasai atau tidak memiliki akses terhadap teknologi pembayaran digital.
Digitalisasi pembayaran tidak boleh mengorbankan hak konsumen dan kewajiban hukum menerima alat pembayaran yang sah. Digitalisasi harus berjalan seiring dengan keadilan, kepastian hukum, dan inklusi sosial. Penolakan sistematis terhadap uang tunai sebagai bentuk penegasan eksklusivitas teknologi bukan hanya bermasalah secara praktik, akan tetapi juga menyentuh dimensi keadilan sosial.
Lansia dan kelompok rentan adalah pihak yang paling terdampak kebijakan cashless yang dipaksakan. Negara tidak boleh absen ketika hukum dilanggar dan warga negara dirugikan secara nyata. Dalam negara hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, penegakan hukum adalah kewajiban, bukan pilihan.
Sayangnya, Bank Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab memastikan bahwa digitalisasi tidak melanggar hukum, hanya memberikan respons imbauan normatif agar pelaku usaha “tidak menolak rupiah”. Padahal dalam konteks pelanggaran yang nyata dan berulang, pendekatan persuasif semata tidak lagi memadai. Ketika pelanggaran dibiarkan tanpa sanksi, yang terbentuk adalah normalisasi pelanggaran hukum. Pelaku usaha lain akan meniru, dan kewajiban hukum perlahan berubah menjadi sekadar formalitas di atas kertas.
Karena itu, Bank Indonesia perlu melangkah lebih jauh dari sekadar pernyataan publik. BI harus menggunakan kewenangannya untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada merchant atau penyelenggara sistem pembayaran yang membiarkan praktik penolakan uang tunai. Penegakan sanksi bukan untuk mematikan inovasi, melainkan untuk memastikan bahwa inovasi berjalan dalam koridor hukum.
Tanpa sanksi, hukum kehilangan daya paksa. Tanpa ketegasan regulator, digitalisasi berubah menjadi alat eksklusi. Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi Bank Indonesia untuk menegaskan satu pesan penting: modernisasi sistem pembayaran tidak boleh dibangun di atas pelanggaran hukum dan pengabaian hak warga negara.



