Selasa, Juli 1, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Alasan Penghapus Pidana dalam Hukum Pidana

Jendelahukum.com, Seputar Hukum – Terjadinya sebuah peristiwa pidana tidak semua dapat dijatuhi pidana terhadap pelakunya. Undang-undang telah memberikan batasan atau dasar untuk meniadakan pidana.

Aturan-aturan ini yang membuktikan bahwa sesorang yang melakukan tindak pidana bisa saja tidak dapat dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan.

Adami Chazawi membagi alasan penghapus pidana dalam dua macam, yaitu pertama, berasal dari undang-undang dan yang kedua berasal dari luar undang-undang.

Baca juga: Mengenal Konsep Pertanggungjawaban Pidana

Perbuatan yang dilarang oleh undang, yang diancam dengan hukuman. Perbuatan ini didalam beberapa literatur disebutkan dengan stafbaar feit dan sebagian menuliskan delict.

Pada intinya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undangan yang mempunyai sanksi pidana. Namun tidak semua subjek hukum dapat dijatuhi pidana karena ada alasan penghapus pidana.

Eddy Omar Syarif Hiariej, secara lebih rinci menjelaskan ada berberapa alasan penghapus pidana sebagai berikut:

Alasan Penghapus Pidana yang ada dalam KUHP

Alasan penghapus pidana (umum) dalam KUHP diatur dalam beberapa pasal, yaitu pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Masing-masing alasan penghapus pidana tersebut dapat diuraiakan sebagai berikut:

1. Tidak Mampu Bertanggung Jawab

Pasal 44 KUHP menentukan bahwa seseorang tidak dapat dipidana atas perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Misalnya adanya pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit.

Terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan karena dorongan jiwanya yang sakit, maka yang bersangkutan tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan perbuatan lain yang tidak karena penyakit jiwa yang dideritanya tetap dipertanggungjawabkan.

Untuk menentukan seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan terhadap perbuatannya itu, dikenal dengan tiga metode , yaitu: Metodebiologis; Metodepsikologis; dan Metode campuran (metode biologis-psikologis).

2. Daya paksa (overmacht)

Adanya daya paksa menjadi alasan tidak dipidananya seseorang yang melakukan perbatan pidana. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP.

Apa yang diartikan dengan daya paksa ini tidak dapat dijumpai dalam KUHP penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika KUHP Belanda dibuat.

Baca juga: Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali

Dalam MvT (KUHP Penjelasan Belanda) dilukiskan sebagai “setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak dapat ditahan”. Hal yang disebut terakhir ini, “yang tak dapat ditahan”, memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu.

Yang dimaksud dengan paksaan disini bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si pembuat menentukan kehendaknya.

3. Keadaan Darurat (Noodtoestand)

Noodtoestand atau keadaan darurat tidak diatur dengan tegas di dalam Pasal 48 KUHP, namun soal ini oleh doktrin juga dimasukkan dalam pengertian overmacht.

Dalam Vis compulsiva (daya paksa relatif) ada yang membedakan menjadi daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan psychis) dan keadaan darurat.

Baca juga: Apa Itu Restorative Justice?

Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang, sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan orang. K.U.H.P. kita tidak mengadakan pembedaan tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan noodtoestand atau keadaan darurat itu adalah keadaan, dimana suatu kepentingan hukum dalam keadaan bahaya, dan untuk menghindarkan bahaya itu terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain.

4. Pembelaan Terpaksa (noodweer)

Istilah noodweer atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP. Pasal 49 ayat (1) berbunyi: “tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela dirinya sendiri atau orang lain, membela perikesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melawan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga”.

Dikatakan oleh Sudarto bahwa perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah perbuatan dari seseorang yang main hakim sendiri, tetapi dalam hal syarat-syarat seperti tersebut dalam Pasal 49, maka perbuatannya dianggap tidak melawan hukum.

Disini orang seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum yang ditujukan kepada dirinya.

5. Pembelaan terpaksa Melampau Batas

Pembelaan yang melampaui batas dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, orang yang menghadapi serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan.

Ilustrasi penulis sebagai berikut: Seorang wanita dalam ruangan tertutup hendak diperkosa oleh seorang pria. Pria tersebut berhasil menangkap badan wanita, namun dengan sekuat tenaga wanita tersebut mendang alat vital pria hingga terjatuh. Kemudian wanita tersebut memukulnya dengan benda-benda diskelilingnya sampai pria tersebut tidak berdaya.

Baca juga: Memahami Hukum Pidana: Definisi, Tujuan, dan Sifatnya

Dalam konteks yang demikian –secara teoritis- wanita tersebut melakukan dua pembelaan. Pembelaan pertam adalah noodweer dengan cara menendang alat vital pria itu, sedangkan pembelaan kedua adalah noodweer exces, ketika wanita tersebut memukul benda-benda yang ada disekelilingnya yang ada kepada pria itu hingga tidak berdaya.

Menurut Sudarto, ada tiga syarat dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pertama, kalampauan batas yang diperlukan. Kedua, pembelaan dilakukan sebagai akibat langsung dari kegonjangan jiwa yang hebat. Ketiga, kegonjangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan. Artinya ada hubungan kausalitas antara kegonjangan jiwa dengan serangan.

6. Menjalankan peraturan undang-undang

Pasal 50 KUHP menentukan bahwa; “Tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan undang-undang”.

Dalam kalimat ini, mula-mula H.R.. menafsirkan secara sempit, ialah undang-undang dalam arti formil, yakni hasil perundang-undangan dari DPR saja. Namun kemudian pendapat H.R., berubah dan diartikan dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum.

Dalam hubungan ini soalnya adalah apakah perlu bahwa peraturan undang-undang itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hal ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban.

Misalnya pejabat polisi yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti tanda peluitnya, tidak dapat berlindung di bawah pasal 50 ini, kejengkelan pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya.

Jadi, perbuatan orang yang menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar.

7. Melaksanakan perintah jabatan

Pasal 51 ayat (1) dikatakan “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang sah”.

Orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksanakannya.

Baca juga: Resensi Buku: Delik-Delik Tertentu dalam KUHP

Maka jika seseorang melakukan perintah yang sah ini, maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.

Id damnum dat qui iubet dare ; eous vero nulla culpa est, cui parre necesse sit. Yang berarti pertanggung jawaban tidak akan diminta terhadap mereka yang patuh melaksanakan printah, melainkan akan diminta kepada pihak yang memberikan perintah.

Alasan Penghapus Pidana yang ada Di Luar KUHP

Selain diatur dalam KUHP, alasan penghapus pidana juga diatur dalam beberapa undang-undang di luar KUHP. seperti:

    1. Hak dari orang tua, guru untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya (tuchtrecht);
    2. Hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik ilmiah (vivisectie);
    3. Izin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengenai suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim);
    4. Mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
    5. Tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil;
    6. Tidak adanya kesalahan sama sekali.

Referensi

  • Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta
  • Samidjo, 1985  Hukum Pidana, Bandung: CV. Armico
  • Farid , Zainal Abidin. 1995. Hukum PidanaI. Jakarta : Sinar Grafika
  • Hamzah,  Andi. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta

Stay Connected

16,985FansSuka
564,865PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan

Must Read

Related News

Related Stories