Selasa, Juli 1, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

DPR dan Momok UU ITE

Jendelahukum.com, Perspektif – Pencidukan pria berinisial AM dalam kasus pencemaran terhadap Gibran Walikota Surakarta adalah bentuk kesesatan dalam pelaksanaan UU ITE. AM diciduk oleh Virtual Police dari Polres Surakarta setelah mengomentari Gibran yang menginginkan final Piala Kemenpora berlangsung di Surakarta.

Statement Gibran tersebut dikemas dalam postingan Instagram @garudarevolution. AM lantas berkomentar pada postingan tersebut, “Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja,” ungkapnya.

Perspektif: Prinsip Proporsionalitas dan Pembatasan HAM dalam Undang-Undang

Peristiwa penangkapan AM tersebut sangat ironis. Sebab perkara pencemaran di dalam UU ITE sebenarnya masuk dalam kategori delik aduan. Delik aduan dapat berfungsi ketika terdapat korban yang melapor terkait pencemaran nama baik yang dilakuan.

Fatal sekali apabila menggunakan delik aduan menjadi delik biasa sehingga sampai-sampai terdapat proses pencidukan kepada AM. Dalam kasus ini, seharusnya ada yang melapor dahulu, baru diciduk.

Gibran yang kedudukannya sebagai korban justru bersikap biasa. Ia mengaku tidak pernah melaporkan siapa pun ke polisi atas komentar AM, termasuk semua warganet yang menurutnya menghina keluarganya termasuk ayahnya, Presiden Joko Widodo (CNN Indonesia, 16/03/2021).

Apabila polisi beralasan pencidukan digunakan untuk mengatasi ujaran kebencian kepada sebuah kelompok/organisasi, kasus AM sebenarnya juga bukan termasuk dalam kategori yang dimaksud polisi. Sedangkan apabila polisi berpikir untuk melindungi sosok Gibran yang notabene adalah Walikota Surakarta, nampaknya ini adalah semacam kesembronoan yang mendarah daging.

Sebab, di dalam subtansi dari UU ITE sendiri sejatinya sama sekali tidak mengatur tentang perlindungan khusus terhadap pejabat negara, termasuk keluarganya. Dan, perlu diingat bahwa pejabat negara harusnya tidak dilindungi dalam konteks penghinaan, terlebih dalam kapasitasnya status jabatannya.

Baca juga: Paradoks Tantangan Kritik ala Jokowi

Sehingga, dalam konteks ini, sebenarnya sah-sah saja apabila masyarakat mengkritik mereka-mereka yang menyandang status “pejabat publik”. Aparat penegak hukum seharusnya bisa membuka mata, membuka telinga, bahwa yang mereka asumsikan sebagai ujaran kebencian dari masyarakat ialah bentuk keresahan berwujud kritik kepada para pemangku kepentingan.

Sehingga kritik dari masyarakat seharusnya didengar, tidak justru berujung ciduk, atau sedikit-sedikit diperkarakan. Atau jangan-jangan penegak hukum dan aparat publik kita telinganya sudah alergi dengan kritik dari publik?

Namun, dalam kasus AM, apakah semata-mata polisi yang patut dipersalahkan? Sayangnya tidak. Kegaduhan masalah ujaran kebencian sejatinya sudah dimulai semenjak dari usulan DPR. Menurut Wamenkumham, Edward OS Hiariej, awalnya UU ITE dirumuskan untuk mencegah perbuatan yang merugikan orang lain di dunia maya.

Namun, beriringan dengan proses pengundangan UU ITE muncul ide dari DPR untuk menambahkan perkara penghinaan/pencemaran nama baik (Tirto.id, 18/03/2021). Dari sini dalang yang sesungguhnya sebenarnya sudah ditemukan. Bukan polisi, bukan AM, dan bukan UU ITE itu sendiri, melainkan DPR.

Tiga landasan fundamental

Dalam perumusan peraturan perundang-undangan, ada tiga landasan fundamental yang tidak pernah tertinggal, yakni, landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Begitu pula dengan perumusan UU ITE, pasti memiliki ketiga landasan tersebut.

Pertama, landasan filosofis berhubungan dengan pertimbangan-pertimbangan yang menggambarkan pandangan hidup dan cita-cita hukum dalam falsafah tujuan bangsa. Praktis landasan filosofis UU ITE untuk menjadi pijakan dari keberlangsungan masyarakat Indonesia dalam dinamika penggunaan teknologi.

Kedua, landasan sosiologis berhubungan dengan alasan-alasan tentang peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Landasan sosiologis UU ITE berkaitan dengan perubahan zaman akibat globalisasi informasi dimana perbuatan-perbuatan manusia berubah dari pola konvensional menuju era digital, sehingga membutuhkan pranata pengatur yang baru.

Ketiga, landasan yuridis, yakni alasan terkait alasan UU dibentuk untuk mengatasi masalah hukum atau mengisi kekosongan hukum. Praktis, bahwa UU ITE dipakai untuk mengisi kekosongan hukum sekaligus menyelesaikan masalah hukum dari ketiadaan regulasi tentang lalau lintas informasi secara daring.

Baca juga: Meme Satire: Kritik Atau Pencemaran Nama Baik?

Hemat penulis, tujuan awal UU ITE pada dasarnya baik. Andai saja, DPR tidak menyusupkan pasal selundupan berupa pasal 27 ayat (3), 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian yang multitafsir ini, masyarakat tidak akan dibuat ketar-ketir dalam berkomunikasi di media sosial. Kedua pasal tersebut sangat multitafisir karena yang dinamakan pencemaran nama baik, terlebih lagi dalam bentuk delik aduan sifatnya sangat subjektif.

Sebab, semua orang memiliki sensitivitas masing-masing dalam menanggapi pernyataan. Bisa saja bagi si A mengatakan “kalian orang yang tak beradab,” kepada dua orang temannya sekaligus, si B dan si C. Mungkin si B akan biasa saja dengan pernyataan yang dilontarkan oleh si A. Namun, tidak dengan si C, ia amat tersinggung dengan kata-kata si A. Sehingga dengan delik aduan sangat mungkin digunakan apabila si C melaporkan si A atas kasus ujaran kebencian.

Momok UU ITE

Tidak bisa dipungkiri bahwa UU ITE kini tengah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Tidak lucu bukan, apabila misalnya cangkrukan di warung kopi bisa berujung pidana sebab celotehan kita dianggap tindakan pencemaran nama baik. Pada prinsipnya, UU ITE dibuat dengan tujuan lurus. Ulah DPR lah yang membuatnya menjadi salah kaprah seperti ini. Pemerintah, selanjutnya, juga turut andil dalam menyelesaikan masalah ini.

Revisi UU ITE perlu dipercepat. Substansi dalam pasal  27 ayat (3), 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian harus dikaji ulang agar UU ITE tidak lagi menjadi momok menakutkan. Dan bagi DPR sebagai representasi rakyat, seharusnya berpikir dengan jernih dalam urusan ini. DPR dipilih oleh rakyat, dan seharusnya mendengar aspirasi yang diwakilinya.

Itu juga kalau wakil rakyat kita masih punya mata hati untuk melihat dan merasakan dengan nurani. Sebab apabila wakil rakyat kita sudah tuli, tentu kita memilih seperti AM yang memanfaatkan media sosial untuk menumpahkan isi hatinya, daripada berkeluh kesah kepada wakil rakyat kita yang justru tak berguna dan tidak punya hati.

Bingar Bimantara
Bingar Bimantara
Mahasiswa S1 Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara, dan pengurus Jurnal Mahasiswa Iniciolegis di Universitas Trunojoyo Madura (UTM).

Recent Post

Related Stories

For Subcription