Perspektif – Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan seperangkat hak yang melekat kepada setiap orang semata-mata karena dirinya adalah manusia. Ia dikenal sebagai sebuah nilai yang diakui secara universal, bahkan menjadi prasyarat utama bagi negara dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sebagai nilai universal, HAM juga dikenal dalam Islam, bahkan jauh sebelum lahirnya Magna Charta (1215), Bill of Rights (1689), dan dokumen-dokumen atau peristiwa-peristiwa lain yang dianggap sebagai cikal bakal HAM pada abad modern ini.
Dalam Al-Maidah [QS.5:32], Allah berfirman; “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka se akan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Demikianlah Ajaran Islam yang datang pada abad ke-7 silam. Islam hadir sebagai agama rahmatan lil alamin yang melindungi siapapun makhluk yang bernyawa hingga yang tak bernyawa sekalipun.
Baca juga: Piagam Madinah sebagai Konstitusi Tertulis Pertama
HAM dalam Islam, secara bahasa berasal dari lafaz حريّة (hurriyyah) dengan memakai tasydid. Menurut Ibnu Mandhur, lafaz حريّة berasal dari lafaz حرّ يحرّ (harra yahurru), sedangkan lafaz hurriyah adalah bentuk dari isim masdar fi’il muta’aḍy “حرر يحرر تحريرا حرية تحرارا تحرارا محرر”ا dengan makna; “membebaskan dan memerdekakan dan memberikan pilihan”.
Adapun secara istilah, Abu Bakar Dzikri mendefinisikan HAM sebagai kebebasan bagi setiap individu dalam mengekspresikan pendapat dan tindakan tanpa mengeyampingkan prinsip keadilan dan undang-undang yang berlaku dan tidak membahayakan yang lain (Abu Bakar: 1965, 128).
Dengan begitu, HAM merupakan kekuatan universal yang ditetapkan oleh syāri’ (pembuat undang-undang, Allah SWT) terhadap individu manusia yang menjadikannya mampu melaksanakan kewajiban, hak-hak, dan menyeleksi antara yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya, tanpa membahayakan orang/individu yang lain.
Dasar Hukum HAM dalam Islam
Sumber HAM di dalam Islam adalah Allah SWT, yang menciptakan dan memuliakan manusia dengan memerintahkan semua malaikat bersujud kepadanya. Hal itu menunjukkan bahwa martabat kemanusiaan melekat pada diri manusia dan menjadi hak dasar yang dikaruniakan kepada seluruh umat manusia. Seperti yang difirmankan Allah SWT:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Menurut Ibrahim Nikmah, HAM merupakan hak yang harus dipelihara oleh seluruh elemen masyarakat. HAM melekat pada diri setiap individu manusia sejak ia berada di dalam kandungan. Hal ini pernah dicontohkan dengan detail dalam suatu kisah oleh Rasulullah SAW. Suatu ketika datang kepadanya wanita yang sedang hamil mengaku bahwa bayi yang dikandungnya adalah hasil dari berzina.
Setelah mendengar keterangan tersebut, Rasulullah SAW, menunda hukuman rajam terhadap wanita tersebut sampai ia melahirkan bayinya (Syaukat Husain, 1996: 61). Dari kejadian tersebut terlihat bahwa setiap bayi dalam kandungan pun memiliki seperangkat hak yang harus dilindungi dan dihormati oleh setiap orang.
Negara berkewajiban mendistribusikan secara pasti hak-hak dasar rakyat secara sempurna serta menjaganya dengan menjadikan setiap individu benar-benar menikmati kebebasannya sebagai hak dasar supaya hidup dengan tentram dan damai, serta merasakan kemulian dan kehormatan sebagai manusia di bawah naungan negara
Hak hidup dalam konsepsi memiliki arti yang luas, yaitu hidup yang tenang tanpa intimidasi baik secara fisik maupun psikologis. Seperti yang disabdakan Nabi SAW, dalam sebuah hadits, “Barangsiapa di antara kalian aman hatinya, sehat jasadnya, cukup pangannya, maka baginya seakan dihamparkan dunia baginya” (Tirmidzi, No. 2346).
Baca juga : Eksistensi Wilayah Al-Madzalim dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia
Penjagaan dan penjaminan terhadap hak rasa aman, tentram tanpa intimidasi pernah dipraktikkan oleh baginda Nabi SAW, saat penaklukan kota Mekah. Saat itu peduduk Mekah mengalami ketakutan yang sangat luar biasa di saat pasukan kaum muslimin sampai ke kota Mekah.
Akan tetapi, melalui Bilal bin Rabah, Nabi menyampaikan pesan bahwa pada hari itu tidak akan ada pertumpahan darah, dan barang siapa yang berada di bawah kekuasaan Abu Sufyan, akan dijamin hak hidup dan keamanannya dari berbagai gangguan.
Sebaliknya, Islam juga melarang siapapun merampas dan melampaui kehidupan seseorang dengan cara membunuh, mencaci maki, atau memenjarakan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Islam juga mengatur hukuman bagi siapapun yang melanggar larangan tersebut dengan tanpa hak.
Sebagai contoh, hukuman bagi seorang pembunuh adalah dibunuh. Hal ini dimaksudkan sebagai cara untuk memberikan keadilan bagi keluarga korban, sekaligus upaya preventif bagi siapapun yang hatinya mempunyai tendensi untuk melakukan pembunuhan. Peraturan ini umumya dikenal dengan istilah kishas (cara penghukuman di masa Nabi).