Jendelahukum.com, Perspektif – Dalam masyarakat Pra Islam, tidak ada kekuasaan dan sistem peradilan yang terorganisir. Namun demikian, jika terjadi persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan pelanggaran hukum, selain pembunuhan, maka persengkataan tersebut di selesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang di tunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa.
Tidak ada pejabat permanen yang resmi berwenang mengatasi perosalan tersebut, melainkan sekedar penengah yang bersifat sementara (ad hoc) dan insendentil. Artinya jika terjadi persengketaan akan ditunjuk juru damai yang bertugas untuk menyelesaikan kasus tersebut. Juru damai ini sering disebut hakam.
Baca juga: Piagam Madinah sebagai Konstitusi Tertulis Pertama
Dalam sejarah dicatat, bahwa nabi Muhammad SAW sebelum menjadi Rasul pernah bertindak sebagai wasit dalam perselisihan yang terjadi di kalangan masyarakat Mekkah. Perselisihan itu berkenaan dengan upaya untuk meletakkan kembali hajar aswad pada tempat semula.
Di kalangan suku Quraisy terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak untuk tugas yang mulia itu. Perselisihan ini nyaris menimbulkan bentrokan fisik di antara sesama suku Quraisy. Untunglah mereka menemukan jalan keluarnya, yakni dengan kesepakatan untuk memberikan kehormatan kepada orang yang pertama datang ke Ka’bah melalui pintu Syaibah.
Kebetulan Muhammad datang lebih awal melalui pintu itu, kemudian mereka berseru. “Inilah al-Amin. Kami setuju dia menyelesaikan perselisihan ini“. Kemudian mereka menceritakan kepada Muhammad peristiwa yang telah terjadi. Akhirnya Muhammad berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu dengan pendapatnya sendiri.
Ternyata mereka sepakat dan rela dengan penyelesaian yang dilakukan oleh Muhammad itu. Inilah gambaran ringkas tentang kedudukan Muhammad sebagai figur yang ideal pada saat itu untuk menyelesaikan perselisihan dikalangan sukunya.
Walayah Al Madzalim
Kata Walayah Al Madzalim merupakan gabungan antara dua kata, kata walayah secara literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan pemerintahan. Sedangkan kata al madzalim adalah bentuk jamak dari madzlimah yang berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan, dan kekejaman.
Sedangkan secara terminologi, Wilayah Al-Madzalim diartikan suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi dari pada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk kedalam wewenang hakim biasa. lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang berkuasa.
Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seorang yang teraniaya dan sebagiannya pula tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkutan, akan tetapi jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya.
Baca juga: Benarkah NKRI Harga Mati?
Dengan kata lain, Walayah Al-Madzalim bertugas untuk mengadili para pejabat negara yang meliputi para Khalifah, Gubernur, dan aparat pemerintah lainnya yang berbuat dzalim terhadap rakyatnya.Lembaga Madzalim telah dikenal sejak zaman dahulu, kekuasaan ini terkenal dalam kalangan Persia dan bangsa Arab di zaman jahiliyah. Hal ini merupakan wujud dari orang Quraisy untuk menolak segala bentuk kedzaliman dan memberikan pembelaan terhadap orang-orang yang dizalimi.
Di masa Rasulullah SAW, rasul sendirilah yang menyelesaikan segala pengaduan terhadap kedzaliman para pejabat. Pada masa Al-Khulafa Al-Rasyidin tidak mengadakan lembaga ini, karena anggota-anggota masayarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama.
Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi diantara mereka masih dapat diselesaikan oleh pengadilan biasa, akan tetapi di akhir zaman pemerintahan Ali bin Abi Tholib, beliau merasa perlu menggunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat kezhaliman, namun keberadaannya belum diatur secara khusus.
Wilayah Al-Madzalim menjadi lembaga khusus pada masa kekhalifahan Bani Umayyah, tepatnya pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia merupakan penguasa Islam pertama yang membentuk lembaga Al-Madzalim (peradilan khusus). Ia menyediakan waktu khusus untuk menerima pengaduan kasus-kasus al madzalim. Untuk itu ia didampingi oleh hakim Ibnu Idris Al-Azdi. Jika menemui kesulitan dalam memutuskan hukum, maka Abdul Malik berkonsultasi meminta pertimbangan kepada Ibnu Idris Al-Azdi.
Pada masa Bani Abbasiyah, Wilayah Al Madzalim masih tetap mendapatkan perhatian yang besar dari khalifah. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa pada hari ahad dimana khalifah Al Makmun sedang membuka kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadukan kedzaliman yang dilakukan oleh pejabat, datanglah seorang wanita dengan pakaian jelek. Wanita tersebut mengadukan bahwa anak sang khalifah, al-Abbas telah mendzaliminya dengan merampas tanah haknya.
Kemudian khalifah memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam untuk menyidangkan kasus tersebut didepan sang khalifah, tetapi ditengah-tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al Abbas, sehingga para pengawal istana mencelanya. Kemudian khalifah al Makmun berkata, “dakwaannya benar, kebenaran telah membuatnya berani bicara dan kebatilan telah membuat anakku membisu.” Kemudian hakim mengembalikan hak wanita tersebut dan hukuman ditimpakan kepada anak sang khalifah.
Dalam Konteks Ketatanegaraan Indonesia
Sedangkan keberadaan di Indonesia dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya yang terdiri dari empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing badan peradilan itu mempunyai susunan dan kewenangan yang diatur dalam undang-undang tersendiri.
Badan Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986, dan perubahan berikutnya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UURI No. 5 Tahun 1986.
Maka tujuan utama pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ialah menyelesaikan perkara-perkara perselisihan antara warganegara dengan pejabat TUN sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang dirasa merugikan warganya. Namun demikian ada tindakan-tindakan Pejabat TUN yang tidak dapat diadili oleh Peradilan TUN, yaitu, suatu tindakan yang ditujukan untuk kepentingan umum.
Baca juga: Peran Tokoh Agama dan Pemuka Adat dalam Menyongsong Pesta Demokrasi
Pengertian kepentingan umum ialah menyangkut tiap peraturan hukum, atau segala hukum yang tertujukan untuk kemaslahatan masyarakat pada umumnya, sebab hukum bukan hanya memelihara kepentingan orang seorang melainkan untuk kepentingan semua orang atau orang banyak.
Kepentingan umum dalam peraturan hukum dapat menyangkut dua sara yaitu memegang peran aktif dan yang memegang peran pasif. Peran aktif dari kepentingan umum: ia menuntut adanya hukum dan selanjutnya isi hukum harus memenuhi tugas dengan sebaik-baiknya, sebagai peraturan masyarakat yang adil dan damai. Maka kepentingan umum tidak hanya menuntut hal itu saja, akan tetapi juga memelihara kepentingan pribadi yang tidak merugikan kepentingan umum atau masyarakat.
Oleh karena itu, Wilayah al-Madzalim di Indonesia telah diterapkan oleh Provinsi Aceh melalui Perda khusus atau yang di sebut Qanun. Meskipun demikian Wilayah Al-Madzalim atau yang disebut PTUN sama-sama memiliki salah satu ciri dari negara hukum yang demokratis untuk terselenggaranya peradilan yang independen dan tidak memihak. Independensi, integritas dan kemantapan hakim berpegang kepada janji dan nilai akhlak, etika dan moral, merupakan hal penting bagi hakim dan melaksanakan tugasnya agar putusannya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku
Mardani, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Sukardja, Ahmad, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Artikel/Internet/Jurnal
http://leafmyallif.blogspot.com/2012/10/wilayah-al-madzalim-pengertian-sejarah.html?m=1