Selasa, Juli 1, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Memaknai Pemilu Demokratis Menurut Konstitusi Indonesia

Jendelahukum.com, Resensi – Benar juga kata orang bahwa, dari perspektif tanggung jawab moral politik, sesungguhnya “lebih mudah” berada di bawah rezim otoriter, jika terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan politik, orang-orang tinggal menunjuk hidung sang penguasa rezim. Selesai urusan.

Berbeda dengan hidup di bawah rezim demokratis, tatkala terjadi kesalahan seperti itu, rakyat pemilih secara tanggung renteng sesungguhnya turut bertanggung jawab.

Salah satu undang-undang yang rutin diubah dalam sejarah hukum Indonesia pasca reformasi adalah undang-undang pemilihan umum (pemilu). Tercatat bahwa Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berganti setiap menjelang masa pemilihan umum masing-masing di tahun 2008, 2012, dan terakhir tahun 2017.

Baca juga: Pemilu di Indonesia Dinilai Paling Kompleks di Dunia

Ada empat undang-undang berbeda sebagai dasar hukum bagi pemilu anggota legislatif tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019. Empat undang-undang pemilu itu pun seringkali diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi untuk dugaan telah bertentangan dengan konstitusi.

Kondisi itu patut menjadi perhatian serius. Pemilu adalah sarana mewujudkan kedaulatan yang berada di tangan rakyat Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan melalui para wakil rakyat berupaya memastikan wakil rakyat yang terpilih sungguh-sungguh menjadi penyambung aspirasi rakyat.

Kalau begitu, mengapa undang-undang pemilu begitu rutin diperbarui? Apakah perubahan itu sungguh membuat pemilu makin dekat dengan kepentingan rakyat atau justru menjauh dari rakyat menuju kepentingan elite berkuasa?

Cara untuk menilai soal ini dengan adil hanya dengan merujuk konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam sistem hukum Indonesia. Maka, pertanyaan yang harus dijawab adalah: Bagaimana sebenarnya desain konstitusi UUD 1945 untuk mewujudkan daulat rakyat dengan benar dalam penyelenggaraan pemilu?

Penulis berupaya menjawab pertanyaan itu dengan melacak sejarah panjang ketatanegaraan Indonesia melalui buku “Pemilihan Umum Demokratis: Prinsip-prinsip dalam Konstitusi Indonesia” yang dikarang oleh Prof. Saldi Isra dan Dr. Khairul Fahmi.

Keduanya mengurai konsep pemilu seperti apa yang telah dirancang para pendiri negara demi tegaknya kedaulatan rakyat. Sejumlah prinsip-prinsip mendasar pemilu demokratis berhasil diungkap keduanya berdasarkan analisis perundang-undangan serta penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi.

Hipotesis kedua pakar hukum tata negara ini ialah pemilu demokratis telah dirancang para pendiri negara sejak mendesain Indonesia sebagai republik. Desain itu tertuang dalam UUD 1945 meski memang tidak secara teknis. Konstitusi sudah menyediakan prinsip-prinsip utama pemilu demokratis.

Baca juga: Sebuah Refleksi Demokrasi Indonesia

Namun, ternyata tidak semua rumusan norma undang-undang pemilu sejalan dengan prinsip pemilu demokratis dalam UUD 1945. Tercatat ada 237 permohonan pegujian undang-undang pemilu sejak tahun 2003 hingga 2017.

Tampak bahwa delegasi prinsip pemilu demokratis menjadi sistem teknis dalam undang-undang menimbulkan persoalan serius. Prinsip ‘langsung’, ‘umum’, ‘bebas’, ‘rahasia’, ‘jujur’, dan ‘adil’ dalam Pasal 22E UUD 1945 mungkin gagal dipahami dengan baik pembuat undang-undang pemilu di setiap periode.

Penulis berpandangan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi saat mengadili permohonan uji konstitusionalitas undang-undang pemilu menjadi sumber pencerahan penting. Mahkamah Konstitusi telah membantu menerjemahkan prinsip-prinsip umum pemilu demokratis ke dalam sejumlah prinsip penyelenggaraan pemilu yang lebih konkret.

Oleh karena itu, buku ini meyakini desain UUD 1945 soal pemilu demokratis bisa dilacak dari kajian putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terhadap ratusan permohonan pegujian undang-undang pemilu sejak tahun 2003 hingga 2017.

Sesuai prinsip demokrasi menurut UUD NRI 1945, prinsip pemilu demokratis yang dikehendaki konstitusi setidaknya adalah prinsip: (1) kebebasan dan kerahasiaan pilihan; (2) kesetaraan hak pilih; (3) suara terbanyak; (4) kepastian dan kejujuran; serta (5) keterbukaan dan pertanggung-jawaban.

Buku ini relevan dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami dinamika pemilu Indonesia dengan kacamata konstitusional. Meski ditulis pakar hukum, buku ini menyajikan narasi yang cukup ringan. Pembaca diajak melakukan perjalanan waktu menelusuri bagaimana pemilu demokratis dirancang dan dijalankan dalam sejarah Indonesia.

Pemilu demokratis
Memaknai Pemilu Demokratis Menurut Konstitusi Indonesia

Tebal buku ini juga tidak menakutkan karena masih terbilang ringan. Para penulis tampak sangat menghindari penulisan isi teks undang-undang secara apa adanya di seluruh halaman buku. Hampir tidak ada pasal undang-undang yang dikutip langsung sesuai teks aslinya.

Hanya substansi teks undang-undang yang dituliskan dengan catatan kaki perujukan dari pasal dan undang-undang yang mana. Cara ini sangat ramah bagi mata pembaca dan memudahkan fokus pada substansi hukum yang dibicarakan.

Bab I adalah pengantar penting agar pembaca memahami metode dan sistematika penulisan buku ini. Hanya 10 halaman ringkas yang memetakan seluruh isi buku (hal.1-10).

Bab II membahas prinsip pemilu demokratis dalam tiga sudut pandang penting di mata ilmu hukum. Pertama, berdasarkan teks konstitusi Indonesia. Kedua, berdasarkan dokumen kesepakatan internasional mengenai Hak Asasi Manusia. Ketiga, berdasarkan doktrin para pakar hukum yang diakui dalam dunia hukum.

Bab III berisi uraian sejarah hukum pemilu di Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2019. Penulis membagi empat fase pemilu. Masing-masing disertai data persebaran suara para peserta pemilu. Desain teknis, pelaksanaan, dan hasil dari masing-masing fase diuraikan dengan ringkas pada bab ini.

Bab IV menyajikan pengantar untuk pembahasan lebih rinci terkait penafsiran Mahkamah Konstitusi soal pemilu demokratis. Penulis tampak menjadikan bab ini transisi bagi pembaca yang sudah telanjur larut dalam uraian perjalanan sejarah pemilu Indonesia.

Adapun Bab V dan Bab VI bisa dianggap sebagai inti penting yang menjawab pertanyaan latar belakan lahirnya buku ini. Substansi objek pengujian dipetakan dengan klasifikasi yang memudahkan pembaca.

Bagian penafsiran Mahkamah Konstitusi yang tegas menjawab setiap objek pengujian disajikan dengan pas. Pembaca bisa langsung memahami apa penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam menjawab setiap objek perkara.

Resensi Buku: Penyederhanaan Partai Politik

Selanjutnya prinsip-prinsip teknis yang terkandung dalam putusan-putusan itu bisa dibaca pada bab VI. Ada 11 prinsip yang menjadi turunan lebih teknis dari prinsip ‘langsung’, ‘umum’, ‘bebas’, ‘rahasia’, ‘jujur’, dan ‘adil’ dalam Pasal 22E UUD 1945.

Sulit menemukan kelemahan buku yang ditulis oleh seorang pakar yang masih aktif menjabat hakim konstitusi.

Uraian di atas hanyalah salah satu alasan yang menjelaskan daya tarik buku ini. Daya tarik lainnya, yang lebih membuat kita sayang untuk berhenti membacanya ditengah jalan, ada fakta bahwa buku ini mungkin salah satu – jika bukan satu-satunya – yang paling komprehensif sekaligus paling runtut menjelaskan pemilu di Indonesia sejak setelah Indonesia merdeka hingga pemilu tahun 2019.

Buku ini adalah salah satu referensi yang menuntun kita membentuk kesadaran sebagai citizens. Buku ini juga mengajak kita untuk merenung bahwa pada akhirnya yang menjadikan pemilu demokratis atau tidak adalah kita.

Bahrur Rosi, SH., MH
Bahrur Rosi, SH., MH
Penulis merupakan Sarjana Ilmu Hukum dari Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan menyelesaikan studi s2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta. Penulis juga pernah menjadi Tim Asistensi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi DKI Jakarta.

Recent Post

Related Stories

For Subcription