Selasa, Juli 1, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Permendikbudristek 30/2021 Mencegah atau Melegalkan Seksual?

Jendelahukum.com, Perspektif – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI telah mengesahkan Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS) pada tanggal 31 Agustus 2021.

Peraturan ini ditekan seiring dengan maraknya kasus kekerasan seksual di kampus belakangan ini. Berdasarkan data hasil testimoni yang dilakukan tirto.id sejak 13 Februari hingga 28 maret 2019, mendapatkan 207 orang yang memberikan testimoni dan hampir keseluruhan yang memberikan testimoni berstatus mahasiswa. Dari 207 testimoni, tirto.id menemukan 174 kasus yang berhubungan dengan perguruan tinggi.

Baca juga: Permendikbud PPKS Dinilai Legalkan Zina

Namun Komnasham berpendapat hingga saat ini tidak ada satu lembaga manapun yang memiliki data akurat tentang jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus-kampus di Indonesia. Sebagaimana yang terlihat hanyalah puncak dari gunung es, tidak semua korban kasus kekerasan seksual di Indonesia berani melaporkan kejadian yang dialaminya.

Diantara para penyintas dalam testimoni yang dilakukan tirto.id, sedikit sekali yang melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada pihak kampus, hanya 29 orang yang melapor, kurang dari 20 persen.

Separuh dari 174 penyintas lebih memilih bungkam. Pengalaman buruk itu disimpan sendiri, tidak ada yang tahu. Alasan utamanya karena malu, takut, tidak punya bukti, atau khawatir dianggap berlebihan.

Apalagi ketika pelakunya adalah seorang dosen dan korbannya mahasiswa,  menjadikan momok yang menakutkan bagi korban untuk berani berspeak-up atas kondisi kekerasan seksual yang dialaminya. Ditambah banyaknya kasus yang terungkap dan lenyap begitu saja karena tidak ada proses pengawalan dengan baik. Sehingga korban tidak ingin menjadi korban ganda berikutnya “victim blaming”.

Permen PPKS ini menjadi terobosan baru dan menjawab segala problematika kekerasan seksual diatas. Mewajibkan seluruh Perguruan Tinggi untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang berfungsi melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di dalam kampus.

Baca juga: Mengenal Feminist Legal Theory

Maka kedepan satgas yang terbentuk di masing-masing perguruan tinggi harus betul-betul mengawal tuntas kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi dikampus, tidak hanya sekedar memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual, tetapi juga berkaitan dengan pemulihan hak-hak korban sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan a quo

Kontroversi Permendikbud 30/2021

Masih banyak pihak yang salah kaprah dalam menafsirkan Permen PPKS ini, hingga menuai kontroversi di publik. Pasal yang paling menjadi sorotan yakni pasal 5 ayat (2) berkaitan dengan adanya frasa “tanpa persetujuan korban”. Hal ini ditafsirkan bahwa apabila “mendapatkan persetujuan dari korban” berarti diperbolehkan/dilegalkan melakukan tindakan seksual.

Penafsiran yang demikian dikenal dengan logika berpikir secara argumentum a contrario yang berarti menafsirkan atau menjelaskan suatu peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Singkatnya penafsiran ini hanya bertumpu kepada apa yang tidak diatur berarti menjadi sesuatu yang di legalkan.

Di dalam ilmu penafsiran hukum, cara penafsiran yang demikian terlalu sempit untuk menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan, sehingga berimplikasi terhadap mispersepsi terhadap konteks yang dibangun dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Penulis mengidentifikasi Permen PPKS dengan pendekakatan penafsiran hermeneutika hukum, penafsiran yang komperhensif dari sisi teks dan konteks.

Baca juga: Medusa dan Feminist Legal Theory

Pertama, secara Tekstual sebenarnya makna dari “kekerasan” dalam KBBI bermakna paksaan. Yang bisa menilai suatu perbuatan akibat dari suatu paksaan atau tidak adalah sangat bergantung terhadap subjektifitas korban yang memiliki kuasa terhadap dirinya sendiri. Sehingga makna kekerasan akan identik dengan “tanpa persetujuan korban”, dengan begitu frasa “tanpa persetujuan korban” didalam pasal 5 ayat 2 peraturan a quo sudah tepat.

Justru kalau mau berbicara berkaitan dengan ketentuan untuk tidak melegalkan perzinaan akan salah kamar jika ditempatkan di Peraturan Menteri. Bahkan KUHP kita pun limitasi mengatur perzinaan hanya bagi orang yang sudah memiliki istri/suami. Tidak ada ketentuan hukum perzinaan bagi yang belum berkeluarga. Karena pelarangan seksual itu telah hidup dengan sendirinya ditengah masyarakat sesuai norma agama dengan konsekuensi terhadap dirinya sendiri berdasarkan kepercayaannya masing-masing dan norma kesusilaan dengan konsekuensi moralitas diri terhadap lingkungannya.

Ketentuan perzinaan ini sebenarnya telah diakomodir dalam RKUHP yang hingga saat ini belum ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR RI. Namun ketentuan tersebut dijadikan sebagai delik aduan. Artinya sifat pelaporannya sangat subjektif kepada diri korban.

Sehingga lebih tepat ketika aspirasi yang berkaitan dengan aturan untuk tidak melegalkan seksual diaspirasikan untuk diatur dalam tingkatan UU, karena semestinya akan memuat konsekuensi hukum berupa sanksi pemidanaan. Berdasarkan ketentuan didalam UU 12/2011, peraturan perundang-undangan yang memuat sanksi pidana harus diatur ke dalam level UU bukan di level Peraturan Menteri.

Kedua, secara Konteks dari Permen PPKS ini dapat kita lacak dari original intent pembentukan peraturan a quo, tidak ada sedikitpun pembahasan untuk melegalkan seks dalam kampus, justru Permen PPKS ini bertujuan untuk melakukan pencegahan dan penanganan apabila terjadi tindakan kekerasan seksual. Penanganannya tidak hanya pengenaan sanksi terhadap pelaku, tetapi juga untuk pemulihan hak-hak korban.

Baca juga: PP 99/2012 Dibatalkan MA, Koruptor Semakin Mudah Dapat Remisi

Sehingga dalam perspektif kemanfaatan, Peraturan ini dianggap sangat berguna dikaranekan menjadi payung hukum baru terhadap kekerasan seksual yang terjadi di kampus yang sebelumnya tidak pernah ada.

Dari penafsiran yang komperhensif diatas, nyaris sebenarnya tidak ditemukan adanya pelegalan seksual didalam kampus. Permen PPKS ini menjadi terobosan baru untuk mencegah dan menangani tindakan kekerasan seksual di perguruan tinggi demi terwujudnya sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Ps. 31 (3) UUD 1945).  

Maka dari itu kita harus mendukung dan mengawal Permen PPKS ini untuk mengembalikan perguruan tinggi sebagai institusi moral dan pengembangan ilmu pengetahuan agar tidak dirusak oleh para predator seks.

Rudianto
Rudianto
Mahasiswa Pascasarjana FH UGM

Recent Post

Related Stories

For Subcription