Selasa, Juli 1, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Perihal IKN dan (Ancaman) Korupsi

Jendelahukum.com, Perspektif – Pertama kalinya, tanggal 26 Agustus 2019 lalu, Presiden Republik Indonesia mengumumkan ide pemindahan ibu kota negara (IKN) secara “serius”. Jika ditelusuri ke belakang, ide gagasan pemindahan IKN belum pernah terealisasi secara nyata. Tahun 1957-an Soekarno pernah mencanangkan Palangkaraya, Kalimantan Tengah sebagai IKN. Soeharto sekitar tahun 1977-an, juga pernah berkeinginan menjadikan Jonggol di Jawa Barat sebagai IKN.

Di era reformasi, tepatnya sewaktu SBY menjadi Presiden, kajian mengenai pemindahan IKN kembali riuh. Namun, semua rencana dari tiga Presiden itu tidak pernah diwujudkan dengan beragam pertimbangan, seperti besarnya biaya.

Keseriusan pemindahan IKN tersebut, pada tahap selanjutnya, dibuktikan dengan telah dimasukannya rancangan undang-undang tentang ibu kota negara (RUU IKN) dalam list panjang Progam Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Artinya sebentar lagi, secara legalitas, pemindahan IKN akan mempunyai dasar hukum yang kuat.

Sekalipun RUU IKN telah masuk dalam Prolegnas, dan disambut secara antusias oleh sebagian penduduk Indonesia, barangkali ada hal yang perlu dicatat, dan menjadi renungan bersama. Sebut saja, misalnya, aspek dasar dari pemindahan itu sendiri dan bahaya korupsi yang mengintai.

Soal Fundamental

Dalam kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas), paling tidak ada enam poin penting menggagas pemindahan IKN; pertama, supaya terjadi persebaran penduduk yang merata; kedua, agar kontribusi ekonomi tidak hanya dimiliki pulau Jawa; ketiga, DKI rawan bencana alam; keempat, sumber ketersedian air menipis, disertai semakin sempitnya lahan; kelima, kemacetan; dan keenam, kepadatan penduduk.

Diterangkannya lagi, tujuan pemindahan itu semata-mata bertujuan mewujudkan visi seratus tahun Indonesia tahun 2045 yang mempunyai karateristik; meningkatkannya sumber daya manusia, penguasaan IPTEK; pemerataan pembangunan; pembangunan ekonomi berkelanjutan; ketahanan nasional serta tercipta tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

Jika enam alasan dimaksud dibuat sederhana, maka inti pemindahan IKN hanya dua, yaitu soal tata ruang yang tidak lagi mempuni dan motif ekonomi. Kemudian, apabila kedua inti itu diletakan dari sudut konstitusional, secara materi, tidak ada alasan yang menghalangi penguasa memindahkan IKN.

Baca juga: Refleksi Hari lahir Pancasila; Nilai-Nilai Pancasila Kian Memudar?

Melacak seluruh ketentuan UUD NRI tahun 1945, hanya ada dua pasal yang menyinggung IKN, yaitu Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 23G ayat (1). Itupun hanya membicarakan di mana tempat Majelis Permusyawaratan Rakyat harus bersidang, dan kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan. Artinya, apapun alasan pemindahan IKN, tidak terdapat masalah (normatif) konstitusional di dalamnya.

Sekalipun hukum dasar tidak mencantumkan di mana IKN mesti diletakkan, dan tidak ada larangan memindahkan IKN, bagi sebagian pengamat, bilamana dikaitkan dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, penempatan IKN memiliki dasar filosofis yang amat berarti bagi negara Republik Indonesia.

Jakarta merupakan suatu nama dan tempat yang melahirkan sejuta cerita yang melahirkan Indonesia. Di sana, terbentang suatu saksi perjuangan. Tempat di mana konstitusi pertama digagas dan dibuat, yang dengannya, menjadikan Indonesia sebagai negara. Sebuah tempat kelahiran Pancasila yang, banyak dipuji dunia, diagungkan sepanjang masa. Tempat teks proklamasi ditulis dan diumumkan bagi seluruh lapisan bangsa. Tempat pertama kalinya antara pulau yang di barat dan di timur dirajut, disatukan dalam bingkai negara kesatuan.

Dengan bentangan sejarah tersebut, menjadikan Jakarta sebagai IKN yang selanjutnya, diberi status sebagai daerah khusus. Dasar yang demikian itu, dicetak dalam beberapa peraturan. UU No. 10 tahun 1964, UU No. 11 tahun 1990, UU No. 34 tahun 1999, dan UU No. 29 tahun 2007. Meskipun yang berlaku sekarang adalah UU No. 29 tahun 2007, dan di dalamnnya tidak dijumpai secara spesifik bentangan sejarah yang menyebabkan Jakarta sebagai IKN, namun dasarnya, tidak menyebabkan alasan fundamental di atas menjadi hilang.

Jika logika ini disandingkan dengan teori konstitusi, didapat suatu paham bahwa, di dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan satu pasal pun yang melarang Pembukaan UUD 1945 dirubah. Namun, bukan berarti ia boleh dirubah begitu saja. Kalaupun terjadi, hal itu menyebabkan hilangnya hal fundamental dalam suatu negara itu sendiri.

Sebab yang namanya Pembukaan adalah suatu “dokumen” untuk menunjukan identitas bangsa. (Andy O: 2019). Dengan kata lain, mengganti Pembukaan UUD 1945, berati juga mengganti indentitas bangsa. Kalau identitas tersebut diganti, secara teori, dapat diajukan pengujian untuk dibatalkan (P. M. Faiz: 2020).

Dengan menggunakan parameter tersebut, dapat dikatakan pemindahan IKN dari Jakarta ke tempat lain, sama saja menghilangkan atau mengganti hal fundamental dari ibu kota itu sendiri. Bahkan, bukan hanya menghilangkan hal fundamental untuk Jakarta secara khusus, melainkan juga menghilangkan hal dasar yang menjadi sebab adanya republik ini. Oleh karena itu, pemindahan IKN bukan hanya urusan politis dan apakah secara normatif, ada yang menyatakan dibolehkan atau tidak.

Berdasarkan pemahaman demikian, pemindahan IKN akan beririsan dengan aspek fundamental. Artinya, agenda kegiatan dimaksud bukan suatu misi yang sederhana. Bukan juga terkait dengan apakah pejabat-pejabat penting di negeri mengambil sikap sepakat atau berlaku sebaliknya. Akan tetapi ada hal bersifat “meta yuridis” yang sulit dilepas.

Laten Korupsi

Gagasan pemindahan IKN, selain bersentuhan dengan hal fundamental, juga merupakan pekerjaan yang tidak sederhana. Sulit untuk tidak mengatakan, pekerjaan ini membutuhkan usaha amat besar. Usaha yang besar itu, seiring dengan besaran biaya yang diperlukan. Bapenas menghitung, terdapat sedikitnya Rp. 466 Triliun harga yang harus dibayar guna merealisasikan rencana pemindahan IKN.

Dengan biaya sejumlah tersebut, agenda pemindahan IKN jelas merupakan pekerjaan yang berada di level tinggi, alias mega proyek. Bercermin pada pengalaman masa lalu, di Indonesia, pekerjaan yang membutuhkan biaya besar tidak dapat melepaskan diri dari masalah korupsi. Ambil contoh pekerjaan wisma atlet, hambalang yang sempat menghebohkan masyarakat Indonesia dari hujung timur ke barat.

Heboh bukan karena mega proyek itu berhasil terealiasi nyata, dan dapat dimanfaatkan dengan baik, melainkan kasus korupsi menyeruak ke permukaan. Tidak sedikit tokoh terkenal ikut terlibat dalam kegiatan berbiaya 2.5 Triliun itu. Akibatnya, mega proyek yang digadang-gadang difungsikan sebagai Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional, dipaksa ditunda – jika tidak ingin mengatakan berhenti.

Hasilnya sekarang terlihat jelas, karena masalah hukum, bangunan terbengkalai begitu saja. Mangkrak!.

Pengalaman dengan masalah serupa, juga pernah diderita e-KTP. Pekerjaan senilai Rp. 5,9 Triliun itu, ternyata sudah “dimanfaatkan” sewaktu anggaran mulai direncanakan. Dan, dialirkan ke beberapa pejabat negara, dari DPR sampai menteri. Badan Pemeriksa Keuangan menghitung, sedikitnya ada Rp. 2,5 Triliun kerugian keuangan negara yang diakibatkan korupsi e-KTP tersebut. Ada juga kerugian uang negara menurut versi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, sejumlah Rp. 2,3 Triliun. Terlepas perbedaan perhitungan, intinya, ada sejumlah persoalan yang menyelimuti proyek besar di Indonesia.

Selain sejumlah riwayat di atas, dalam praktik, banyak dijumpai betapa poyek besar selalu bersentuhan dengan korupsi. Dalam sebuah penelitian, paling tidak ada empat pola korupsi yang sering terjadi di Indonesia; pertama, “otak atik” APBN oleh DPR melalui fungsi anggaran; Kedua, penyalahgunaan anggaran yang dikelola kementrian; ketiga, suap menyuap dan penyalahgunaan anggaran oleh kepala daerah; keempat, suap yang melibatkan aparat penegak hukum. Pola dimaksud belum ditambah terhadap serangan yang dialami pegiat anti korupsi.

Melihat pola-pola di atas, dan pengalaman yang sudah ada, tidak menutup kemungkinan rencana pemindahan IKN, yang membutuhkan pembiayaan yang sangat besar, tersandung masalah korupsi. Tentu pernyataan ini hanya sekedar hipotesis. Meskipun begitu, bukan berarti di sampingkan begitu saja. Sebab selalu ada bahaya yang mengintai dalam proyek yang dinilai dapat menguntungkan pihak tertentu.

Menguatkan ramalan dimaksud, dapat disimak melalui kasus yang baru-baru ini terjadi, korupsi bansos. Agenda bansos dianggarkan sebesar Rp. 5,9 Triliun. Siapa yang menyangka, di tengah negara tidak dalam kondisi tenang, harus berhadapan dengan pandemi Covid-19, dan di saat yang sama, negara mesti menjamin supaya kehidupan masyarakat tetap dipenuhi, ada sebagian orang memanfaatkan kondisi itu untuk menguntungkan pihak tertentu.

Hasilnya, banyak diantara masyarakat yang hanya mendapat separuh bagian bansos. Itu masih beruntung, bahkan ada yang tidak mendapat sama sekali. Kita mengira, tidak ada orang yang memiliki sifat seburuk itu, apalagi dalam keaadaan serba susah sekarang. Nyatanya, kejahatan korupsi tidak dapat dielakkan, bahkan ketika negara dalam keadaan krisis. Tega benar rasanya.

Prediksi kian komplit jika melihat pemberantasan korupsi dari sudut kelembagaan, utamanya soal dasar hukum KPK. Soal ini pernah dicatat PUKAT UGM bertajuk, “Terjun Bebas” Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2020. Di sana tertulis, salah satunya, bahwa revisi UU KPK telah terbukti menurunkan kinerja KPK dalam hal penindakan pemberantasan korupsi. Bahkan ada yang menilai, dengan dirubah UU KPK, menyebabkan desain KPK dirubah secara keseluruhan. Bukan untuk menguatkan, melainkan berlaku sebaliknya.

Perspektif: DPR dan Momok UU ITE

Bilamana catatan itu diletakan dalam tulisan ini, akan ada persoalan serius mengenai pemindahan IKN. Yakni sulitnya menghadang perilaku koruptif dalam pengadaan dan pembuatan fasilitas pembangunan lembaga negara di IKN kelak. Sehingga, sebagaimana pengalaman, tidak tertutup kemungkinan proyek tersebut akan terhenti karena masalah hukum.

Persoalan dimaksud dilihat bilamana proses dari awal; seperti penyusunan anggaran, sampai tahap eksekusi tidak terkawal dengan baik. Teorinya, corruption is authority plus monopoly minus transparancy. Potensi korupsi sangat besar, jika ada kewenangan yang dimonopoli tanpa transparansi. Bagi ahli, teori ini relevan untuk diterapkan dalam penyusunan APBN (Denny I: 2008). Poin yang ingin dicatat adalah, syahawat korupsi dalam pemindahan IKN akan sulit dicegah jika grand desaign agenda itu tidak dilakukan dengan baik, di samping pembenahan lembaga anti rasuah.

Dengan demikian, sebetulnya perlu adanya kehati-hatian yang mendalam supaya pola-pola korupsi yang dikemukakan di atas tidak menjerat proses pemindahan IKN (kalau agenda ini terlaksana). Dan nampaknya (dalam pemindahan IKN) akan sulit menghindari jeratan korupsi, apalagi kondisi lembaga pemberantasan korusi belakangan menimbulkan rasa pesimis. *

Miftah Faried Hadinatha
Miftah Faried Hadinatha
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UGM

Recent Post

Related Stories

For Subcription