Jendelahukum.com, Jakarta – Komnas HAM mengungkap hasil penyelidikan terhadap Tes Wawasan Pegawai KPK. Hasilnya, Komnas HAM menemukan adanya sejumlah penyimpangan yang berujung pelanggaran hak asasi manusia.
“Secara keseluruhan, kebijakan penyelenggaraan asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK menjadi asesmen tidak memenuhi tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan karena tidak adanya kepastian hukum, tidak berkeadilan dan tidak memiliki manfaat terhadap Pegawai KPK, khususnya yang TMS (tidak memenuhi syarat),” kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, dalam konferensi pers, Senin (16/8).
Komnas HAM menilai pihak penyelenggara serta pelaksanaannya tidak profesional serta tak transparan dan akuntabel.
TWK digelar KPK bersama dengan BKN. Namun dalam praktiknya, BKN turut menggandeng sejumlah pihak lain seperti BIN, BNPT, BAIS, serta Dinas Psikologi TNI AD.
“Patut diduga proses tersebut dilakukan secara sewenang-wenang (abuse of power), tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, bahkan terdapat unsur kesengajaan yang terencana dalam penyelenggaraannya maupun pasca penyelenggaraan,” ungkap Anam.
Berikut deretan kejanggalan TWK pegawai KPK sebagaimana temuan Komnas HAM:
Bidik Pegawai KPK Berlabel Taliban
Komnas HAM menduga kuat ada upaya menyingkirkan pegawai tertentu dari KPK di balik penyelenggaraan TWK. Khususnya pegawai yang dilabeli Taliban.
“Diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan latar belakang tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban,” kata Anam.
Padahal, label Taliban itu tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Komnas HAM bahkan menemukan bahwa label Taliban justru disematkan pada pegawai KPK yang bekerja dengan baik dalam pemberantasan korupsi.
“Pelabelan Taliban di dalam internal KPK sengaja dikembangkan dan dilekatkan kepada pegawai KPK dengan latar belakang tertentu sebagai bagian dari identitas maupun praktik keagamaan tertentu. Nyatanya, stigma atau label tersebut sangat erat kaitannya dengan aktivitas kerja profesional pegawai KPK,” kata Anam.
Selain itu, Komnas HAM juga menemukan bahwa label Taliban ini dilekatkan kepada pegawai KPK yang dinilai tidak bisa diatur.
“Label ini juga melekat pada pegawai KPK yang tidak bisa dikendalikan. Padahal, karakter kelembagaan KPK atau internal KPK merujuk pada kode etik lembaga justru memberikan ruang untuk bersikap kritis dalam melakukan kontrol internal maupun kerja-kerja penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,” ungkap dia.
Penyingkiran Pegawai KPK Berkedok Perintah UU
Komnas HAM melihat adanya perubahan mandat dan substansi alih status pegawai KPK menjadi ASN. Awalnya pengangkatan menjadi peralihan.
Bahkan belakangan disepakati adanya asesmen TWK yang diatur dalam Peraturan KPK nomor 1 Tahun 2021 yang diteken Firli Bahuri.
Komnas HAM menyebut ada upaya yang bertujuan menyingkirkan atau menyaring pegawai dengan label dan stigma Taliban. Mulai dari proses Perencanaan (membentuk Perkom, kerja sama dengan BKN, pembiayaan, menentukan metode, pihak yang terlibat dan asesor asesmen, hingga menyusun jadwal pelaksanaan).
Komnas HAM menemukan fakta bahwa penyelenggaraan TWK tidak transparan, diskriminatif dan terselubung, serta adanya dominasi pihak tertentu dalam penetapan hasil lulus dan tidak lulus. Bahkan, pengumuman hasil TWK dinilai tidak terbuka yang kemudian menimbulkan ketidakpastian.
Padahal, Komnas HAM menyebut mekanisme alih status terhadap pegawai KPK menjadi ASN cukup melalui administrative adjustment. Berdasarkan hal itu, Komnas HAM menduga adanya motif lain di balik pelaksanaan TWK.
“Pelaksanaan UU tersebut digunakan sebagai momentum untuk meneguhkan keberadaan stigma dan label di dalam internal KPK,” kata Anam.
Atensi Khusus Pimpinan KPK soal TWK
Komnas HAM menilai ada usulan, atensi, dan intensi penuh Pimpinan KPK dalam proses perumusan, penyusunan dan pencantuman ketentuan soal TWK dalam Perkom Nomor 1 Tahun 2021. Sebelumnya, sejumlah pegawai KPK menuding Firli Bahuri menjadi orang yang menyelundupkan pasal TWK di dalam Perkom itu.
Komnas HAm mendasari soal atensi khusus Pimpinan KPK itu dalam hal keputusan di level pimpinan dan/atau kepala lembaga, serta menteri terkait 2 klausul. Klausul yang dimaksud ialah mengenai asesmen TWK dan bekerja sama dengan BKN.
Komnas HAM menilai dua poin itu menjadi perhatian penuh Pimpinan KPK.
“Yang dapat dipahami sebagai bentuk perhatian lebih dan serius dibandingkan substansi pembahasan lain dalam draf Perkom, sebagai proses yang tidak lazim, tidak akuntabel dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ungkap Anam.
Dalam penyelidikannya, Komnas HAM pun menemukan bahwa klausul TWK dimunculkan oleh Pimpinan KPK di dalam beberapa pertemuan internal untuk dimasukkan ke dalam draf Perkom di akhir waktu sebelum harmonisasi final dan pengesahan.
TWK juga ditegaskan dalam rapat harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM tanggal 26 Januari 2021 yang langsung dihadiri oleh menteri dan pimpinan lembaga/instansi terkait. Dalam rapat harmonisasi itu disepakati klausul Asesmen TWK yang bekerja sama dengan BKN di dalam Pasal 5 ayat (4) draf final Raperkom.
Namun Komnas HAM menemukan bahwa meski rapat dihadiri pimpinan kementerian dan lembaga, akan tetapi yang meneken berita acara ialah hanya staf.
“Meskipun, rapat harmonisasi dihadiri oleh pimpinan kementerian/lembaga, namun Berita Acara Pengharmonisasiannya ditandatangani hanya oleh staf,” ujar Anam.
Hal ini berkesesuaian dengan temuan Ombudsman yang menyebut rapat itu dihadiri Pimpinan KPK, Menteri Hukum dan HAM, Menteri PAN RB, Kepala BKN, Kepala LAN, dan Kepala KASN. Namun tanda tangan berita acara rapat dilakukan oleh Kabiro Hukum KPK dan Direktur Kemenkumham yang disebut bahkan tak hadir di rapat itu.
Atas temuan Ombudsman itu, KPK berdalih bahwa rapat bisa saja dihadiri langsung Pimpinan. Namun, KPK tidak menyinggung soal tanda tangan berita acara.
Pelaksanaan: Backdate MoU, Pelanggaran Etik Asesor, hingga TWK Kejar Setoran
Pelaksanaan TWK menjadi salah satu poin utama utama penyelidikan Komnas HAM. Ada sejumlah temuan kejanggalan dari pemeriksaan.
Salah satunya ialah penyelenggaraan teknis asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK dinilai tanpa dasar hukum yang jelas dan tepat. Serta terindikasi tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Komnas HAM menyinggung soal nota kesepahaman atau MoU serta kontrak swakelola antara KPK dan BKN mengenai TWK. Menurut Komnas HAM, MoU dan kontrak itu tidak bermasalah.
Namun, kemudian terdapat penanggalan mundur (backdate) yang dinilai Komnas HAM tidak sesuai fakta. Ini terkait dengan masalah pembiayaan pelaksanaan TWK.
“Muncul soal penandatanganan mundur (tidak sesuai fakta) atau backdate, komitmen pembiayaan, serta urutan penandatanganan instrumen kerja sama hingga adanya pernyataan 2 instrumen tersebut tidak jadi digunakan (dibatalkan) oleh para pihak,” kata Anam.
Menurut Anam, hal itu berpengaruh pada kerja sama BKN dengan pihak ketiga dalam TWK seperti BAIS, Dinas Psikologi AD, BNPT, serta BIN menjadi tidak memiliki dasar hukum.
“Meskipun kerangka kerja sama dengan pihak ketiga tersebut disebut merujuk pada Peraturan Kepala (Perka) BKN dan perwujudan dari pelaksanaan mandat dari Perkom No. 1 Tahun 2021, namun pelaksanaan teknis kerja sama tersebut dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. Apalagi, secara substansi, isi maupun substansi Perka BKN yang disebut tidak sesuai digunakan sebagai rujukan kerja sama dengan pihak ketiga,” papar Anam.
Perihal penanggalan mundur (backdate) ini juga menjadi temuan Ombudsman. Namun, baik KPK dan BKN berdalih hal itu bukan backdate.
Kedua lembaga menyatakan kontrak yang dimaksud ialah pembiayaan TWK. Kontrak yang menyebut awalnya TWK akan dibiayai KPK dibatalkan karena diputuskan akan menggunakan anggaran BKN.
Kembali ke pelaksanaan TWK, Komnas HAM menemukan fakta bahwa tes tersebut tidak ideal secara waktu. Perkom yang mengatur TWK baru diteken per 27 Januari 2021. Namun, pegawai KPK ditargetkan sudah dilantik menjadi ASN pada 1 Juni 2021.
“Artinya, KPK bersama BKN hanya memiliki waktu kurang dari 4 bulan untuk menyelesaikan rangkaian proses asesmen tersebut,” ujar Anam.
Komnas HAM menilai hal ini kemudian berpengaruh terhadap metode kerja yang tidak ideal. Misalnya profiling yang idealnya dilakukan melalui 2 metode, yaitu media sosial dan lapangan, tidak dilakukan penuh.
“Karena tidak cukup waktu, hanya diambil profiling media sosial. Pun dengan penulisan hasil profiling yang hanya berasal dari pegawai tertentu yang terindikasi sehingga diduga diskriminatif,” kata Anam.
“Selain itu, juga soal kredibilitas asesor dan profiler-nya. Dengan demikian, proses maupun metode tersebut patut diduga tidak dapat dipertanggungjawabkan hasilnya,” sambungnya.
Komnas HAM pun mempertanyakan kualifikasi asesor. Sebab, penyelenggara TWK disebut tidak dapat membuktikan bahwa asesor yang terlibat dalam proses asesmen TWK telah mengikuti pelatihan dan tersertifikasi.
Tak hanya itu, Komnas HAM pun menemukan adanya pelanggaran etik asesor. Yakni berupa intimidasi serta mengarahkan pegawai KPK
“Antara lain mengarahkan/memaksakan sebuah pandangan tersebut, intimidatif dengan menggebrak meja dan pelecehan terhadap perempuan. Dengan demikian, kredibilitas asesor dapat dinilai tidak sesuai dengan peraturan hukum dan kode etik, serta bermuara pada tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia dalam tahapan penyelenggaraan asesmen TWK tanpa adanya penjelasan, pendalaman dan klarifikasi terkait maksud dan tujuan serta indikator penilaian atas pertanyaan/pernyataan tersebut,” ungkap Anam.
“Jenis pertanyaan dan indikator penilaian (merah, kuning, hijau) dalam asesmen TWK sebagaimana telah beredar di publik merupakan benar adanya dan merupakan persoalan serius dalam HAM karena diskriminatif, bernuansa kebencian, merendahkan martabat dan tidak berperspektif gender,” sambungnya.
Hasil TWK pun menjadi sorotan Komnas HAM. Tercatat ada 75 pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) alias tidak lulus TWK.
Namun hasil asesmen TWK itu dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan tepat. Sebab, TWK menggunakan Indeks Moderasi Bernegara-68 yang digunakan Dinas Psikologi AD.
Menurut Komnas HAM, Peraturan Panglima TNI yang mendasari IMB-68 itu tidak serta merta dapat diberlakukan sebagai dasar lulus atau tidak calon ASN sipil non TNI.
Bahkan, terdapat kontradiksi soal kelulusan TWK yang ditemukan Komnas HAM. Menurut Komnas HAM, seluruh pegawai KPK seharusnya bisa lulus bila merujuk Peraturan Kepala BKN Nomor 23 Tahun 2011.
“Dalam konteks ini, penilaian hasil TMS dan MS yang tidak merujuk pada Perka BKN merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan melahirkan ketidakpastian hukum,” kata Anam.
Profiling Ilegal dan Terselubung
Komnas HAM menemukan adanya profiling pegawai KPK yang tidak sesuai prosedur. Bahkan Komnas HAM menduga kuat profiling dilakukan secara ilegal dan terselubung.
“Profiling lapangan yang hanya ditujukan terhadap beberapa pegawai, tidak ke seluruh pegawai, padahal ditegaskan tidak digunakannya proses tersebut dalam asesmen ini. Bahkan ada penegasan bila hal tersebut benar terjadi, maka itu adalah ilegal, juga hasilnya. Hal ini menjadi persoalan serius karena adanya keterlibatan sejumlah pihak dalam proses tersebut,” ungkap Anam.
Abaikan Arahan Jokowi dan Putusan MK
Komnas HAM menyatakan Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK mengabaikan pertimbangan dan putusan Mahkamah Konstitusi serta arahan Presiden Jokowi. Pengabaian itu bahkan dilakukan secara sadar dan sengaja.
Terkait alih status pegawai KPK, MK sempat menyinggungnya dalam pertimbangan putusan gugatan UU KPK. Dalam putusan No. 70/PUU-XVII/2019, MK menyatakan bahwa alih status tidak boleh merugikan pegawai KPK.
Presiden Jokowi pun sempat menyatakan bahwa TWK hendaknya tak jadi dasar pemberhentian pegawai yang tidak lulus. Namun, KPK dan instansi lain yang terkait TWK dinilai mengabaikan MK dan Presiden Jokowi.
“Pengabaian dan ketidakpatuhan terhadap Putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019 dan Arahan Presiden Republik Indonesia secara sadar dan sengaja yang dilakukan oleh KPK secara bersama-sama dengan instansi lain,” kata Anam.
Bahkan, Ketua KPK Firli Bahuri langsung menonaktifkan 75 pegawai yang tak lulus TWK dengan dalih mencegah adanya permasalahan hukum.
“Dengan demikian, keputusan tersebut patut diduga melanggar HAM, termasuk pihak yang menandatangani surat tersebut, yaitu Pimpinan KPK,” kata Anam.
Pernyataan Komnas HAM ini mirip dengan temuan Ombudsman. Yakni bahwa ada pengabaian terhadap putusan MK dan arahan Presiden dalam TWK.
Namun, KPK balik melawan temuan Ombudsman itu. KPK menyatakan pegawai KPK tidak dirugikan dengan TWK lantaran sudah diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti tes.