Senin, Juni 30, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Strategiskah Eks-Koruptor Menjadi Penyuluh Anti Korupsi?

Jendelahukum.com, Perspektif – Nasib pemberantasan korupsi ditangan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 semakin tidak menentu. Pasalnya seperti yang dilansir oleh Antaranews.com (20/08/21), KPK berencana untuk menjadikan eks narapidana korupsi sebagai penyuluh anti korupsi.

Ditangan KPK yang baru, para eks koruptor justru diberikan privilege baru untuk menjadi “motivator” anti korupsi. Hal ini justru tidak menunjukkan sikap kelembagaan KPK yang seharusnya berintegritas dan berwibawa.

KPK beralasan bahwa dengan program tersebut, Pegawai Administratur/Pejabat Publik hingga masyarakat luas sekalipun dapat memetik pelajaran dari pengalaman para penyuluh anti korupsi (eks koruptor).

Pertanyaannya kemudian, sejauhmana gagasan tersebut dapat memberikan implikasi terhadap penanggulangan ataupun pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sebagai irformasi tambahan, terbentukya KPK sebagai badan ad-hoc di Indonesia di latar belakangi oleh ketidakpercayaan publik terhdap cara kerja kepolisan dan kejaksaan dalam menangani kasus-kasus korupsi. Sehingga dinilai penting untuk mendirikan lembaga independen dalam menangani kasus korupsi di Indonesia.

Namun mengapa justru yang berkembang dewasa kini ialah, cara kerja KPK yang cenderung normatif dan seremonial seperti program penyuluhan anti korupsi diatas.

Belajar Kepada Sejarah

Kecelakaan bangsa Indonesia dalam memahami fenomena tentang korupsi adalah dengan memahaminya secara parsial. Artinya, korupsi dipandang sebagai gejala kegagalan sebuah rezim dalam mengaplikasikan kekuasaanya.

Padahal bila dilihat dalam literatur sejarah, pemberantasan korupsi telah diupayakan sejak dahulu kala (bahkan sejak sebelum masehi) tepatnya di Yunani Kuno, Romawi Kuno dan Cina Kuno. (Alatas: 1987).

Sayyed Hussain Alatas dalam bukunya yang berjudul Corruption its nature, causes and function, berpendapat bahwa kerasnya hukuman terhadap pelaku korupsi tidak serta merta menghilangkan perilaku korupsi. Justru, perilaku korupsi dapat hilang, dalam perilaku masyarakat yang memiliki watak (sistem sosial) yang tidak menyediakan ruang terhadap korupsi.

Artinya, korupsi pada sejatinya bukanlah masalah hukum ataupun penegakan hukum. Melainkan korupsi berawal dari sistem kerja sosial yang menyedikan ruang terhadap tindakan korupsi.

Para penulis di kalangan Yunani Kuno banyak menaruh perhatian pada fenomena kasus korupsi yang terjadi negerinya. Seperti yang terjadi pada rivaltas diantara Kimon dan Pricles (463 SM).

Sistem sosial pada era Yunani Kuno pada waktu itu memungkinkan setiap orang untuk mendapatkan popularitas dan pengaruh dari publik. Pengaruh tersebut nantinya dapat digunakan untuk berkuasa. Kimon adalah seorang prajurit dan negarawan terkemuka di Athena. Sedangkan Pricles juga seorang negarawan terkemuka di Athena.

Kimon menggunakan kekayaan pribadinya untuk merebut hati orang miskin. Ia menyediakan makanan dan pakaian untuk siapa saja yang membutuhkannya. Serta pula membongkar pagar halaman rumahnya agar siapa saja yang membutuhkan dapat memetik buah-buahan yang ada di halamanya (Aristotales: tanpa tahun).

Adapun Pricles menggunakan kekayaan negara dalam merebut massa. Ia mengadakan pesta-pesta umum, memberikan imbalan kepada juri dan hakim di pengadilan, dan berbagai bantuan serta hadiah lain, ia berhasil menyuap rakyat untuk mendukungnya (Plautrach: tanpa tahun).

Meskipun pada prinsipnya, bangsa Yunani Kuno menolak dan mengutuk korupsi pada faktanya perbuatan korupsi merupakan hal yang wajar dan halal. Perilaku korupsi di Yunani Kuno tidak dapat dihindarkan meskipun sistem nilai/norma termasuk hukum telah melarangnya.

Hal tersebut terjadi, (lagi-lagi) karena terbukanya kesempatan atau ruang bagi setiap orang untuk melakukan korupsi. Kondisi tersebut persis menggambarkan perihal apa yang sedang terjadi dalam sistem sosial di Indonesia dewasa ini.

Meskipun korupsi telah dikutuk oleh tatanan norma dan hukum, tetap saja korupsi dipandang sebagai hal yang wajar dan justru menjadi prasyarat (dalam sebagian kasus) dalam mempertahankan kekuasaan.

Hanya saja yang menjadi beda (Yunani Kuno dan Indonesia) perihal cara kerja pemberantasan korupsi. Upaya pemberantasan korupsi di Yunani Kuno mulai diupayakan di konsisten pada masa pemerintahan Solon (640-559 SM).

Pada masa tersebut dikenal sebuah kelompok yang dengan istilah “Sycophants”. Kelompok tersebut berisikan orang-orang yang menjadikan pemberantasan korupsi sebagai lapangan pekerjaan baru. Orang-orang tersebut akan menerima imbalan apabila tuntutannya berhasil.

Solon yang dikenal sebagai Negarawan dan pembuat Undang-Undang terkemuka di Athena, membuat aturan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak (diperbolehkan) menggugat siapa saja (yang melakukan korupsi) atas nama diri sendiri atau dengan atas nama orang lain.

Dengan cara kerja demikian, masyatakat diajak ikut serta dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hal ini cukup efektif dalam pengepung pelaku korupsi dari segala sisi. Sekilas “Sycophants” di Yunani Kuno hampir sama bentuknya dengan KPK.

Hanya saja yang tidak dimiliki oleh KPK hari ini adalah partisipasi masyarakat dalam ikut serta “mengepung” ataupun mencegah pelaku tindak pidana korupsi.

Cara kerja Sycophants tentunya tidak relevan bila mencontohya secara buat hari ini. Namun terdapat gagasan besar yang dapat diterjemahkan dan direlevansikan dengan konteks pemberantasan korupsi di Indonesia hari ini, yaitu kepercayaan dan partisipasi masyarakat luas.

Struktur kerja KPK hari ini terkesan berjalan secara sendiri. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah fenomena belakangan, perihal masukan dan tuntutan sejumlah Civil Society (Akademisi/Aktivis) anti korupsi tehadap KPK sama sekali tidak diindahkan.

Seharusnya Civil Society bersama KPK mengecam perilaku korupsi. Namun hari ini justru KPK yang menjadi pusat kecaman dari berbagai kalangan anti korupsi.

Analisis atas Rencana Eks Koruptor Menjadi Penyuluh Anti Korupsi

Alih-alih merangkul dan melibatkan masyarakat dalam melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, KPK justru menggandeng eks narapidana korupsi sebagai penyuluh anti korupsi. Privilege baru eks narapidana korupsi tersebut justru telah mendegradasi kepercayaan publik terhadap iktikad baik KPK sebagai pelopor anti rasuah.

Terpilihnya eks narapidana korupsi sebagai penyuluh anti korupsi mengartikan mereka dapat kembali menikmati fasilitas negara. Hal tersebut tentu sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat.

Rencana eks narapidana sebagai penyuluh anti korupsi semakin menjauhkan cita-cita bangsa Indonesia yang bersih dan berintegritas. Rencana tersebut menunjukkan ketidak normalan tata kelola KPK hari ini.

Ibaratkan tikus menggerogoti padi, kini sang tikus telah mengasai lumbung padi.

Bila keanehan-keanehan dalam tubuh KPK terkait tata kelola lembaga dan pemberantasan korupsi tetap dipertahankan, maka pada sejatinya sudah tidak ada harapan lagi untuk lembaga tersebut tetap eksis.

Dan pada akhirnya, bila demikian situasinya, lebih baik lembaga tersebut di bubarkan dan tugas pencegahan dan pemberantasan korupsi dipikirkan ulang, seperti halnya mengembalikannya kepada tugas Kejaksaan dan Kepolisian. Yang tentunya diiringi dengan perbaikan sistem dan penyesuaian yang diperlukan.

Rizky Maulana Hakim
Rizky Maulana Hakim
Peneliti Junior Institut AntiKorupsi, Yogyakarta

Recent Post

Related Stories

For Subcription