Senin, Juni 30, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Polemik Hak Angket dan Rumpun KPK

Jendelahukum.com, Perspektif – Pro-kontra seputar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memang menjadi suatu hal yang lumrah terjadi dalam perjalanan sistem ketatanegaraan Indonesia. Lebih-lebih putusan itu menyangkut isu-isu krusial yang menyedot perhatian publik secara luas, tentu akan menimbulkan perdebatan yang cukup panjang bagi beberapa kalangan terutama para akademisi maupun praktisi hukum.

Begitu pula yang terjadi dalam kalangan para hakim konstitusi dalam ketika mengeluarkan putusan MK No. 36/PUU-XI/2017, yang pada intinya menolak permohonan untuk mengecualikan KPK sebagai obyek dari hak angket DPR.

Dalam putusan kali ini, para hakim MK tidak bulat secara keseluruhan. Pesilangan pendapat terjadi antara lima hakim MK yang menolak permohonan dan Empat orang hakim konstitusi lainnya menyampaikan pendapat yang berbeda (Dissenting Opinion).

Persilangan pendapat tersebut terletak pada pandangan masing-masing hakim terhadap perkembangan doktrin klasik tentang trias-politica dalam pemisahan kekuasaan (Separation Of Power) yang mengalami pergeseran sering dengan munculnya lembaga-lembaga atau komisi-komisi independen seperti halnya KPK, KPU, Komnas HAM, dan lain-lain sebagainya.

Dalam hal ini, lima hakim MK dengan tetap mempertahankan doktrin trias-politika berpendapat bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif. Oleh karenanya ia dapat diangket oleh DPR sebagai bentuk pelaksanaan fungsi pengawasan. Sedang empat hakim lainnya berpendapat bahwa KPK bukan merupakan obyek dari hak angket. KPK sebagai lembaga independen berdiri dalam kelompok kekuasaan baru, yakni kekuasaan keempat (the fourth branch of the goverment).

Terlepas dari itu, persilangan pendapat seharusnya dapat dipahami sebagai refleksi pemikiran para hakim MK dalam menghadapi suatu permasalahan. Masing-masing pendapat memiliki bangunan argumen yang cukup kuat.

Publik seharusnya tidak memandang ini sebagai pertentangan antara benar dan salah karena memang begitulah perdebatan para ahli menanggapi fenomena munculnya komisi-komisi atau lembaga-lembaga independen sebagai bentuk eksperimentasi negara dalam mencapai tujuannya.

Dimana Rumpun KPK?

Keberadaan KPK memiliki landasan konstitusional pada Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, sebagai lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud. Hal demikian juga ditegaskan dalam beberapa putusan MK, yaitu putusan MK No.012-016-029/PUU-IV/2006, putusan MK No. 5/PUU-XI/2011, Putusan MK No.49/PUU-XI/2013.

Dalam semua putusan MK itu, MK menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga yang menunjang pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berangkat dari itu, banyak para ahli yang menganggap bahwa KPK merupakan lembaga quasi yudikatif. Saya sendiri tidak setuju dengan pandangan ini karena tidak bisa diterapkan secara konsisten terhadap lembaga-lembaga serupa yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

Sebagaimana pendapat Yusril Ihza Mahendra, Kepolisian dan Kejaksaan jelas merupakan lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Akan tetapi jikalau ditanya dimana rumpun Kepolisian dan Kejaksaan berada. Maka jawabannya sudah pasti berada pada rumpun eksekutif.

Lebih lanjut, Yusril menggunakan logika yang sama dengan KPK yang secara kelembagaan, kelahirannya dilatarbelakangi oleh kegagalan lembaga penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) dalam menangani pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat ditelusuri dalam konsiderans menimbang huruf b UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan: bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Berpijak pada konsiderans tersebut, maka yang dimaksud sebagai lembaga pemerintah yang dalam hal ini menangani perkara Tipikor ialah kepolisian dan kejaksaan.Hal demikian diketahui dengan mengingat bahwa tugas penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan terhadap pelaku tipikor merupakan kewenangan kepolisian dan/atau kejaksaan.

Dengan demikian, sangat mendasar jika kemudian MK dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif. Namun sekalipun termasuk lembaga eksekutif, KPK secara kelembagaan tetaplah independen yang dalam menjalankan fungsinya tidak boleh dipengaruhi oleh lembaga manapun.

Pertanyaaan selanjutnya yang menggeliat di hati masyarakat adalah dapatkah KPK dijadikan obyek dari hak angket DPR? Jika dapat, lantas bagaimana dengan independensi KPK dalam menjalanka tugas dan kewenangannya dalam permberantasan tindak pidana korupsi? Sebelum menjawab persoalan tersebut, ada baiknya dalam hal ini perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang apa dan bagaimana hak angket DPR itu.

Hak Angket Sebagai Pranata Fungsi Pengawasan

Secara terminologis, hak angket berasal dari kata “Enquete” yang berarti penyelidikan. Parlemen Inggris pada tahun 1376 merupakan institusi pertama kali yang mulai menggunakan hak angket. Walaupun pada awalnya berasal, dari sistem parlementer, hak angket sebagai pranata fungsi pengawasan juga lazim digunakan di negara-negara yang menganut sistem presidensil.

Di Amerika serikat misalnya, fungsi pengawasan tidak dicantumkan secar eksplisit dalam konstitusinya. Akan tetapi, fungsi tersebut dijalankan kongres sebagai implied power dari fungsi legislasi dan fungsi anggaran.

Pada umumnya, hak angket digunakan untuk melakukan penyelidikan pelanggaran yang dilakukan pemerintah dengan tujuan akhir yaitu menjatuhkan sanksi dalam bentuk pemecatan terhadap pemerintah (Impeachment). Dalam hal inilah banyak beberapa ahli dan pakar yang menolak penggunaan hak angket terhadap KPK, karena terjebak dalam pemahaman tersebut. Padahal dalam perkembangannya hak angket tidak selalu identik dengan Impeachment atau pemakzulan.

Sebagaimana menurut Logemann, penyelidikan yang dilakukan oleh DPR ditujukan untuk memperoleh pandangan mengenai suatu hal dalam rangka pelaksanaan tugas menetapkan kebijakan, mungkin pula untuk mempersiapkan rancangan undang-undang inisiatifnya, atau memperoleh keterangan tentang sesuatu penyelewengan dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasannya. Hak angket juga dapat digunakan untuk sesuatu fact finding atau merumuskan kebijakan dalam rangka perbaikan-perbaikan ke depan.

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia,pengaturan tentang hak angket DPR  dapat ditemukan dalam pasal 20A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: ”Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Pemberian kewenangan ini dalam rangka menguatkan fungsi cheks and balances antara DPR dan Pemerintah.

Adapun mengenai penggunaan hak angket tersebut kemudian diatu lebih lanjut dalam pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, yang menyatakan sebagai berikut:“hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.

Merujuk penjelasan angka 264 lampiran II UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa; “Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatf, gunakan frasa dan/atau”. Dengan demikian, frasa “Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah” sebagaimana tertuang dalam pasal 79 ayat (3) di atas, jelas bukan merupakan kontruksi yang bersifat kumulatif semata, melainkan juga bersifat alternatif.

Oleh karenanya, obyek hak angket tidak hanya terbatas pada kebijakan pemerintah melainkan juga terhadap pelaksanaan suatu undang-undang. Atas dasar ini pulalah, dalam sejarah perjalanan ketatanegaraan Indonesia lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum dan Bank Indonesia juga pernah diangket oleh DPR.

Harus diakui, betapapun KPK menjadi idola bagi masyarakat karena tampil sebagai pahlawan yang berhasil memenjarakan para koruptor. Dalam perjalanannya, KPK tetap memiliki beberapa kekurangan baik secara kewenangan maupun kelembagaan. Oleh karena itu KPK tetap harus dievaluasi dan harus diperbaiki dari waktu ke waktu agar supaya lebih kuat dan efektif lagi.

Publik seharus tidak usah terlalu phobia terhadap angket DPR. Lagi pula, dalam putusan tersebut, MK secara tegas mengecualikan penggunaan hak angket terhadap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK. Sehingga tidak ada alasan kuat untuk menuduh MK berkongkalikong dengan DPR untuk menggerogoti KPK.

Hazrat Sibghotullah Mujaddidi
Hazrat Sibghotullah Mujaddidi
Praktisi hukum dan Peneliti di Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi.

Recent Post

Related Stories

For Subcription