Jendelahukum.com, Seputar Hukum – Istilah ‘penafsiran konstitusi’ merupakan terjemahan dari constitutional interpretation. Penafsiran konstitusi sendiri merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar, atau interpretation of the Basic Law.
Penafsiran konstitusi merupakan hal yang tidak terpisahkan dari aktivitas judicial review. Atau bahkan penggunaan metode penafsiran sangat mempengaruhi hasil akhir dari suatu perkara judicial review.
Baca juga: Kasus Marbury vs Madison: Awal Mula Terjadinya Judicial Review
Bobbitt mengidentifikasikan 6 (enam) macam metode penafsiran konstitusi yaitu: a) Penafsiran tekstual; b) Penafsiran historis (atau penafsiran orisinal); c) penafsiran doktrinal; d) Penafsiran prudensial; f) Penafsiran struktural; dan g) Penafsiran etikal.[1]
Masing-masing metode penafsiran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Penafsiran tekstual
Penafsiran tekstual (textualism or literalism) atau penafsiran harfiah ini merupakan bentuk atau metode penafsiran konstitusi yang dilakukan dengan cara memberikan makna terhadap arti dari kata-kata di dalam dokumen atau teks yang dibuat oleh lembaga legislatif (meaning of the words in the legislative text).
Dengan demikian, penafsiran ini menekankan pada pengertian atau pemahaman terhadap kata-kata yang tertera dalam konstitusi atau undang-undang sebagaimana yang pada umumnya dilakukan oleh kebanyakan orang.
Penafsiran historis
Penafsiran historis ini disebut juga dengan penafsiran orisinal, yaitu bentuk atau metode penafsiran konstitusi yang didasarkan pada sejarah konstitusi atau Undang-Undang itu dibahas, dibentuk, diadopsi atau diratifikasi oleh pembentuknya atau ditandatangani institusi yang berwenang.
Pada umumnya metode penafsiran ini menggunakan pendekatan original intent terhadap norma-norma hukum konstitusi. Menurut Donald P. Kommers sebagaimana dikutip juga oleh Refly Harun sebagai berikut:
“interpretasi atau penafsiran ini untuk menemukan apa yang dimaksudkan perumus konstitusi terhadap kata atau kalimat yang dimaksud. Sekali ditemukan maksud tersebut, harus diterapkan pada kasus atau masalah yang sedang ditangani”.[2]
Baca juga: Inggris: Negara Konstitusional Tanpa Konstitusi Tertulis
Penafsiran ini biasanya digunakan untuk menjelaskan teks, konteks, tujuan dan struktur konstitusi.
Penafsiran Doktrinal
Penafsiran doktrinal merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan cara memahami aturan Undang-Undang melalui sistem preseden atau melalui praktik peradilan.
The authority of law melalui Interpretasi doktrinal, menggunakan asas stare decisis, yaitu menuntut pengadilan untuk interpretasi konstitusi yang konsisten dan stabil.
James A. Holland dan Julian S. Webb mengemukakan bahwa common law is used to describe all those rules of law that have evolved through court cases (as opposed to those which have emerged from Parliament).[3] Menurut Bobbitt, metode penafsiran doktrinal ini banyak dipengaruhi oleh tradisi common law yang digunakan sebagai pendekatannya
Interpretasi konstitusi adalah keberadaan asas Stare decisis, selalu menjadi dasar terhadap hakim dalam kapasitasnya untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang
Penafsiran Prudensial
Penafsiran prudensial merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan cara mencari keseimbangan antara biaya-biaya yang harus dikeluarkan dan keuntungankeuntungan yang diperoleh dari penerapan suatu aturan atau Undang-Undang tertentu.
Menurut Bobbitt, “prudential arguments is actuated by facts, as these play into political and economic policies”.
Penafsiran Struktural
Penafsiran struktural merupakan metode penafsiran yang didasarkan pada analisis terhadap struktur konstitusi dan bagaimana ia diarahkan untuk berfungsi sebagai suatu sistem yang koheren dan harmonis.[4]
Bobbitt mengemukakan, metode penafsiran ini juga berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai federalisme, pemisahan kekuasaan dan isu-isu lainnya di lingkungan pemerintahan, di luar isu-isu tentang kebebasan sipil dan hak asasi manusia (structuralism as a kind of ‘macroscopic prudentialism).
Hakim Bebas Memilih Metode Interpretasi
Dalam praktik peradilan, metode interpretasi konstitusi yang satu dapat digunakan oleh hakim bersama-sama dengan metode penafsiran konstitusi yang lainnya.
Tidak ada keharusan bagi hakim hanya boleh memilih dan menggunakan satu metode interpretasi konstitusi tertentu saja, misalnya hanya memilih dan menggunakan metode penafsiran ‘originalisme’ yang mendasarkan diri pada original intent.
Hakim dapat menggunakan beberapa metode interpretasi konstitusi itu secara bersamaan. Jadi, terkait dengan prinsip independensi dan kebebasan hakim, hingga kini tidak ada ketentuan atau aturan yang mengharuskan hakim hanya menggunakan salah satu metode penafsiran tertentu saja. Pemilihan dan penggunaan metode interpretasi merupakan otonomi atau kemerdekaan hakim dalam penemuan hukum.
Pada umumnya dikatakan, bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan Undang-Undang paling tidak akan terdapat unsur-unsur gramatikal, sistematis, teleologis dan historis.
Oleh karena itu, MK sebagai lembaga penafsir undang-undang dasar (the sole judicial interpreter of the constitution), tidak boleh hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran “originalisme”, terutama apabila penafsiran demikian justru menyebabkan tidak bekerjanya ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai suatu system.
Baca juga: Implikasi Putusan MK Atas Pengujian Formil Undang-Undang
MK harus memahami UUD 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang terkandung di dalamnya guna membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih tepat dalam upaya mencapai cita negara (staatsideé), yaitu mewujudkan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, yang merupakan penjabaran pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam melaksanakan kewenangan judial review tersebut tentu MK harus menggali makna dan menentukan pengertian dari ketentuan UUD 1945 sehingga dapat dijadikan sebagai batu uji.
Proses itu adalah proses penafsiran konstitusi. Terdapat berbagai metode penafsiran yang dapat digunakan, seperti original intent, gramatikal, sistematis, kontekstual, hingga penafsiran kritis. Penafsiran sesungguhnya dilakukan oleh DPR dan Presiden pada saat membentuk Undang-undang untuk melaksanakan UUD 1945.
Namun karena UUD 1945 menentukan bahwa Undang-undang dapat dimohonkan pengujian kepada MK berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dan dinyatakan bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, maka penafsiran MK lah yang merupakan penafsiran akhir.[5]
Referensi
[1] Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 14
[2] Refly Harun, Penafsiran Konstitusi, Rajawali Pers, 2019, Hal 37.
[3] James A. Holland and Julian S. Webb, Learning Legal Rules, (Great Britain: Blackstone Limited, 1991), hlm.8
[4] Ibid, Hal 38.
[5] Moh. Mahfud MD, “Wewenang MK Memutus Pengujian Undang-Undang”, Makalah disampaikan dalam Ceramah Pasis Sespim Polri. Jakarta, 10 Desember 2008, hal. 5 – 6