Jendelahukum.com, Perspektif – Positivisme hukum awalnya berasal dari kata positive yang bermakna “ada” atau yang “sudah ada” sehingga sesuatu yang sudah ada bisa dikatakan positive. Kaum positivisme pada umumnya hanya mengenal ilmu pengetahuan yang positif, demikian pula positivisme hukum hanya mengenal satu jenis hukum, yakni hukum positif.
Dalam pembahasan aliran filsafat hukum, positivisme hukum dimaknai sebagai hukum yang sudah ada atau sesuatu yang sudah dibuat, ditetapkan atau disahkan oleh penguasa suatu negara/pemerintah, bisa saja disebut hukum yang sudah berlaku dalam artian secara prosedural sudah dikatakan hukum yang berlaku.
Kolom lainnya: Prinsip Proporsionalitas dan Pembatasan HAM
Menurut aliran positivisme, hukum dipandang sebagai produk formal dari penguasa (law formalism), pandangan ini memisahkan hukum itu sendiri dari substansi hukum. Jadi, hukum bisa berisi apa saja, namun pada intinya secara prosedur harus dinyatakan sebagai hukum oleh penguasa.
Secara sederhana positivisme hukum menganut dua prinsip dasar, yakni: Pertama, hanya undang-undang yang disebut hukum, di luar undang-undang tidak ada hukum. Kedua, negara atau otoritas merupakan satu-satunya sumber hukum.
Implikasi dari dua prinsip ini adalah bahwa setiap undang-undang yang telah ditetapkan oleh otoritas yang sah harus dianggap hukum yang harus dipatuhi, apapun isi dari hukum tersebut. Konsekuensinya, hukum akan menjadi alat legitimasi dari pemegang kekuasaan dalam menjalankan dan mempertahankan kekuasaannya.
Berbeda dengan Positivisme Logis
Dalam perjalannya, seringkali terdapat kerancuan antara positivisme logis dalam aliran filsafat dan positivisme hukum dalam pandangan aliran filsafat hukum. Untuk membedakannya, harus ditarik garis pembeda antara keduanya:
Misalnya dalam positivisme logis, pertama, logico-empirisme, yaitu suatu pembuktian harus diuji secara eksperimental. Kedua, objek ilmiah harus dapat direduksi (objek fisik saja). Ketiga, determinisme, yaitu berlaku hukum kausalitas menurut prinsip determinism. Keempat, realitas objektif, hal ini menekankan terhadap kenyataan tunggal atau kebenaran objektif semata. Kelima, bebas nilai, ialah tiada ruang bagi penilaian yang bersifat subjektif.
Ciri-ciri positivisme logis di atas menurut pendapat lingkaran Wina lebih kepada ciri-ciri ilmu eksak yang sama sekali berbeda dengan pandangan hukum dogmatis karena hukum objeknya adalah norma yang tidak bisa memakai kelima ciri di atas.
Law Grafis: Sistem Hukum Menurut Lawrence Mier Friedman
Hal yang bisa dijadikan pembeda dari positivisme logis juga dapat dilihat dari tujuan positivisme hukum itu sendiri, yaitu kepastian yang memiliki arti sama dengan positive.
Menurut Hans Kelsen (1881-1973), hukum harus dipisahkan dari fakta atau hukum, tidak dilihat dari aspek substasinya melainkan dari aspek formalnya, yaitu hukum yang dinyatakan berlaku oleh penguasa (law is a command of the law giver) atau dikenal dengan teori hukum murni.
Kelemahan Positivisme Hukum
Pandangan positivisme hukum ini mendapat banyak kritik dari berbagai golongan karena hanya mengakui hukum yang dibuat oleh pemerintah sehingga dapat dijadikan media untuk mengadopsi kepentingan penguasa.
Terutama dalam kehidupan kenegaraan, khususnya negara yang menganut paham negara kesejahteraan (welfare state) di mana penguasa diberi kewenangan untuk mencampuri kehidupan warga negara dengan menciptakan berbagai instrumen yuridis.
Permasalahannya, aturan hukum yang dijadikan dasar bagi negara atau pemerintah untuk bertindak tidak memperdulikan; apakah hukum yang dilahirkannya itu adil atau tidak, menindas rakyat atau tidak.
Pada negara-negara diktator, secara formal kekuasaan berjalan di atas hukum, akan tetapi bukan hukum yang memuat nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan perlindungan terhadap rakyat, melainkan hukum yang memihak pada kepentingan penguasa.
Oleh karena itu, positivisme hukum hanya memiliki satu kelebihan, dengan banyak kelemahan. Kelebihannya adalah adanya jaminan kepastian hukum dan masyarakat dengan mudah mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Negara atau pemerintah akan bertindak dengan tegas sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang, sehingga tugas hakim relatif lebih mudah, karena tidak perlu mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, tetapi hanya sekedar menerapkan ketentuan undang-undang terhadap kasus konkrit.
Baca lainnya: Status dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Namun begitu, setidaknya ada 3 kelemahan yang yang dimiliki oleh positivisme hukum, yaitu, yaitu; Pertama, Hukum sering dijadikan alat bagi penguasa, untuk mempertegas dan melanggengkan kekuasaannya. Karena itu, tidak jarang terjadi hukum yang semestinya menjamin perlindungan bagi masyarakat, malah menindas rakyat.
Kedua, Undang-undang bersifat kaku terhadap perkembangan zaman. Seperti diketahui, perkembangan masyarakat itu berjalan cukup cepat dan kadang-kadang tidak dapat diduga sebelumnya. Karena itu, undang-undang sering tidak mampu mengikuti perkembangan yang pesat tersebut.
Ketiga, Undang-undang sebagai hukum tertulis tidak mampu mengakomodasi semua persoalan kemasyarakatan. Karena, mustahil undang-undang mencantumkan semua persoalan politik, budaya, ekonomi, sosial dan lain-lain.
Oleh karena adanya beberapa kelemahan ini, maka mau tidak mau harus mengakui keberadaan hukum tidak tertulis. Karena bila penerapan hukum itu hanya berpatokan pada undang-undang tertulis, maka nilai keadilan akan terabaikan