Selasa, Juli 1, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

KPU dalam Pusaran Putusan MK dan MA

Jendelahukum.com, Perspektif – Penghormatan terhadap putusan pengadilan merupakan salah satu prinsip dasar dalam supremasi hukum. Terlepas dari kontroversi yang muncul, suatu putusan pengadilan berlaku mengikat dan wajib ditaati oleh semua pihak selama belum ada putusan lain yang menganulir keberlakuannya.

Dalam hal ini, berlaku sebuah adagium yang mengatakan; Res Judicata Pro Veritate habetur, yang artinya putusan hakim harus dianggap benar. Sayangnya, realitas penghormatan terhadap putusan pengadilan, terutama putusan terhadap pengujian undang-undang, memang masih jauh dari kata ideal. Begitu pula yang berlaku terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menguji konstitusionalitas undang-undang.

Bak singa ompong, putusan MK seolah hanya bisa mengaum tapi tak bisa “menggigit” lembaga-lembaga yang menjadi addresat putusannya. Begitulah kiranya yang terjadi terhadap putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 tentang konstitusionalitas norma pencalonan anggota DPD dari pengurus Parpol, pasca dikeluarkannya Putusan MA yang mengabukan gugatan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 28 Tahun 2018 yang diajukan oleh Oesman Sapta Oedang (OSO).

Dalam putusannya, MA mencabut salah satu norma dalam PKPU No. 28 Tahun 2018 yang mensyaratkan surat penguduran diri bagi pengurus parpol untuk mencalonkan diri sebagai caleg DPD. Sebagai konsekuensinya, jika mengacu pada putusan MA tersebut maka KPU harus segera menganulir keputusannya yang mencoret beberapa pengurus parpol, termasuk OSO, dari daftar caleg DPD pada pemilu 2019 mendatang.

Putusan MK tentang Keanggotaan DPD

Secara kelembagaan, DPD merupakan representasi daerah (territorial representation) yang membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam kerangka kepentingan nasional. Berbeda halnya dengan DPR yang merupakan representasi politik (political representation) dari aspirasi kepentingan politik partai-partai politik.

Dari segi pencalonan anggota, kedua lembaga itu pun memiliki dua pintu masuk yang berbeda. Prasyarat calon perseorangan haruslah mendapatkan dukungan langsung dari rakyat, dalam bentuk fotokopi KTP serta tandatangan dukungan. Sedangkan DPR melalui dukungan partai politik yang merupakan organisasi sejak tingkat desa atau kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten hingga provinsi. Oleh karena itu, MK berpendapat bahwa anggota DPD bukan berasal dari partai politik.

Pendirian MK tersebut sejatinya telah nampak secara jelas dalam beberapa putusannya yang berkaitan dengan lembaga DPD. Mulai dari Putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008, No. 92/PUU-X/2012, No. 79/PUU-XII/2014. Sayang, pendirian MK tersebut sengaja diabaikan oleh para pembentuk undang-undang, hingga akhirnya secara berulang-ulang kali memicu pengujian terhadap beberapa norma pasal yang berkaitan dengan kelembagaan DPD.

Begitupun dengan Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018,putusan ini merupakan tindak lanjut MK dalam menghadapi uji materi terhadap frasa “pekerjaan lain” yang menurut norma pasal 182 huruf I UU Pemilu dapat menimbukan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai angota DPD, sehingga oleh karenanya calon anggota DPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan tersebut.

Dalam amar putusannya, MK memperluas makna frasa “pekerjaan lain” sebagaimana dimaksud meliputi pengurus parpol. Lebih lanjut, MK memerintahkan KPU untuk melarang pencalonan pengurus parpol sebagai calon DPD pada pemilu 2019 mendatang.Hal ini dimaksudkan agar supaya desain kelembagaan yang jelas antara DPD dan DPR.

Sebagai representasi aspirasi kepentingan daerah, DPD sudah seharusnya bebas dari anasir-anasir kepentingan partai politik yang seharusnya diakomodir oleh DPR. Namun demikian, putusan MK tersebut seolah ter-negasi-kan dengan dikeluarkannya putusan MA terkait pencalonan pengurus parpol sebagai anggota DPD.

Disparitas Putusan MA dan MK

Potensi terjadinya disparitas putusan antara MK dan MA sebagai lembaga pemangku kewenangan judicial review sebenarnya telah lama sejak lama menimbulkan kekhawatiran, baik di kalangan praktisi maupun akademisi hukum. Hal ini dikarenakan sekalipun putusan MK dinyatakan final dan mengikat, akan tetapi dalam prakteknya, MK tidak bisa memaksakan putusannya pada lembaga yang menjadi addresat dari putusannya.

Bahkan, tidak jarang putusan MK mengalami pembangkangan dari beberapa lembaga-lembaga lain.Kepatuhan terhadap putusan MK masih sangat bergantung pada kesadaran dan komitmen masing-masing lembaga yang bersangkutan dalam mewujudkan supremasi hukum di Indonesia. Dalam hal ini, putusan MA terkait pencalonan pengurus parpol sebaga anggota DPD merupakan pengalaman terbaru dimana pembangkangan putusan MK dilakukan oleh sesama lembaga pengadilan.

Terjadinya disparitas putusan antara MK dan MA dalam menangani norma pencalonan anggota DPD dari pengurus parpol tersebut tentu menjadi beban tersendiri bagi KPU dalam menentukan langkah terhadap status pencalonan beberapa pengurus parpol sebagai caleg DPD.

Akankah KPU mengikuti putusan MA dengan kembali memasukkan OSO dkk ke dalam daftar caleg DPD, atau malah bersikukuh dengan keputusannya untuk mencoret calon yang menjabat sebagai pengurus parpol dari daftar caleg DPD.

Penulis tentu sangat mendukung langkah KPU untuk mengadakan konsultasi kelembagaan dengan MK dan MA, dalam rangka mencari kejelasan perihal pencalonan pengurus parpol sebagai anggota DPD.  Barangkali ini jalan satu-satunya yang bisa dilakukan oleh KPU untuk menghadapi sengkarut disparitas putusan tersebut.

Kejadian ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi lembaga-lembaga negara, terutama pembentuk undang-undang,agar dalam menjalankan tugas dan kewenangannya lebih peka terhadap mandat konstitusional yang tertuang dalam putusan MK guna menghindari persoalan hukum yang berpotensi menggerus wibawa hukum di Indonesia.

Hazrat Sibghotullah Mujaddidi
Hazrat Sibghotullah Mujaddidi
Praktisi hukum dan Peneliti di Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi.

Recent Post

Related Stories

For Subcription