Rabu, Februari 19, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Perda Berbasis Nilai Agama dalam Perspektif Pancasila

Jendelahukum.com, Perspektif – Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim, bahkan muslim terbesar di dunia, pada alenia ketiga Pembukaan UUD 1945 ada sebuah kalimat “atas berkat rahmat Allah…”. Namun kalimat ini tidak mutlak mencerminkan bahwa Indonesia merupakan negara Islam, melainkan perpaduan antara negara Islam dan negara sekuler.

Meminjam Istilah Mahfud MD, maka Negara Indonesia tidak lain adalah Negara Kebangsaan Yang Religius (religious nasion state). Negara Kebangsaan Yang Religius tidak lantas memberlakukan hukum agama tertentu (Sebut: Islam) sebagai hukum nasionalnya secara resmi, akan tetapi negara berkewajiban untuk melindungi orang-orang yang ingin melaksanakan ajaran agamanya.

Baca Juga: Grace Natalie, “Perda Syariah”, dan “Perda Injil”

Dalam pelaksanaan dan penerapannya, yang dapat dilakukan adalah penerapan nilai-nilai agama tertentu dalam setiap produk hukum yang dilakukan oleh pemangku kekuasaan legislasi di Indonesia, termasuk dalam hal ini anggota DPR dan DPRD.

DPR dapat menghasilkan undang-undang yang berbasis syariah islam, seperti UU Zakat, KHI, UU Perbankan Syariah, dan lain sebagainya. Adapun DPRD dapat menghasilkan peraturan-peraturan daerah yang bernuansa syariah, hal ini didasarkan pada prinsip otonomi daerah dan desentralisasi.

Berdasarkan prinsip otonomi internal right self determination yaitu hak daerah untuk memutuskan nasibnya sendiri dan mengurus secara internal urusan di daerahnya, maka daerah berwenang mengatur sendiri urusan rumah tangganya terkecuali urusan pemerintahan absolut yang meliputi, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional; dan agama.

Namun demikian, tidak selalu urusan absolut dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Pusat, masih dimungkinkan untuk dilimpahkan wewenangnya kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi, termasuk urusan agama.

Terlebih lagi dengan adanya pasal 18B UUD 1945 yang mengakui adanya pengakuan terhadap kekhususan daerah, maka menjadi dasar konstitusional dari pemberlakuannya otonomi khusus. Termasuk otonomi khusus daerah Aceh yang merupakan kekhususan yang sangat istimewa, karena dapat menerapkan sistem hukum sendiri yang berbeda dengan penerapan syariat Islamnya.

Baca juga: Penerapan Syariah dalam Konteks NKRI Punya Makna Luas

Dalam suatu sistem hukum nasional yang menggunakan kerangka negara kesatuan kesemua komponen hukum yang ada harus mencapai suatu kesatuan tujuan hukum nasional, tidak dibenarkan ada yang menyimpang dari tujuan hukum nasional. Sebagaimana yang dikatakan Sunaryati Hartono, Sistem Hukum Nasional didasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945.

Setiap bidang hukum merupakan bagian dari sistem hukum nasional, dan wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Jadi Pancasila merupakan tujuan hukum nasional dan untuk mencapainya dilakukan dalam kerangka UUD 1945.

Embrio Lahirnya Perda Berbasis Syariah

Jika ditilik dari pendekatan sejarah, pada era Presiden Soekarno, sang perumus Pancasila, tak ada kolom agama di KTP, tak ada konsep agama resmi negara yang dibatasi jumlahnya, agama tidak dijadikan pelajaran wajib di bangku sekolah, serta pihak yang hendak mengubah dasar negara jadi syariah Islam diperangi dengan kekuatan militer.

Kemudian fakta kubu yang ‘pro negara islam’ sudah berkali-kali kalah di negeri ini. Dimulai pada masa persiapan kemerdekaan dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI untuk menyusun dasar negara. Begitu pula dalam Sidang Konstituante pada tahun 1955-an, mereka pun gagal membuat sebuah konstitusi yang menjadikan Indonesia berbentuk negara Islam, karena terjadi deadlock dengan kubu nasionalis.

Mereka mencoba lagi pada Sidang Umum 1999 seusai jatuhnya rezim Soeharto, tapi dijegal oleh Gus Dur. Dari sejarah di atas kita bisa melihat bahwa perjuangan menjadikan Indonesia negara islam pernah diajukan secara resmi, namun sejak itu strategi mereka berubah perlahan-lahan mereka memelintir makna sila pertama agar kembali seperti Piagam Jakarta.

Baca juga: Telaah Kritis Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pilkada Langsung

Paralel dengan itu, kemudian mereka membuat aneka perda syariah. Serupa taktik “desa mengepung kota” yang dirancang oleh Mao Zedong dan sempat diterapkan oleh DN Aidit. Tema perdanya pun bermacam-macam; ada perda pelarangan perjudian dan minuman keras; Perda yang mewajibkan pakaian muslim di lingkungan tertentu, misalnya sekolah atau kantor pemerintah;

Beberapa peristiwa sempat menghebihkan masyarakat dengan kasus-kasus yang pernah terjadi seprti; ada perempuan baik-baik yang kena razia hanya karena keluar rumah larut malam; Ada siswi Kristen yang dipaksa ikut pakai jilbab, padahal di sekolah umum negeri; dan larangan tempat makan buka siang hari selama bulan puasa padahal sebelumnya cukup disuruh pasang tirai.

Konsep Ideal Formalisasi Nilai Syariah

Dikutip dari buku karya Michael Buehler, The Politics of Shari’a Law: Islamist Activist and the State in Democratizing Indonesia (hal. 174), setidaknya dari 34 provinsi menunjukkan terdapat 443 Peraturan Daerah yang mengatur persoalan moralitas dan implementasi syariah Islam di semua lini kehidupan diadopsi antara tahun 1998 dan 2013 di beberapa kabupaten di sejumlah provinsi yang relatif kecil.

Provinsi dengan jumlah Peraturan Daerah Syariah tertinggi adalah Jawa Barat (103), Sumatera Barat (54), Sulawesi Selatan (47), Kalimantan Selatan (38), Jawa Timur (32) dan Aceh (25). Sebagai contoh yaitu Perda tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan yang Berlandaskan pada Ajaran Agama Islam dan Norma-norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya.

Perda tersebut lahir pada 2012 dan diprotes karena mendiskriminasi perempuan, ada anggapan bahwa perda-perda semacam itu tak diperlukan karena cara berpakaian seseorang termasuk ranah privat seseorang.

Maka dari itu dalam pembentukan perda yang bermateri muatan agama tertentu, baik secara materil maupun formil tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan nasional. Sebagai konkritisasi dari sila pertama Pancasila, namun tetap harus memperhatikan asas-asas lain dalam Pancasila seperti asas semangat kerukunan, asas kepatutan, dan asas keselarasan.

Baca juga: Piagam Madinah sebagai Konstitusi Tertulis Pertama

Penerapan asas-asas dalam syariat agama tertentu dapat diterapkan secara eklektis dalam artian harus dipilah-pilah nilainya yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya. Jangan sampai penerapan perda syariah itu justru menyebabkan ketidakteraturan sistem hukum nasional yang jauh dari tujuan hukum nasional, sehingga menyebabkan kekacauan dalam masyarakat.

Bila dianalisis hakikat makna negara Pancasila, ialah sebuah negara yang tidak berdasarkan agama tertentu namun melindungi semua pemeluk agam yang ada. Misalnya negara tidak boleh mewajibkan haji, akan tetapi negara membantu rakyat beragama islam yang ingin naik haji dengan menyediakan sarananya. Contoh lain terkait persoalan makan-makanan halal.

Sebagai orang islam kita tidak boleh makan babi, disisi lain negara juga tidak boleh melarang kita untuk makan babi. Negara hanya menyediakan informasi mengenai makanan yang halal dengan label halal.

 

Andi Wahyudi
Andi Wahyudi
Magister Hukum Kenegaraan UGM

Recent Post

Related Stories

For Subcription