Jendelahukum.com, Jakarta – Jasa KH Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus Dur akan selalu dikenang oleh warga Tionghoa di Indonesia. Bagaimana tidak, Saat Gus Dur menjadi presiden, Hari Raya Imlek akhirnya bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas.
Warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika merayakannya. Kebebasan ini tidak lepas dari keputusan politik Gus Dur yang pada 17 Januari 2000, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2000, yang isinya mencabut Inpres No 14/1967 yang dibuat Soeharto tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China.
Baca juga: Ditunding Sebagai Otak Pelengseran Gus Dur, Begini Klarifikasi Amien Rais
Karena itu, sampai saat ini Gus Dur dikenang sebagai tokoh pembela bagi berbagai kelompok yang dipinggirkan. Gusdur merupakan sosok ulama yang tidak hanya dihormati oleh kalangan umat Islam, tapi juga oleh para tokoh agama Tionghoa. Karena itu, Gus Dur pun ditasbihkan sebagai Bapak Tionghoa.
Dalam buku berjudul “41 Warisan Kebesaran Gus Dur”, M Hanif Dhakiri menjelaskan, Gus Dur tidak hanya banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan yang menghormati masyarakat Tionghoa, tapi mantan Presiden RI ini juga mensejajarkan mereka dengan semua kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai agama, suku, dan adat istiadat yang berbeda.
Pada level praktis dan kebijakan, kata hanif pembelaan Gus dur terhadap kelompok kelompok dan etnis Tionghoa telah dibuktikan secara nyata. Menurut Hanif, perhatian dan pembelaan Gus Dur terhadap kelompok Tionghoa sangat besar.
Karena itu, beberapa tokoh agama Tionghoa Semarang kemudian mentasbihkan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa pada 10 Maret 2004 silam di Kelenteng Tay Kak Sie. Penghargaan dan penghormatan masyarakat Tionghoa kepada Gus Dur juga selalu diitunjukkan dalam berbagai kesempatan.