Selasa, Juli 1, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

10 Hal Mendasar Yang Diatur dalam RUU KUHP

Jendelahukum.com – Pemerintah terus mendorong pengesahan RUU KUHP sekalipun sempat ditunda sejak September 2019 lalu. Dalam RUU KUHP tersebut ada banyak ketentuan baru yang berbeda dengan KUHP yang berlaku sekarang.

Prof Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, setidaknya mencatat ada 10 ketentuan baru dan penting yang termaktub dalam RUU KUHP yang berbeda dengan struktur pengaturan KUHP.

Apa saja 10 ketentuan tersebut?. Ini dia sepuluh ketentuan baru yang terdapat dalam RUU KUHP, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Penghapusan Kategori Kejahatan dan Pelanggaran;

Seperti diketahui, KUHP membedakan antara kategori kejahatan dan pelanggaran. Kedua kategori pidana tersebut diatur dalam buku yang berbeda, yaitu dalam buku II dan III. Buku II KUHP mengatur Kejahatan, terdiri dari 31 bab dan 385 pasal. Buku III KUHP mengatur Pelanggaran meliputi 9 bab dan 81 pasal.

Sedangkan di dalam RUU KUHP, tidak lagi dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana diatur dalam KUHP sekarang.  Tapi, RUU KUHP tidak lagi membedakan dua kategori tersebut, sehingga hanya ada 2 buku KUHP yakni Buku I tentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana.

2. Pemberlakuan Asas living law;

RUU KUHP tetap mempertahankan asas legalitas KUHP, tapi juga mengakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) sebagai dasar pemidanaan. Namun begitu, diberlakukan beberapa syarat khusus, yaitu;

  • bahwa living law tersebut hanya berlaku di tempat hukum itu hidup;
  • tindak pidana tidak diatur dalam RUU KUHP,
  • harus sesuai dengan Pancasila, UUD RI 1945, HAM dan asas hukum umum yang diakui masyarakat.
  • Sanksi yang diancamkan maksimal setara denda kategori II (Rp10 juta).
  • Pelaksanaanliving law tidak menggunakan pengadilan adat, tapi ditetapkan melalui Perda dan dikompilasi secara nasional.

3. Tujuan pemidanaan

Tujuan pemidanaan yang diatur dalam RUU KUHP antara lain sebagai pencegahan; pencegahan/rehabilitasi; penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan dan penciptaan rasa aman dan damai; dan menumbuhkan penyesalan dari terpidana (efek jera).

Prof tuti dalam hal ini menjelaskan bahwa filosofi tujuan dari RUU KUHP sejatinya sebenarnya tidak mau pidana untuk menghukum, akan tetapi agar ada aturan yang diketahui, sehingga orang tidak akan melakukan tindak pidana.

4. Jenis pidana

Ketentuan jenis pidana dalam RUU KUHP masih memuat ketentuan pidana pokok dan tambahan. Untuk pidana pokok bentuknya terdiri dari, yaitu: a) pidana penjara; b) tutupan; c) pengawasan; d) denda; dan e) kerja sosial.

adapun pidana tambahan berupa yaitu; a) pencabutan hak tertentu; b) perampasan barang tertentu dan/tagihan; c) pengumuman putusan hakim; d) pembayaran ganti rugi; e) pencabutan izin tertentu; dan f) pemenuhan kewajiban adat setempat.

Sedangkan, pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dan dapat dijatuhkan dengan percobaan 10 tahun. Kalau selama 10 tahun tidak juga dieksekusi dan ada perbaikan perilaku, bisa diganti pidana penjara seumur hidup.

5. Alasan pemaaf dan pemberat pidana;

Alasan pemaaf dan pemberat diatur lebih jelas dalam RUU KUHP yakni pada Pasal (40-44) untuk alasan pemaaf dan Pasal 58-59 untuk alasan pemberat pidana.

6. Pemaafan Peradilan (Judicial Pardon)

Dalam RUU KUHP diatur adanya Pemaafan Peradilan (Judicial Pardon). Hal ini tercantum dalam Pasal 54 ayat (2) RUU KUHP dimana hakim dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut, yaitu;

  1. ringannya perbuatan;
  2. keadaan pribadi pelaku;
  3. keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian;
  4. keadilan dan kemanusiaan.

7. Alternatif pidana penjara;

Alternatif pidana penjara. RUU KUHP mengatur pidana penjara dapat diubah/dikonversi menjadi pidana kerja sosial dan pengawasan. Pidana kerja sosial dapat diberikan untuk terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara kurang dari 5 tahun; hakim menjatuhkan pidana paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II; dan setelah memperhatikan sejumlah hal.

Sedangkan, pidana pengawasan dapat dijatuhkan untuk terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun; dengan tetap memperhatikan ketentuan tentang tujuan dan pertimbangan dalam pemidanaan; lama pidana pengawasan maksimal sama dengan pidana penjara yang diancamkan tidak lebih dari 3 tahun.

8. Kategori Denda;

Pidana denda, besarannya terdiri dari 8 kategori. Kategori I maksimal Rp1 juta; kategori II maksimal Rp10 juta; kategori III maksimal Rp50 juta; kategori IV maksimal Rp200 juta; kategori V maksimal Rp500 juta; kategori VI maksimal Rp2 miliar; kategori VII maksimal Rp5 miliar; kategori VIII Rp50 miliar.

Pedoman penjatuhan pidana denda ini meliputi 5 hal, yaitu:

  1. Wajib mempertimbangkan kemampuan, penghasilan, dan pengeluaran terdakwa yang nyata, namun tidak mengurangi penerapan minimum khusus pidana;
  2. Dapat dibayar dengan cara mengangsur.
  3. Wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam amar putusan.
  4. Jika tidak dibayar dalam waktu yang ditentukan, kekayaan/pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar.
  5. Jika penyitaan dan pelelangan kekayaan/pendapatan tidak cukup/tidak mungkin, diganti dengan pidana penjara, pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial asalkan denda tersebut tidak melebihi kategori II.

9. Pidana tambahan;

Dalam Pasal 86 RUU KUHP diatur pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu. adapun hak-hak yang dapat dicabut itu meliputi, yaitu a) hak memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu; b) hak menjadi anggota TNI/Polri; c) hak memilih dan dipilih dalam pemilu; d) hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawasan; e) atas orang yang bukan anaknya sendiri; hak menjalankan kekuasaan bapak, atau menjalankan perwalian, atau; f) mengampu atas anaknya sendiri; g) hak menjalankan profesi tertentu; dan/atau hak memperoleh pembebasan bersyarat.

10. Tindakan

Tindakan diatur dalam Pasal 103 RUU KUHP yang dibagi menjadi dua jenis, yaitu Pertama, tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok meliputi konseling; rehabilitasi; pelatihan kerja; perawatan di lembaga; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana.

Kedua, tindakan yang dapat dikenakan kepada orang yang mengalami disabilitas mental dan intelektual yakni rehabilitasi; penyerahan kepada seseorang; perawatan di lembaga; penyerahan kepada pemerintah dan/atau; perawatan di rumah sakit jiwa.

Selain itu,  RUU KUHP juga mengatur pidana dan tindakan bagi (kejahatan, red) korporasi. Pidana berupa pokok dan tambahan. Sedangkan tindakan untuk korporasi seperti pengambilalihan (kepemilikan, red) korporasi; pembiayaan pelatihan kerja; penempatan di bawah pengawasan dan/atau; penempatan korporasi di bawah pengampuan.

Ada juga pidana tambahan untuk korporasi yaitu pembayaran ganti rugi; perbaikan akibat tindak pidana; pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan; pemenuhan kewajiban adat; pembiayaan pelatihan kerja; perampasan barang atau keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; pengumuman putusan pengadilan; pencabutan izin tertentu; pelarangan permanen melakukan kegiatan tertentu; penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi; pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan korporasi dan; pembubaran korporasi.

Itulah sepuluh aturan penting yang diatur dalam RUU KUHP. Jika bermanfaat jangan lupa di Share ke teman-teman yang lain. Thanks!

Stay Connected

16,985FansSuka
564,865PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan

Must Read

Related News

Related Stories