Jendelahukum.com, Seputar Hukum – Prosedur atau pelaksanaan penangkapan, meliputi aspek pembahasan mengenai siapa petugas yang berwenang melakukan penangkapan serta syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan penangkapan.
Prosedur penangkapan diatur dalam Pasal 18, menentukan: “Pelaksanaan penangkapan dilakukan petugas kepolisian negara RI”.
Dari ketentuan ini, sudah jelas petugas mana yang boleh melakukan penangkapan, Jaksa penuntut umum tidak berwenang melakukan penangkapan kecuali dalam kedudukannya sebagai penyidik berdasar Pasal 284 ayat (2). Satpam atau Hansip tidak berwenang melakukan penangkapan, kecuali di dalam hal tertangkap tangan.
Baca juga: Penangkapan: Definisi, Alasan, dan Jangka Waktu
Dalam hal tertangkap tangan “setiap orang berhak” melakukan penangkapan, dan bagi orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman, dan keamanan “wajib” menangkap tersangka dalam hal tertangkap tengan (Pasal 111).
Petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan hurus membawa “surat tugas penangkapan”, yang berisi tentang;
- Identitas tersangka, nama, umur, dan tempat tinggal. Jika ternyata identitas yang diterangkan dalam surat perintah penangkapan tidak sesuai, bisa dianggap surat perintah itu “tidak berlaku” terhadap orang yang didatangi petugas. Demi untuk kepastian hukum dun penegakan ketertiban.
- “Menjelaskan atau menyebut secara singkat alasan penangkapan. Misalnya, demi untuk kepentingan penyelidikan atau pemeriksaan penyidikan, dan sebagainya.
- Menjelaskan uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan terhadap tersangka. Misalnya, disangka melakukan kejahatan pencurian, seperti yang diatur dalan Pasal 362 KUHP.
- Selanjutnya menyebut dengan terang di tempat mana pemeriksaan dilakukan.
Lantas bagaimana jika surat tugas tidak ada?
Kalau tidak ada, tersangka berhak menolak untuk mematuhi perintah penangkapan, karena surat tugas itu merupakan syarat formal yang bersifat “imperatif”. Hal ini dimaksudkan agar jangan terjadi penangkapan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Karena itu, demi untuk tegaknya kepastian serta untuk menghindari penyalahgunaan jabatan ataupun untuk menjaga ketertiban masyarakat dari pihak-pihak yang beriktikad buruk, penangkapan oleh seorang petugas yang tidak mempunyai surat tugas harus ditolak dan tidak perlu ditaati.
Artikel terkait: Ini dia, Jenis dan Syarat Penahanan Menurut KUHAP
Penting juga diingatkan bahwa dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) KUHAP menjelaskan bahwa; Dalam hal tertangkap tangan maka penangkapan dapat dilakukan terhadap tersangka “tanpa surat perintah” penangkapan, dengan syarat harus segera menyerahkan yang tertangkap tangan kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
Setelah dilakukan penangkapan, maka suara perintah penangkapan tersebut harus disertai dengan tembusan yang diberikan “kepada keluarga” tersangka. Pemberitahuan penangkapan kepada pihak keluarga yang disampaikan “secara lisan” dianggap “tidak sah”, karena bertentangan dengan ketentuan undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3).
Oleh karena itu, pemberian “tembusan” surat perintah penangkapan terhadap keluarga tersangka, ditinjau dari segi ketentuan hukum adalah merupakan “kewajiban” bagi pihak penyidik.
Jika tembusan surat perintah penangkapan tidak diberikan kepada pihak keluarga, mereka dapat mengajukan pemeriksaan kepada Praperadilan tentang ketidakabsahan penangkapan tersebut serta sekaligus dapat menuntut ganti kerugian,
Larangan Penangkapan Atas Pelanggaran
Menurut Pasal 19 ayat (2), tidak dibolehkan melakukan penangkapan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana pelanggaran. Prinsip hukum telah menggariskan, dilarang menangkap pelaku “tindak pidana pelanggaran”.
Apakah prinsip di atas mutlak berlaku untuk semua tindak pidana pelanggaran? Ternyata tidak juga. Prinsip hukum ini memiliki “pengecualian”, sebagaimana dijelaskan sendiri oleh Pasal 19 ayat (2) yakni dalam hal: apabila tersangka pelaku tindak pidana pelanggaran sudah “dua kali dipanggil berturut-turut” secara resmi namun tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah.
Baca juga: Hak-hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP
Dalam kasus ini tersangka dapat ditangkap atau dapat dibawa ke kantor polisi dengan paksa, untuk dilakukan pemeriksaan. Selain itu, penangkapan juga dapat dilakukan terhadap orang yang memberi bantuan dalam tindak pidana.
Sebagai contoh, pelangaran yang diatur dalam Pasal 506 KUHP. Pasal ini dimasukkan dalam Buku III KUHP, tentang pelanggaran yang diatur dalam Bab Il mengenai pelanggaran ketertiban namun yaitu; barangsiapa mencari keuntungan dan perbuatan Cabul seorang wanita.
Perbuatan cabulnya itu sendiri merupakan tindak pidana kejahatan seperti yang diatur dalam Bab XIV KUHP (kejahatan kesusilaan) yang dirumuskan dalam Pasal 284. Jadi berdasar kedua pasal di atas, Pasal 506 KUHP menghukum orang yang “memberi bantuan” dengan tujuan mencari keuntungan terhadap kejahatan perbuatan cabul yang disebut dalam Pasal 254 KUHP view.
Jika Pasal 506 jo. Pasal 284 kita hubungkan dengan Pasal 21 ayat (4), memberi wewenang bagi penyidik untuk melakukan penangkapan terhadap pelanggaran Pasal 506, sekalipun Pasal 506 KUHP merupakan tindak pidana pelanggaran.
Malah kalau diperhatikan lebih lanjut Pasal 21 ayat (4) huruf b, Pasal 506 termasuk kelompok tindak pidana yang dikategorikan tindak pidana yang dapat dilakukan penahanan terhadap pelakunya.