Jendelahukum.com, Seputar Hukum – Alur cerita perselingkuhan pasangan dalam Serial Web “Layangan Putus” sedang hangat dibicarakan netizen di media sosial. Tokoh Aris (Reza Rahadian) menyelingkuhi pasangannya Kinan (Putri Marino) dengan orang ketiga, yaitu Lydia (Anya Geraldine).
Dalam episode ke-8 serial Layangan Putus tersebut, Kinan berencana untuk memidanakan Aris bersama dengan selingkuhannya Lydia (Anya Geraldine).
Lantas bagaimana sebenarnya hukum Indonesia mengatur tentang perbuatan selingkuh? Apakah suami atau istri yang berselingkuh dapat dipidana?
Perselingkuhan dalam Hukum Pidana Indonesia
Pada dasarnya, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Namun dalam perjalanannya kadangkala seorang pasangan suami istri mengalami berbagai macam cobaan dan godaan dalam menjaga rumah tangga. Misalnya datangnya pihak ketiga yang menjadi biang terjadinya perselingkuhan, baik dari pihak suami atau istri.
Baca juga: Siapa yang Mendapat Hak Asuh Anak, Jika Istri Ketahuan Selingkuh?
Berkaitan dengan itu, penting untuk diketahui bahwa KUHP atau aturan hukum pidana lainnya sejatinya tidak mengatur secara khusus tentang perselingkuhan.
Akan tetapi jika perselingkuhan telah mengarah ke perbuatan zina, maka suami/istri dari pasangan yang melakukan zina dapat melaporkan istri/suaminya serta selingkuhannya ke polisi atas dasar perbuatan perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Menurut R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, apa yang diatur dalam Pasal 284 KUHP tersebut umumnya dikenal dengan istilah “gendak (overspel)”.
Gendak (Overspel)
Gendak (overspel) adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya, atau secara singkatnya terjadi zina/perzinahan, maka untuk dapat dikatakan sebagai gendak (overspel).
Dengan begitu, pasangan selingkuh tersebut harus persetubuhan atau hubungan badan, yang dilakukan atas dasar suka sama suka, dan tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.
Hal ini memang sering menjadi kendala dan atau salah satu hal yang sulit untuk dibuktikan oleh pelapor. Sementara suatu tindak pidana gendak (overspel) adalah membuktikan adanya ‘persetubuhan’.
Baca juga: Agar Laporan Pidana Tidak Diabaikan oleh Polisi, Ikuti langkah-langkah ini
Persetubuhan tersebut telah dilakukan dengan secara sengaja (menghendaki dan mengetahui apa yang ia lakukan) atau telah adanya niat (mens rea) untuk melakukan tindakan tersebut (actus reus).
Barang siapa yang melakukan perbuatan gendak (overspel) maka menurut Pasal 284 ayat (1) KUHP, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Selanjutnya, dijelaskan Pasal 284 ayat (2) KUHP bahwa: “Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
Mengacu pada ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHP di atas, maka proses penuntutan atau pelaporan tindak pidana gendak (overspel) hanya dapat dilakukan atas pengaduan suami atau istri. Pasalnya, tindak pidana tersebut termasuk dalam delik aduan (klacht delict).
Dengan begitu, maka pasangan selingkuh tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan dan atau yang dipermalukan. Laporan pidana gendak (overspel) tidak dapat diproses lebih lanjut oleh Kepolisian apabila yang melaporkan bukanlah pasangan resmi pihak yang dirugikan.
Baca juga: Membedakan Hukum Pidana dan Hukum Perdata
Berkaitan dengan itu, R. Soesilo menjelaskan pengaduan ini tidak boleh dibelah. Artinya, jika anda mengadukan bahwa suami anda telah berzinah dengan perempuan lain, maka suami anda maupun perempuan tersebut yang turut melakukan perzinahan, keduanya harus dituntut.
Sebelum menutup tulisan ini, perlu kami sampaikan bahwa pada dasarnya upaya hukum pidana adalah upaya terakhir (ultimum remidium) dalam penyelesaian suatu masalah.
Sehingga jika suatu perkara dapat diselesaikan melalui upaya lain seperti kekeluargaan, musyawarah, negosiasi dan mediasi, maupun perdata, maka hendaklah diselesaikan terlebih dahulu melalui jalur atau upaya-upaya lain tersebut.
Sekian, semoga artikel ini bermanfaat..