Jendelahukum.com, Seputar Hukum – Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitui Jimly Asshidique menjelaskan, dalam asas ini, norma hukum yang bersifat khusus dapat mengabaikan norma hukum yang bersifat umum
Asas ini penting bagi penegak hukum untuk menerapkan aturan yang paling tepat dalam penyelesaian konflik antara sesama peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Lex specialis derogat lex generalis dapat digunakan dalam menyelesaikan konflik norma yang terjadi. Asas ini juga diakomodir dalam dalam Pasal 63 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”.
Penerapan asas lex specialis derogat legi generalis
Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul “Hukum Positif Indonesia”, menyatakan ada beberapa prinsip yang harus dijadikan pedoman dalam penerapan asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:
- Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
- Ketentuan-ketentuan lex specialisharus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
- Ketentuan-ketentuan lex specialisharus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. misalnya: Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang) merupakan lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) karena berada dalam lingkungan hukum yang sama, yaitu lingkungan hukum keperdataan.[1]
Contoh Kasus
Contoh kasus penerapan lex specialis derogat lex generalis, yakni kasus pencurian telepon selular oleh anak berusia 15 tahun.
Apa yang dilakukan oleh anak tersebut merupakan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Hanya saja, mengingat usianya (15 Tahun) maka proses penyidikannya tunduk pada apa yang ditentukan dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Peradilan Anak).
Baca juga: Mengenal Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Islam
Menurut UU Peradilan Anak, penuntutan pidana serta persidangan terhadap anak wajib dilakukan melalui tindakan diversi dengan pendekatan keadilan restoratif.
Diversi sendiri merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Diversi dapat berbentuk perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama tiga bulan, atau pelayanan masyarakat.
Referensi:
[1] Bagir Manan. 2004. Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta, hlm. 56