Jendelahukum.com, Seputar hukum – Penahanan merupakan salah satu pranata dalam hukum acara pidana yang memberikan kewenangan bagi penyidik, penuntut umum maupun hakim untuk menempatkan seseorang tersangka/terdakwa di tempat tertentu untuk kepentingan pemeriksaan dalam proses penegakan hukum.
Baca juga: Berapa Lama Tersangka atau Terdakwa Boleh ditahan?
Penahanan pada esensinya merupakan perampasan terhadap kebebasan seseorang yang dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum. Karena itu, perintah penahanan terhadap seorang tersangka/terdakwa harus dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yakni KUHAP atau Hukum Acara Pidana yang diatur dalam undang-undang lainnya.
Jenis-Jenis Penahanan
Penahanan tidak selalu berbentuk penahanan di rumah tahanan negara (Rutan). Adakala juga tahanan itu dilakukan di rumah atau kota tempat kediaman tersangka/terdakwa. Pasal 22 KUHAP secara eksplisit menjelaskan bahwa tahanan terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu: tahanan rumah tahanan negara, tahanan rumah, dan tahanan kota.
Untuk tahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka/terdakwa dengan mengadakan pengawasan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Artikel terkait: Hak-hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP
Adapun untuk tahanan kota dilakukan di kota tempat tinggal atau tempat kediamanan tersangka/terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka/terdakwa melapor pada waktu yang ditentukan.
Selanjutnya jika, seorang tersangka/terdakwa yang dutahan tersebut kemudian dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka jumlah masa tahanan yang dijalaninya akan dikurangkan seluruhnya terhadap hukuman pidana yang diterimanya.
Khusus untuk tahanan kota, pengurangan tersebut 1/5 (seperlima) dari jumlah lamanya waktu penahanan. Sedangkan untuk tahanan rumah, hanya 1/3 (sepertiga) dari jumlah lamanya waktu penahanan.
Syarat-syarat Penahanan
Untuk melakukan penahanan sendiri ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para penegak hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu: “adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.
Secara teori, syarat-syarat penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP di atas, seringkali disebut sebagai syarat subyektif, karena penilaian terhadap “kekhawatiran” bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana lagi, itu didasarkan pada penilaian para penegak hukum.
Artikel lainnya: Apa itu Asas Praduga Tidak Bersalah?
Namun begitu, dalam pasal yang sama, yakni Pasal 21 Ayat (3) KUHAP terdapat syarat obyektif yang juga harus dipenuhi oleh para penegak hukum dalam melakukan penahanan, yaitu bahwa tindak pidana yang disangkakan/didakwakan kepada tersangka/terdakwa merupakan tindak pidana yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih.
Selain itu, Pasal 21 ayat (3) juga menyebutkan beberapa tindak pidana khusus yang dapat dilakukan penahanan, yaitu; Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi, Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.