Kamis, Juli 3, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Mengenal Konsep Pertanggungjawaban Pidana

Jendelahukum.com, Seputar Hukum – Masalah pertanggungjawaban pidana merupakan masalah yang tidak dapat dipisahkan dalam ilmu hukum pidana. Hal itu dikarenakan konsep pertanggungjawaban sangat menentukan ada-tidaknya unsur kesalahan (mens rea/guilty mind) dalam suatu tidak pidana.

Tanpa adanya unsur kesalahan, seorang pelaku tindak pidana tidak dapat dijatuhi hukuman. Hal ini sebagaimana asas pertanggungjawaban yang berlaku dalam hukum pidana, yaitu “An act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy”.

Baca juga: Memahami Hukum Pidana: Definisi, Tujuan, dan Sifatnya

Untuk itu, memahami konsep pertanggungjawaban pidana memiliki urgensitas tersendiri bagi para praktisi hukum dan penegak hukum agar tidak secara sembarangan dalam pemberlakuan hukum pidana.

Konsep Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Roscoe Pound, pertanggungjawaban pidana dapat diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Berkaitan dengan itu, Simons mengatakan kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan suatu keadaan psikis sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik ditinjau secara umum maupun dari sudut orangnya dapat dibenarkan.

Selanjutnya dikatakannya, seorang pelaku tindak pidana mampu bertanggungjawab apabila: Pertama, mampu mengetahui/ menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum. Kedua, mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tadi.

Baca juga: Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali

Pertanggungjawaban dalam hukum bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang tersebut, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan.

Berbeda dengan Simons, Van Hamel memberikan pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal psikis dan kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan, yaitu pertama, mampu untuk dapat mengerti makna serta akibat sungguh-sungguh dari perbuatan- perbuatan sendiri. Kedua, mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan- perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat. Ketiga, mampu untuk menentukan kehendak berbuat.

Selain itu, Pompe menjelaskan pertanggungjawaban pidana dalam batasan unsur-unsur yaitu kemampuan berpikir pada pelaku yang memungkinkan menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya, pelaku dapat mengerti makna dan akibat dari tingkah lakunya serta pelaku dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang makna dan akibat tingkah lakunya).

Apabila dilihat dari pendapat-pendapat para ahli tersebut diatas, pertanggungjawaban pidana berbeda dengan perbuatan pidana.

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada suatu perbuatan yang dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Sedangkan pertanggungjawaban berkaitan dengan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukannya.

Seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Apakah seorang pelaku perbuatan pidana itu kemudian dapat dijatuhi pidana, tergantung dari pada perbuatan tersebut mengandung kesalahan.

Kriteria Pertanggungjawaban Pidana

Seperti dikemukakan di atas, ajaran pertanggunjawaban pidana sejatinya berfokus pertanyaan pokok; apakah pada saat melakukan perbuatan pidana, pelaku merupakan orang yang patut dicela atau dipersalahkan atas perbuatannya?

Untuk mengatakan bahwa seseorang memiliki aspek pertanggung jawaban pidana maka terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi yaitu sebagai berikut:

1. Memiliki Kemampuan Bertanggungjawab

Kemampuan bertanggungjawab dapat dilihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana. Seseorang hanya dapat dijatuhi pidana jika keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana dalam keadaan sehat dan normal. Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Baca juga: Hak-hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP

Sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

1) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal nya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.

2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal nya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.

3) Yang ditentukannya dalam ayat diatas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Jadi, orang dikatakan tidak mampu bertanggung jawab secara pidana jika:

        1. Jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling), misalnya idiot.
        2. Jiwanya terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), misalnya epilepsi atau gila karena stres.

Adapun makna “jiwanya cacat”:

        • Tidak mampu untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, sehingga dia tidak dapat membedakan mana perbuatan yang sesuai dengan hukum dan mana yang melawan hukum à Faktor akal (intellectual factor)
        • Tidak mampu untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadià Faktor perasaan atau kehendak (volicional factor)

2. Unsur kesalahan (kesengajaan atau kealpaan)

Kesalahan yang dalam bahasa asing disebut dengan schuld adalah keadaan psikologi seseorang yang berhubungan dengan perbuatan yang ia lakukan yang sedemikian rupa sehingga berdasarkan keadaan tersebut perbuatan tersebut pelaku dapat dicela atas perbuatannya.

Dari suatu perbuatan yang telah terjadi maka orang lain akan menilai menurut hukum yang berlaku apakah terhadap perbuatan tersebut terdapat kesalahan baik disengaja maupun karena suatu kesalahan kealpaan.

1) Kesengajaan (Dolus)

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (criminal wetboek) tahun 1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh Undang-undang”.

Dalam Memori Van Toelichting (Mvt) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan Criminal Wetboek tahun 1881 ( yang menjawab Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia 1915), dijelaskan: “ sengaja” diartikan :” dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”.

Dalam perkembangannya, kesengajaan telah berkembang dalam yurisprudensi dan doktrin sehingga umumnya telah diterima beberapa bentuk kesengajaan, yaitu:

        • Sengaja sebagai maksud

Sengaja sebagai maksud dalam kejahatan bentuk ini pelaku benar-benar menghendaki (willens) dan mengetahui (wetens) atas perbuatan dan akibat dari perbuatan yang pelaku perbuatan.

Diberi contoh A merasa dipermalukan oleh B, oleh karena itu A memiliki dendam khusus terhadap B, sehingga A memiliki rencana untuk mencelakai B, suatu hati A membawa sebilah pisau dan menikam B, menyebabkan B tewas, maka perbuatan A tersebut dapat dikatakan adalah perbuatan yang benar-benar ia kehendaki. Matinya B akibat tikaman pisau A juga dikehndaki olehnya. 11

        • Sengaja sebagi suatu keharusan

Kesangajan semacam ini terjadi apabila sipelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapi akibat dari perbuatanya, tetapi ia melakukan perbuatan itu sebagai keharusan untuk mencapai tujuan yang lain. Artinya kesangajaan dalam bentuk ini, pelaku menyadari perbuatan yang ia kehendaki namun pelaku tidak menghendaki akibat dari perbuatan yang telah ia perbuat.

Diberi contoh A ingin mengambil tas yang berada dibelakang estalase took, untuk mencapai tas tersebut maka A perlu memecahkan kaca estalase, maka pecahnya kaca tersebut bukan kehendak utama yang ingin dicapi oleh A, namunperbuatan itu dilakukannya demi mencapai tujuan yang lain.kesengajaan menghancurkan kaca merupakan sengaja dengan kesadaran tenatang keharusan.

        • Sengaja Sebagai kemungkinan

Dalam sengaja sebagai kemungkinan, pelaku sebenarnaya tidak menghendaki akibat perbuatanya itu, tetapi pelaku sebelumnya telah mengethaui bahwa akibat itu kemungkinan juga dapat terjadi, namun pelaku tetap melakukan perbuatannya dengan mengambil resiko tersebut.

Scaffrmeister mengemukakan contoh bahwa ada seorang pengemudi yang menjalankan mobilnya kearah petugas polisi yang sedang memberi tanda berhenti. Pengemudi tetap memacu mobil dengan harapan petugas kepolisian tersebut melompat kesamping, padahal pengemudi menyadari resiko dimanda petugas kepolisian dapat saja tertabrak mati atau melompat kesamping.

b) Kealpaan (culpa)

Dalam pasal-pasal KUHPidana sendiri tidak memberikan definisi mengenai apa yang diamksud dengan kealpaan. Sehingga untuk mengerti apa yang dimaksud dengan kealpaan maka memerlukan pendapat para ahli hukum. Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar yang telah ditentukan, kelalian itu terjadi karena perilaku dari orang itu sendiri.

Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur gecompliceerd yang disatu sisi mengarah kepada perbuatan seseorang secara konkret sedangkan disisi lain mengarah kepada keadaan batin seseorang. Kelalain terbagi menjadi dua yaitu kelalaian yang ia sadari (alpa) dan kelalain yang ia tidak sadari (lalai).

Kelalain yang ia sadari atau alpa adalah kelalain yang ia sadari, dimana pelaku menyadari dengan adanay resiko namun tetap melakukan dengan mengambil resiko dan berharap akibat buruk atau resiko buruk tidak akan terjadi.

Sedangkan yang dimaksud dengan kelalaiam yang tidak disadari atau lalaiadalah seseorang tidak menyadari adanyaresiko atau kejadian yang buruk akibat dari perbuatan ia lakukan pelaku berbuat demikian dikarenan anatar lain karena kurang berpikir atau juga bisa terjadi karena pelaku lengah denagn adanya resiko yang buruk.

Kelalain yang disadari adalah kelalaian yang disadari oleh seseorang apabila ia tidak melakukan suatu perbuatan maka akan timbul suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana, sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan yang ia tidak sadri adalah pelaku tidak memikirkan akibat dari perbuatan yang ia lakukan dan apabila ia memikirkan akibat dari perbuatan itu maka ia tidak akan melakukannya.

3. Tidak ada alasan pemaaf atau pembenar

Suatu kesalahan dalam tindak pidana bisa saja dihapuskan dalam keadaan-keadaan tertentu. Sebagai contoh, seorang melakukan tidak pidana dikarenakan keadaan terdesak yang membuatnya tidak memiliki pilihan lain selain melakukan tindankan tersebut.

Baca juga: Prinsip Peradilan Terbuka Untuk Umum

Terhapusnya kesalahan tersebut berkaitan dengan alasan pemaaf dan alasan pembenar yang diakui dalam hukum pidana. Dalam hal ini, kedua alasan penghapus pidana tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

      1. Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan ‘pencabutan nyawa’ yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP);
      2. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahandari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).

Dalam hukum pidana yang termasuk alasan pembenar seperti keadaaan darurat, pembelaan terpaksa, Menjalankan peraturan perundang-undangan, menjalankan perintah jabatan yang sah. Adapun yang termasuk pada alasan pemaaf adalah tidak mampu bertanggungjawab, daya paksa, pembelaan terpaksa melampaui batas.

Berkaitan dengan kedua alasan penghapus kesalahan di atas dapat disampaikan beberapa kriteria sebagai berikut:

      1. Perbuatan pidana yang dilakukan dalam kondisi Over Macht (keadaan terpaksa). (Alasan pembenar)
      2. Perbuatan pidana yang dilakukan dalam kondisi Noodweer (membela diri atau orang lain). (Alasan pembenar)
      3. Perbuatan pidana yang dilakukan dalam kondisi Noodweer Ekses (pembelaan yang melampaui batas kewajaran). (Alasan pemaaf)
      4. Perbuatan pidana yang dilakukan dalam kondisi sedang menjalankan ketentuan undang-undang. (Alasan pembenar)
      5. Perbuatan pidana yang dilakukan dalam kondisi sedang melaksanakan perintah jabatan yang diberikan pejabat atau penguasa yang berwenang. (Alasan pembenar)
      6. Perbuatan pidana yang dilakukan dalam kondisi sedang melaksanakan perintah, yang berdasarkan I’tikad baiknya dikira berasal dari atasan atau pejabat yang berwenang serta masih dalam lingkup tugas pekerjaannya. (Alasan pemaaf)
hallojendela
hallojendelahttps://www.jendelahukum.com/
Melihat hukum dari berbagai perspektif

Recent Post

Related Stories

For Subcription