Jendelahukum.com, Seputar Hukum – Pada prinsipnya pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Mengacu pada ketentuan Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak lain merupakan bentuk pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab atas kemakmuran rakyat.
Menindaklanjuti aturan konstitusional tersebut, pemerintah melakukan reformasi tata kelola keuangan negara/daerah dengan mengeluarkan tiga paket undang-undang yang salah satunya adalah UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara).
Undang-undang ini dimasksudkan agar memberikan landasan dalam tata kelola keuangan negara, sekaligus untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengaturan Keuangan Negara Indonesia
Dikeluarkannya UU Keuangan Negara merupakan tonggak sejarah bagi pengaturan tata kelola keuangan negara. Sebelum tahun 2003, keuangan neara Indonesia masih menggunakan ketentuan perundang-undangan peninggalan kolonial belanda yang masih berlaku menurut aturan peralihan UUD 1945.
Peraturan peninggalan belanda tersebut antara lain;
- Indsche comptablisteitswet (ICW), staatsblad tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah bebeerapa kali dirubah, terakhir dengan undang-Undang No. 9 tahun 1968 (lembaran negara republik Indonesia tahun 1968 Nomor 53, tambahan lembaran negara nomor 2860)
- Indische bedrijvenwet (IBW) stbl. 1927 noor 419 jo. Stbl. 1936 nomr 445;
- Reglement voor het administratief beheer (RAB) stbl 1933 nomor 381;
- Instructie en verdere bepalingen voor de algemene rekenkamer (IAR) stbl. 1933 No. 320 mengenai pelaksanaan pemeriksaan pertanggung jawaban keuangan negara.
Hal-hal baru dan/atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara yang diatur dalam undang- undang ini meliputi ;
(1). Pengertian dan ruang lingkup keuangan negara,
(2). Azas-azas umum pengelolaan keuangan negara,
(3). Kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara,
(4). Pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga,
(5). Susunan APBN dan APBD,
(6). Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD,
(7). Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan bank sentral, pemerintah daerah, dan pemerintah/lembaga asing
(8). Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat,
(9). Penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Undang-undang ini juga telah mengantisipasi perubahan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintah secara internasional.
Namun demikian, dalam UU Kekuangan Negara terdapat berbagai kelemahan yang terdapat di dalamnya. Sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel itu sudah menjadi kebutuhan dalam rangka terciptanya good governance dan clean government yang menjadi simbol reformasi pemerintahan secara umum.
Catatan Untuk UU Keuangan Negara
Untuk itu upaya percepatan terhadap keberhasilan pembaruan (reformasi) manajemen keuangan bagi pemerintah daerah sudah selayaknya mendapat perhatian serius. Adapun kekurangan-kekurangan yang dimaksud dapat dipaparkan sebagai berikut;
Pertama, pengaturan pengelolaan keuangan negara pada lembaga pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman perlu dilakukan perubahan.
Hal ini untuk menghindari terjadinya dominasi dari salah satu lembaga pemegang kekuasaan negara sehingga mendukung terwujudnya penyelenggaraan negara yang seimbang dan berkeadilan.
Belum lagi menyadari bahwa UU Keuangan belum mengatur mengenai kemandirian pengelolaan keuangan negara bagi pemegang kekuasaan pemerintahan.
Kedua, UU Keuangan Negara memberikan kekuasaan pengelolaan keuangan negara kepada Presiden yang selanjutnya didelegasikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/ Gubernur/Bupati/ Walikota. Sehingga, Pengelolaan keuangan pada lembaga negara berdasarkan trias politica belum diatur secara detil dalam UU Keuangan Negara. Untuk itu, diperlukan adanya penerapan prinsip check and balances di antara pemegang kekuasaan tersebut, termasuk pengelolaan keuangan negara.
Ketiga, UU Keuangan Negara juga tidak membedakan antara uang publik dan privat. Tidak adanya pembedaan antara uang publik dan privat menyebabkan pemerintah harus menanggung kerugian perusahaan swasta.
Hal ini dapat dicontohkan pada Kasus Bodas yang membuat pemerintah harsus mencairkan dana pertamina. Dalam kasus tersebut, pemerintah-lah yang menanggung kerugian akibat kasus tersebut. Sehingga, perlu ditegaskan kapan uang itu menjadi milik privat dan kapan uang negara.
Keempat, Kewenangan DPR semakin luas bahkan dapat dikatakan sampai dengan kekuasaan pengelolaan anggaran yang seharusnya merupakan kewenangan eksekutif. Sebagai contoh pada pasal 15 ayat 5; “APBN yang disetujui terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja” .
Selain itu, UU Keuangan Negara belum mengakomodasi kepentingan pembangunan yang direncanakan dan terkumpul lewat bappenas/bappeda. Hal tersebut menyebabkan sering tidak tercapainya sinergitas antara hasil musrenbang dengan alokasi APBN/APBD.
Kelima, UU Keuangan Negara tidak konsisten karena selain bicara keuangan, juga mengatur mengenai keuangan daerah. Pembedaan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah sangat penting dilakukan agar negara tidak terjebak dalam masalah hukum yang merugikan negara.
Keenam, selain itu dalam UU Keuangan Negara dinilai beberapa pihak tidak konsisten karena selain bicara uang negara juga mengatur mengenai uang daerah. Pembedaan antara pemerintah pusat, daerah, dan BUMN sangat penting dilakukan agar negara tidak terjebak dalam masalah hukum yang merugikan negara.
Karena Undang-undang ini membolehkan setiap departemen dapat mengajukan anggarannya masing-masing. Pengaturan yang demikian dikhawatirkan mengacaukan rencana yang disusun oleh Bappenas, RPJMP dan RPJMM, menjadi tidak berjalan sempurna.