Jendelahukum.com – Akhir-akhir ini banyak surveyer yang memprediksi akan terjadi peningkatan angka Golput pada pemilu 2019 mendatang. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya, tapi disinyalir 3 faktor penyebab utamanya, yaitu; pertama, kekecewaan publik terhadap personality masing-masing kandidat yang itu-itu saja; kedua, kejenuhan masyarakat terhadap metode kampanye yang kontra produktif; dan ketiga, sikap apolitis yang sudah terpupuk lama sebagai akibat dari tidak terakomodirnya kepentingan dan hak-haknya dari rezim-rezim sebelumnya.
Hal ini tentu menjadi khawatiran tersendiri bagi demokratisasi Indonesia, karena bagaimana pun pemilu merupakan ajang pengejahwantahan kedaulatan bagi rakyat untuk menentukan para pemimpinnya. Tingkat partisipasi publik dalam pemilu merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan demokratisasi suatu negara. Oleh karena itu, pengaturan hukum perihal pelarangan golput ini selalu memicu perdebatan banyak kalangan.
Sebagian orang menganggap bahwa golput merupakan bagian dari hak dalam menentukan sikap politik, sekalipun disisi lain mereka sendiri mengakui bahwa golput bukan pilihan yang bijaksana. Bagi mereka, memilih pemimpin dalam demokrasi bukanlah kewajiban yang harus dilakukan. Oleh karena itu, hak itu bisa digunakan dan bisa juga ditinggalkan seseuai dengan keinginannya.
Hal ini tentu tidak lepas dari pewacanaan tentang konsep demokrasi itu sendiri. Tidak sedikit memang orang yang terjebak pada anggapan bahwa demokrasi seolah-olah identik dengan sebuah kebebasan semata. Padahal, jika demokrasi hanya diartikan sebagai kebebasan semata, maka anarki pun sebenarnya lebih memberikan kebebasan daripada demokrasi, karena setiap orang untuk melakukan sesuatu sesuai kehendaknya.
Untuk itu penting bagi kita mengartikan bahwa demokrasi sebagai suatu konsesus bersama (contract social) untuk meletakkan kebebasan itu dalam satu imajinasi bersama tentang kesejahteraan dan kemakmuran. Sehingga masing-masing pihak tidak boleh acuh terhadap upaya mewujudkan imajinasi tersebut.
Dengan demikian, akan sangat naif rasanya jika seseorang lebih memilih acuh atau golput dalam prosesi pemilu yang merupakan hal yang fundamental dalam bernegara. Sudah menjadi postulasi secara umum, bahwa baik-buruknya suatu negara akan sangat ditentukan oleh kualitas kepemimpinan dari pemimpinnya.
Sekedar menjadi penonton dan membiarkan proses yang paling menentukan kepemimpinan sebuah negara tentu bukanlah sikap dari seorang demokrat sejati. Karena sama artinya dengan menanggalkan kedaulatan yang melekat pada setiap rakyat yang hidup dalam negara demokrasi, yaitu hak untuk memilih pemimpin.
Garis sejarah demokrasi di dunia telah menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah barang yang murah. Ia tidak serta merta jatuh dari langit dan langsung kita nikmati, melainkan butuh perjuangan besar atau bahkan berdarah-darah guna merebut kedaulatan dari seorang tirani.
Sekarang kedaulatan itu berada di tangan kita. Lantas haruskah kita melangkah mundur dengan menanggalkan hak yang paling fundamental dalam demokrasi itu dalam pemilu 2019 kali ini?
Tentulah pasti ada pihak yang tidak puas dan meragukan integritas terhadap masing-masing kandidat yang bertanding dalam kontestasi pilpres kali ini. Atau katakanlah kita menganggap bahwa kedua-duanya adalah buruk. Maka jika memang demikian adanya, perlu kiranya kita mempertimbangkan satu kaidah fiqih yang mengatakan; “jika tidak dapat semuanya, maka jangan tinggalkan semuanya”.
Artinya, jika kita melihat para calon kandidat dalam pilpres 2019 tidak se-ideal seperti yang kita harapkan. Maka setidaknya pilihlah yang lebih sedikit buruknya dari kedua kadidat tersebut. Karena dengan cara demikian, kita bisa menyelamatkan negara agar tidak menjauh dari imajinasi tentang kesejahteraan rakyat yang kita idam-idamkan bersama.