Sabtu, Agustus 2, 2025
Indonesia
6,813,429
Total confirmed cases
Updated on September 27, 2023 3:55 am

Meme Satire: Kritik Atau Pencemaran Nama Baik?

Jendelahukum.com, Perspektif – Meme satire tentang Setya Novanto yang sakit dan tagar #ThePowerOfSetnov sempat viral dan menjadi trending topic di media social. Meme satire tersebut muncul sebagai reaksi kekecewaan netizen terhadap “drama” yang dipertontonkan Setnov ketika ditetapkan tersangka dalam kasus korupsi E-KTP. Kekecewaan itu semakin bertambah ketika putusan praperadilan memenangkan permohonan Setnov sehingga kasusnya pun harus dihentikan oleh penyidik KPK.

Berselang beberapa waktu pasca “kebangkitannya”, Setnov melalui kuasa hukumnya, Fredrich Yunadi mengadukan sejumlah pemilik akun media sosial ke Bareskrim Polri. Tidak kurang dari 32 akun yang kini dijerat pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), karena diduga sebagai penyebar meme satire bernada penghinaan pada Setnov.

Bahkan salah satu di antara pemegang akun penyebar meme tersebut, Dyan Kemala Arrizqi, telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik oleh Bareskrim Polri. Sampai saat ini pun polisi masih memburu pemegang akun yang lainnya. Banyak tanggapan yang kemudian muncul menyikapi kasus ini. Sebagian besar menyayangkan pelaporan tersebut karena dinilai telah mengancam hak menyampaikan pendapat.

Akan tetapi di samping itu, keputusan Setnov untuk melaporkan sejumlah akun penyebar meme satire tersebut haruslah tetap kita hormati, karena memang ada pasal-pasal UU ITE yang mengatur penggunaan hak menyampaikan pendapat, termasuk dalam hal ini membuat atau menyebarkan meme di dunia maya.

Pencemaran Nama Baik

Hak menyatakan pendapat bisa saja menjadi boomerang bagi pihak yang menyampaikan jika tidak digunakan dengan baik dan benar. Terutama bila informasi yang disampaikan itu tidak sesuai dengan fakta sehingga merugikan pihak tertentu. Dalam hal seperti itulah, seseorang dapat diancam telah melakukan pencemaran nama baik.

Pencemaran nama baik yang dimaksud merujuk pada pengertian yang diatur dalam pasal 310-321 KUHP, yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai suatu perbuatan yang disengaja untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang dimaksudkan agar supaya diketahui umum.

Secara lebih khusus, delik pencemaran nama baik itu terspesifikasi dalam beberapa jenis, yaitu; pencemaran/penistaan (pasal 310 ayat 1); pencemaran/penistaan tertulis (pasal 310 ayat 2); fitnah (pasal311); penghinaan ringan (pasal 315); pengaduan fitnah (pasal 317); persangkaan palsu (318); dan penistaan terhadap orang meninggal (pasal 320).

Pengertian delik pencemaran nama baik itu juga menjadi acuan bagi Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menjelaskan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Terhadap pelakunya diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (Tujuh Ratus Lima Puluh Juta Rupiah).

Seiring dengan dikeluarkannya putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 dan No. 2/PUU-VII/2009, penafsiran terhadap ketentuan pasal 27 ayat (3) UU ITE itu pun tidak boleh dipisahkan dengan ketentuan delik penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP sebagai acuan utama. Sehingga harus dipahami sebagai delik aduan. Oleh karena itu, delik ini harus diawali dengan aduan terlebih dulu untuk dapat diproses (penyelidikan, penyidikan dan proses dalam pengadilan).

Begitupun dalam implementasinya, delik pencemaran nama baik harus pula memenuhi unsur-unsur sebagai berikut; Pertama, Sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, Kedua, dilakukan dengan menuduhkan sesuatu hal, dan ketiga, perbuatan itu ditujukan agar supaya apa yang dituduhkan itu diketahui umum.

Lalu, jika dikaitkan dengan kasus meme Setnov, timbul sebuah pertanyaan yaitu, bisakah sebuah meme satire yang memuat wajah setnov diklasifikasikan sebagai pencemaran nama baik? Sedangkan ia tidak pernah menuduhkan hal tertentu. Adapun gambar yang dimuat sekalipun melalui proses editing tetap tidak mengubah subtansi informasi yang ada, yaitu sindiran kepada setnov yang tiba-tiba sakit sampai menggunakan alat bantu pernafasan ketika ditetapkan sebagai tersangka.

Meme sebagai Media Kritik

Pengertian meme terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada awalnya, Istilah meme sebenarnya berasal dari kata “Minema” dalam bahasa Yunani, yang berarti sesuatu yang ditiru. Namun pada dewasa ini, meme dipahami sebagai suatu gambar atau foto yang biasanya diberi tulisan sehingga menghasilkan pesan tertentu. Pesan itu bisa dimaksudkan untuk mengkritik, menyindir atau mengejek seseorang yang menjadi obyek meme.

Produksi meme terus berkembang seiring dengan majunya teknologi Internet yang menyediakan media social sebagai ruang informasi dan komukasi. Sehingga apa yang tersebar dalam dunia maya akan dengan cepat menyebar dan menjadi kosumsi public. Pada tahap inilah, meme seolah berevolusi menjadi media yang cukup efektif bagi para netizen untuk mengkritisi tingkah laku tokoh publik yang dianggap tidak pantas.

Meme satire bahkan dapat menarik perhatian masyarakat yang apatis terhadap isu-isu politik nasional. Hal ini dikarenakan penyajian kritik dalam balutan humor yang kerap kali mengundang tawa sehingga menarik perhatian masyarakat dari kelas atas sampai bawah. Mereka akan dengan mudahnya membagikan meme yang dinilai menarik dan lucu tanpa melihat benar-tidaknya subtansi yang termuat dalam meme tersebut. Sebagai akibatnya, penyebaran meme tersebut tidak dapat terbendung dan menjadi konsumsi public secara luas

Tapi di sisi lain, terlepas dari pro-kontra kasus meme setnov yang sedang santer sekarang meme pun dapat disalahgunakan sebagai alat untuk membunuh karakter seseorang, karena psikologi masyarakat yang tertarik pada nilai kelucuannya daripada subtansi yang ada pada meme tersebut. Bukan tidak mungkin jika kemudian dunia per-meme-an digunakan sebagai alat propaganda untuk menjatuhkan integritas seseorang yang menjadi obyek meme.

Dalam hal ini, kita patut berkaca pada pernyataan Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi pada zaman Hitler; “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada public. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat public percaya”. Untuk itu, penting bagi para netizen untuk dapat lebih bijaksana dan selektif dalam menyebarkan meme satire dalam dunia maya.

hallojendela
hallojendelahttps://www.jendelahukum.com/
Melihat hukum dari berbagai perspektif

Recent Post

Related Stories

For Subcription