Jendelahukum.com, Perspektif – Kontroversi seputar materi revisi UU MD3 sudah lama bergulir jauh sejak rancangan undang-undang itu mendapatkan persetujuan bersama dari DPR dan pemerintah. Setidaknya ada tiga point yang menjadi muara kontroversi tersebut, yaitu tentang hak imunitas DPR, izin pemeriksaan anggota DPR ke MKD, dan pemanggilan paksa oleh DPR.
Akan tetapi, tanpa mengurangi esensi dari permasalahan tersebut, saya lebih tertarik untuk mengkaji beberapa permohonan judicial review yang diajukan oleh beberapa kalangan ke Mahkamah Konstitusi, yang dalam pandangan saya terlalu terburu-buru. Sehingga berpotensi terkendala dalam persyaratan formil yang harus dibuktikan dalam persidangan pengujian undang-undang.
Persyaratan formil yang dimaksud adalah perihal kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara pengujian undang-undang. Sebagaimana diketahui, obyek kewenangan pengujian konstitusionalitas oleh Mahkamah Konstitusi hanya terbatas pada undang-undang dan perppu (menurut yurisprudensi MK).
Lalu bagaimana dengan pengujian konstitusiolitas revisi UU MD3? Padahal, sampai dengan tenggang batas waktu terakhir, Presiden Jokowi masih bersikukuh untuk tidak menandatangani Revisi UU MD3 sekalipun telah mendapatkan persetujuan bersama pemerintah dan DPR.
Masih Rancangan Undang-Undang
Selama ini banyak yang salah kaprah mengartikan bahwa revisi UU MD3 itu telah menjadi undang-undang. Bahkan di berbagai media informasi pun tidak jarang menuliskan rancangan revisi UU MD3 dengan sebutan UU MD3.
Lebih dari itu, saya pun mengernyitkan dahi ketika melihat beberapa permohonan judicial review terhadap RUU MD3. Para pemohon secara sengaja menuliskan sebagai berikut; “Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor….. Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat….dst.
Padahal jika mengacu pada aturan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi; “Dalam hal RUU yang telah mendapatkan persetujuan bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan”
Merujuk aturan konstitusional di atas, terlihat bahwa batas pembedaan antara rancangan undang-undang dan undang-undang itu terletak pada tindakan presiden berupa penandatangan terhadap suatu rancangan undang-undang yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan pengundangan dalam lembaran negara.
Selain itu, jika mengacu pada tanggal persetujuan bersama pemerintah dan DPR, maka kamis 15 Maret 2018 adalah tenggang waktu berlakunya aturan konstitusional tersebut. Dengan kata lain, sampai dengan pukul 24.00 Rabu 14 Maret 2018 Revisi UU MD3 masih berbentuk RUU dan belum menjadi undang-undang.
RUU Sebagai Wet In Materiele Zin
Dalam ilmu peraturan perundang-undangan, memang dibedakan antara pengertian antara undang-undang dalam arti materil (wet in materiele zin) dan undang-undang dalam arti formil (wet in formele zin). Akan tetapi, terdapat perbedaan dalam hal penerjemahan ke bahasa Indonesia dan pembagian kategori dari kedua istilah ini.
Hamid S. Attamimi misalnya, dengan mengacu praktek ketatanegaraan Belanda, memahami pengertian undang-undang dalam konteks ketatanegaraan Indonesia adalah produk hukum yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan negara, sehingga dapat dipersamakan dengan wet in formele zin.
Namun di sisi lain, Hamid Attamimi menjelaskan bahwa wet in materiele zin tidak hanya mencangkup undang-undang saja, melainkan seluruh peraturan yang mengikat umum. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kerancuan pengertian, wet in materiele zin itu kemudian diterjemahkan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan wet in formele zin sebagai undang-undang.
Adapun pendapat lain dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yang menerjemahkan wet in formele zin sebagai undang-undang dalam arti formil, sedangkan wet in materiele zin sebagai undang-undang dalam arti materil. Pembedaan keduanya dapat dilihat hanya dari segi penekanan atau sudut penglihatan, yaitu suatu undang-undang yang dapat dilihat dari segi materinya atau dilihat dari segi bentuknya.
Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie secara jelas membedakan antara pengesahan undang-undang secara formil dan pengesahan undang-undang secara materiel. Pengesahan secara formil tercermin dalam ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945, yaitu Presiden mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) yang telah mendapatkan persetujuan bersama menjadi undang-undang.
Sedangkan pengesahan secara materil adalah pengesahan suatu rancangan undang-undang oleh dan dalam rapat paripurna DPR sebagai tanda bahwa suatu rancangan telah mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Pada tahap inilah suatu rancangan undang-undang itu dapat dikategorikan sebagai wet in materiele zin. Dengan kata lain, sekalipun wadahnya masih berbentuk rancangan undang-undang akan tetapi materi yang tertuang di dalamnya adalah materi undang-undang.
Jika dikaitkan dengan revisi UU MD3, meskipun dari segi bentuknya revisi UU MD3 itu masih berupa rancangan yang belum disahkan oleh Presiden dan karena itu belum berlaku sebagai hukum yang mengikat, akan tetapi materi revisi UU MD3 yang sudah dapat disahkan dalam rapat paripurna itu sudah menjadi wet in materil zin, meskipun belum menjadi undang-undang secara resmi atau wet in formele zin.
Pengkategorian ini memang pernah digunakan oleh hakim MK dalam menangani perkara pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Dalam pertimbangannya MK memandang bahwa perppu mengatur materi yang seharusnya diatur oleh undang-undang. Oleh karena itu, sekalipun secara formil perppu bukanlah undang-undang, akan tetapi secara materil perppu dapat dikategorikan sebagai undang-undang.
Namun, akankah pertimbangan kategori wet in materiele zin dan wet in formeele zin ini kembali digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian revisi UU MD3 yang masih berstatus sebagai rancangan undang-undang? Jawabannya tentu ada pada pilihan para Hakim Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, yang diperlu dipahami terdapat perbedaan mendasar antara perppu dan rancangan undang-undang sebagai wet in materil zin, yaitu bahwa perppu itu berlaku mengikat sejak ditandatangani oleh presiden. Keberlakuan norma tersebut setara dengan undang-undang. Sedangkan rancangan undang-undang sekalipun sama-sama dapat dikategorikan sebagai wet in materiele zin, akan tetapi ia belum berlaku mengikat sebagaimana undang-undang.
Selain itu, perlu juga dipertimbangkan bahwa sistem pengujian undang-undang kita menganut sistem pengujian secara “a posteriori” yaitu pengujian setelah norma itu sudah sah sebagai undang-undang. Bukan pengujian secara “a priori”, yakni terhadap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen, tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, sistem pengujian undang-undang kita lebih dikenal dengan judicial review bukan judicial preview.